Mengingat
Kembali
”UKHUWAH NAHDLIYAH”
Sebagai Amanat Organisasi NU
Oleh :
Musyafi’ S.Ag.
Direktur PC ASNU Center Kraksaan
UKHUWAH NAHDLIYAH
Secara umum, ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu
sikap yang ciderminkan rasa persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas
yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau suatu kelompok kepada
kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalah ijtimaiyah). Sikap ukhuwah
dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu :
Adanya persamaan, dalam baik masalah
keyakinan/agama, wawasan, pengalaman, kepentingan, tempat tinggal maupun
cita-cita.
Adanya kebutuhan yang dirasakan hanya dapat
dicapai dengan melalui kerja sama, gotong royong dan persatuan. Keberlangsungan
sikap ukhuwuwah dalam realisasi kehidupan sosial dipengaruhi oleh beberapa
sikap dasar, antara lain :
1.
Saling
mengenal (Ta’aruf)
2.
Saling
menghargai dan menegangkan (tasamuh)
3.
Tolong
menolong (ta’awun)
4.
Saling
mendukung (tadlamun)
5.
Saling
menyayangi (tarahum)
Sebaliknya, ukhuwah akan terganggu kelestariannya apabila terjadi
sikap-sikap destruktif (Muhlikat) yang bertentangan dengan etika sosial yang
baik (akhlakul karimah), seperti :
1.
Saling
menghina (Assakhriyah)
2.
Saling
mencela (allamzu)
3.
Berburuk
sangka (suudhan)
4. Suka mencemarkan nama
baik (ghibah)
5.
Sikap
curiga yang berlebihan (Tajassus)
6.
Sikap
congkak (Takabbur)
Dalam masalah sosial (ijtimaiyah), ukhuwah dapat dijabarkan dalam
beberapa kontek hubungan sebagai berikut :
Persaudaraan nasioanal (ukhuwah wathoyah) yang tumbuh dan berkembang
karena persamaan aqidah/keimanan, yang baik di tingkat nasional maupaun
internasional.
Persatuan nasionak (ukhuwah wahtoniyah) yang tumbuh dan berkembang
atas dasar kesadaran berbangsa dan bernegara.
Solidaritas kemanusiaan (ukhuwah wathiniyah) yang tumbuh dan
berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal.
Ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah (persatuan nasional)
merupakan dua sikap yang saling mendukung. Keduanya harus diupayakan
keberadanaanya secara serentak, dan tidak dipertentangkan antara satu dengan
yang lain. Hubungan antara keduanya adalah :
Akomodatif dalam arti ada kesediaan untuk saling memahami pendapatan
aspirasi dan kepentingan satu dengan yang lain.
Akomodatif dalam arti kesediaan untuk saling memahami pendapat
aspirasi dan kepentingan satu dengan yang lain.
Selektif, dalam arti ada kesediaan untuk menyelesaikan dalam
menyelenggarakan berbagai macam kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar,
adil, dan proposional.
Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathoniyah merupakan landasan dan modal
dasar bagi terwujudnya Ukhuwah Basyariyah (hubungan kemanusiaan) yang
universal.
Ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan sosial, khususnya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara merupakan salah satu kondisi yang diperlukan dalam
kehidupan perorangan maupun masyarakat, disamping mampu memberikan kemantapan,
ketentraman dan kegairahan dalam mengenai berbagai tantangan yang dapat
mengganggu kehidupan sosial dan stabilitias nasional. Kondisi yang masyarakat
dalam proses pencapaian tujuan bersama dan pada giliran selanjutnya dan
batiniyah yang lebih mutu persatuan bangsa dalam menggalang keutuhan umat dalam
rangka stabilitas nasional dan solidaritas Islam, serta pengalaman agama yang
bertujuan mencapai kesejahteraan hidup dunia dan kebahagiaan hidup akhirat.
Akan tetapi proses pengembangan wawasan ukhuwah tersebut kerap kali
mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan berbagai hal, seperti :
Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan yang mudah menumbuhkan
sikap apriori dan fanatisme yang tidak berkontrol.
Sempitnya cakrawala berpikir, baik yang disebabkan oleh keterbatasan
tingkat pemahaman masalah keagamaan dan kemasyarakatan, maupun yang
kepemimpinan umat dalam mengembangkan budaya ukhuwah baik dalam memberikan
teladan pada bawahan maupun dalam mengatasi gangguan kerukunan yang timbul
dalam kehidupan umat maupun organisasi.
Menurut Nahdlatul Ulama, penerapan konsep dan wawasan dan wawasan
ukhuwah, dapat dilakukan melalui bermacam cara, antara lain :
Ukhuwah Islamiyah seyogyanya dimulai dari lingkungan yang paling
kecil (keluarga), kelompok atau warga suatu jamiyah, kemudian dikembangkan
dalam lingkungan yang lebih luas (antar jamiyah, aliran, dan bangsa).
Perlu adanya keteladanan yang baik (uswah hasanah) dari pimpinan
umat, dan khususnya bagi Nahdlatul Ulama di perlukan keteladanan dari para
pengurus untuk menampilkan sikap ukhuwah yang dapat dijadikan contoh oleh
warganya dan umat Islam pada umumnya, baik dalam kehidupan pribadi maupund alam
kehidupan fungsionalnya.
Mengembangkan perluasan cakrawala berpikir dalam masalah keagamaan
kemasyarakatan, dalam rangka lebih meningkatkan pengertian dan saling memahami
wawasan pihak lain dan mengembangkan sikap terbuka dalam menghadapi
masalah-maslah sosial.
Terbentuknay lemaga-lembaga atau pranata-pranata yang menumbukan
kerukunan, persatuan, dan solidaritas warga dan umat, seperti koperasi badan
pengembangan ekonomi, lembaga-lembaga bantuan, badan-badan dan konsultasi dan lain sebagainya, sesuai dengan
perkembangan dan kerukunan umat.
Mendayagunakan semua lembaga dan sarana yang sudah tersedot yang
diadakan oleh pemerintah maupun oleh swadaya masyarakat sendiri MUI, pesantren,
sekolah, dan kampur Perguruan Tinggi, sebagai pengembangan persaudaraan Islam
dan persatuan nasional.
Mendayagunakan pesantren dan lemabaga-lembaga pendidikan lainnya
dimiliki oleh Nahdlatul Ulama Khususnya, agar lebih berperan pengambangan
wawasan ukhuwah, baik melalui program kurikuler, kokurikuler maupun ekstra
kurikuler.
Menciptakan suatu mekanisme yang baik yang baik dan efektif dalam
keluarga jamiuah Nahdlatul Ulama yang mampu berperan dalam menyelesaikan
masalah jika terjadi perbedaan pandapat dalam pergaulan interen pengurus atau
mengatasi perbedaan pandapat dengan pihak lain. Dalam hubungan ini difungsikan
mekanisme “Ishlahul Dzatil Bain” (arbritase) seoptimal mungkin.
A.
Nahdlatul
Ulama, Kiayai dan Pesantren
Berbicara Nahdlatul Ulama tidak bisa lepas dengan
berbicara pesantren, begitu juga pembahasan tentang pesantren pasti terkait
Nahdlatul Ulama, hal ini disebabkan :
Pertama, Nahdlatul Ulama dilahirkan oleh ulama-ulama
pesantren diamant sejarah berdirinya, maka Nahdlatul Ulama lahir karena
kebutuhan langkah organisasi bagi para ulama pesantren sebagai wadah bergerak
dan langkah berdakwah.
Para ulama pesantren terpanggil untuk mendirikan suatu organisasi
memelihara ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, dimana saat itu mulai ajara-ajaran
anti madzhab, yang dikembangkan oleh ulama-ulama mengaku dirinya modernis dan
pembaru. Oleh karena itu ulama pesantren bermadzhab merasa berkewajiban untuk
membentengi gerakan tersebut kesatuan langkah dalam Nahdlatul Ulama.
Disamping itu, dikembangkan para ulama pesantren
dengan suatu wadah organisasi NU adalah untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Ulama-ulama pesantren sebagai pemimpin masyarakat religius juga terpanggil
sebagaimana pemimpin-pemimpin yang lain, untuk memperjuangkan kemerdekaan
bangsa.
Kedua, basis warga Nahdlatul Ulama adalah masyarakat
pesantren atau kaum santri. Semua warga NU memang mengaku sebagai santri
seorang kiai, meskipun dia tak pernah mondok, karena kharismatik seorang kiai
maka masyarakat merasa terayomidan bergantung pada seorang kiai. Disitulah
peranan santri tumbuh. Hal ini bukan hanya pada saat kelahiran NU saja, tetapi
sampai sekarang perasaan santri warga NU selalu melekat, meskipun dia tak
pernah mengaji.
Ketiga, gaya kepemimpinan NU adalah gaya pesantren,
kepemimpinan Nahdlatul Ulama menerapkan gaya kepemimpinan pesantren dimana
ulama sebagai pemimpin tertinggi yang berperan sebagai penentu kebijakan,
pengawas dan sekaligus pengendali. Kalau dalam pesantren kepemimpinan ini di
tangan pengasuh, di Nahdlatul Ulama, Kiai adalah secara kolektif dalam
kelembagaan syuriyah.
Kepemimpinan ulama yang demikian beberapa kali
mendapat ujian, pada waktu NU bergabung dengan masyuni, NU sebagai Partai
Politik dan ketika NU bergabung dengan PPP, para ulama sering bergeser, bahkan
nyaris tergusur. Akan tetapi dengan kembalinya ke khittahnya kepemimpinan ulama
difungsikan kembali sebagai pemimpin tertinggi, yang mengawasi, mengendalikan
dan menentukan kebijakan.
Keempat, pesantren sebagai sarana perjuangan Nahdlatul
Ulama sejak berdirinya, sampai masa perkembangannya saat ini, pesantren selalu
menjadi sarana perjuangan Nahdlatul Ulam. Dalam masa pertumbuhan ketika
Nahdlatul Ulama mendapat tekanan dari Belanda dan Jepang, maka pesantren bisa
berupa sebagai benteng untuk mencegah dan menanggulangi tekanan penjajah,
khususnya yang bertalan pengaruh aqiqah. Ketradisional pesantren ini sangat menyulitkan masuknya pengaruh Belanda di
masyarakat.
Dalam masa perjuangan fisik,
pesantren berubah menjadi markas tentara, mulai dari latihan perang, sampai
dengan pemberian suwuk para tentara. Dan pada masa pengisian kemerdekaan,
pesantren bisa bertujuan menjadi dapur. Nahdlatul Ulama dalam ikut mengisi
kemerdekaan dengan memberikan masukan-masukan yang sangat penting untuk
membangun bangsa dan Negara, selalu digarap dipesantren, dengan gaya
pensantren, dan referensi pesantren.
Dengan keempat kondisi
tersebut, maka Nahdlatul Ulama tak akan bisa melepaskan peran para kiai sebagai
top leader dalam organisasi. Di pesantren posisi ulama sebagai pemimpin
tunggal, begitu juga menyataannya di NU, sebenarnya bukan feodalisme, tetapi
memang kemampuan kiai dan kharismatiknya yang menyebabkan dia sebagai pemimpin
yang disegani.
Dalam perkembangan dunia
masa kini, dimana permasalahan kehidupan semakin komplek, maka syuriyah sebagai
kolektifitas dan kesatuan kiai harus dapat memahami dan mengusai perkembangan.
Oleh sebab itu unsur-unsur yang ada dalam syuriah harus dapat mencerminkan
komplikasi kondisi zaman. Sehingga syuriyah masih tetap mencerminkan seorang
kiai yang mempunyai kemampuan dan kharismatik.
B. Kedudukan Ulama
dalam Nahdlatul Ulama.
Setiap upaya melakukan
ikhtiar untuk mencapai cita-cata dan tujuan bersama, diperlukan suatu
organisasi untuk mengkoordinasikannya. Kata “organisasi” semula berarti
tatacara menggunakan semual alat (organ) untuk mencapai tujuan secara optimal.
Sering juga kata “organisasi” diartikan “tatakerja”. Kemudian dikembangkan artinya
untuk menyebut sebuah wadah kerja sama antara banyak orang dengan menggunakan
tatakerja yang tertib, struktur yang jelas dan mekanisme kerja yang teratur.
Wadah semacam ini sering disebut “perkumpulan”, “perhimpunan” atai “Jamiyah”.
Nahdlatul Ulama didirikan
sebagai jamiyah yang merupakan alat perjuangan untuk mencapai cita-cita dan
tujuan yang telah digariskan oleh para organisasi/Jamiyah itu hanyalah alat,
bukan tujuan. Karena itu, organisasi tidak boleh mengorbankan tujuan. Meskipun
demikian, organisasi adalah alat yang sangat vital yang harus selalau
dipelihara agar tidak berantakan di tengah jalan perjuangan.
Sebagai organisasi yang
membawa faham keagaan, Nahdlatul Ulama menempatkan ulama sebagai matarantai
pembawa faham Islam Ahlussunnah wal Jamaah, pada posisi sentral dan pemegang
kunci segala kebijaksanaan organisasi. Ulama selalu ditempatkan sebagai
pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannnya organisasi. Hal
ini mudah dimengerti karena Nahdlatul Ulama didirkan adalah dalam rangka
merealisir ide dan kehendak ulama. Disamping itu, seorang ulama yang paling
kecil lingkup pengaruhnya pun selalu mempunyai kewibawaan dan pengaruh yang
sangat besar atas para santri dan murid-muridnya. Ulama jiuga memiliki jalur
kewibawaan langsung dengan masyarakat sekeliling yang dapat menembus
batas-batas kelompok organisasi, batas-batas kedaerahan dan lebih luas lagi.
Kewibawaan dan pengaruh
ulama yang sudah membudaya itu didalam jamiyah Nahdlatul Ulama dikongkritkan
secara formal organisatoris pada struktur kepemimpinan atau keperguruan
“Syuriyah”, mulai tingkat pusat sampai Ranting. Dekimian penting kedudukan dan
peran ulama di dalam Nahdlatul Ulama, sehingga para seorang warga NU betapapun
besar prestasi dan prestasinya, haruslah bersedia menempatkan diri dibawah
pimpinan dan bimbingan ulama.
Bagi Nahdlatul Ulama yang
demikian tinggo memberikan tempat kepada ulama, tentu menetapkan kualitas dan
syarat-syarat tertentu bagi seorang untuk disebut ulama. Tidak sembarang tokoh
diberi status ulama dan mendapat kedudukan di dalam kepengurusan Syuriyah.
Seorang ulama menuntut Nahdlatul Ulama haruslah berilamu agama cukup tinggi,
beramal, dan berakhlak sesuai dengan diikuti, tingkah lakunya diteladani. Imam
Ghazali di dalam menyebutkan sifat Mujtihadin berkata Artinya : “Masing-masing
dari mereka adalah tokoh-tokoh yang tekun beribadah, berzuhud (hatinya tidak
bergantung pada harta benda). Memiliki ilmu-ilmu ukhrawi, mengerti dan
menghayati kemaslahatan (aspirasi) masyarakat dan segala ilmunya ditujukan hanya
untuk mencapai ridlo Allah SWT.”
Sebagai panutan umat, ulama
harus selalu memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Untuk itu, para ulama juga
perlu selalu berusaha mendapatkan kelebihan-kelebihan itu terus menerus.
Masyarakat yang semakin meningkat kemajuannya memerlukan panuta yang semakin
meningkat pula. Pemimpin yang tidak mampu meningkatkan diri akan ditinggalkan
oleh umat yang semakin meningkat.
Dari uraian diata atas dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya Jamiyah Nahdlatul Ulama adalah jamiyah para ulama.
Peranan ulama di dalam Nahdlatul Ulama bukan Cuma sekedar pimpinan tertinggi,
melainkan juga sebagai pengawas, pembimbing, pembina dan menegur apabila
terjadi penyimpangan. Di dalam Nahdlatul Ulama, para ulama adalah sumber
aspirasi dan sekaligus pemimpin operasinya. Ulama dalam Nahdlatul Ulama bukan
sekedar terhimpun dalam staf ahli atau penasihat organisasi yang tidak memiliki
otoritas dan dominasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar