Jumat, 08 Juni 2012

HUJAH TRADISI NAHDLIYIN



Mengingat Kembali

”UKHUWAH NAHDLIYAH”
Sebagai Amanat Organisasi NU
Oleh : Musyafi’ S.Ag.
Direktur PC ASNU Center Kraksaan
UKHUWAH NAHDLIYAH

Secara umum, ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan rasa persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalah ijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu :
Adanya persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman, kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.
Adanya kebutuhan yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja sama, gotong royong dan persatuan. Keberlangsungan sikap ukhuwuwah dalam realisasi kehidupan sosial dipengaruhi oleh beberapa sikap dasar, antara lain :
1.      Saling mengenal (Ta’aruf)
2.      Saling menghargai dan menegangkan (tasamuh)
3.      Tolong menolong (ta’awun)
4.      Saling mendukung (tadlamun)
5.      Saling menyayangi (tarahum)
Sebaliknya, ukhuwah akan terganggu kelestariannya apabila terjadi sikap-sikap destruktif (Muhlikat) yang bertentangan dengan etika sosial yang baik (akhlakul karimah), seperti :
1.      Saling menghina (Assakhriyah)
2.      Saling mencela (allamzu)
3.      Berburuk sangka (suudhan)
4.      Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
5.      Sikap curiga yang berlebihan (Tajassus)
6.      Sikap congkak (Takabbur)
Dalam masalah sosial (ijtimaiyah), ukhuwah dapat dijabarkan dalam beberapa kontek hubungan sebagai berikut :
Persaudaraan nasioanal (ukhuwah wathoyah) yang tumbuh dan berkembang karena persamaan aqidah/keimanan, yang baik di tingkat nasional maupaun internasional.
Persatuan nasionak (ukhuwah wahtoniyah) yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran berbangsa dan bernegara.
Solidaritas kemanusiaan (ukhuwah wathiniyah) yang tumbuh dan berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal.
Ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah (persatuan nasional) merupakan dua sikap yang saling mendukung. Keduanya harus diupayakan keberadanaanya secara serentak, dan tidak dipertentangkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara keduanya adalah :
Akomodatif dalam arti ada kesediaan untuk saling memahami pendapatan aspirasi dan kepentingan satu dengan yang lain.
Akomodatif dalam arti kesediaan untuk saling memahami pendapat aspirasi dan kepentingan satu dengan yang lain.
Selektif, dalam arti ada kesediaan untuk menyelesaikan dalam menyelenggarakan berbagai macam kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar, adil, dan proposional.
Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathoniyah merupakan landasan dan modal dasar bagi terwujudnya Ukhuwah Basyariyah (hubungan kemanusiaan) yang universal.
Ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan sosial, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan salah satu kondisi yang diperlukan dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat, disamping mampu memberikan kemantapan, ketentraman dan kegairahan dalam mengenai berbagai tantangan yang dapat mengganggu kehidupan sosial dan stabilitias nasional. Kondisi yang masyarakat dalam proses pencapaian tujuan bersama dan pada giliran selanjutnya dan batiniyah yang lebih mutu persatuan bangsa dalam menggalang keutuhan umat dalam rangka stabilitas nasional dan solidaritas Islam, serta pengalaman agama yang bertujuan mencapai kesejahteraan hidup dunia dan kebahagiaan hidup akhirat.
Akan tetapi proses pengembangan wawasan ukhuwah tersebut kerap kali mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan berbagai hal, seperti :
Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan yang mudah menumbuhkan sikap apriori dan fanatisme yang tidak berkontrol.
Sempitnya cakrawala berpikir, baik yang disebabkan oleh keterbatasan tingkat pemahaman masalah keagamaan dan kemasyarakatan, maupun yang kepemimpinan umat dalam mengembangkan budaya ukhuwah baik dalam memberikan teladan pada bawahan maupun dalam mengatasi gangguan kerukunan yang timbul dalam kehidupan umat maupun organisasi.
Menurut Nahdlatul Ulama, penerapan konsep dan wawasan dan wawasan ukhuwah, dapat dilakukan melalui bermacam cara, antara lain :
Ukhuwah Islamiyah seyogyanya dimulai dari lingkungan yang paling kecil (keluarga), kelompok atau warga suatu jamiyah, kemudian dikembangkan dalam lingkungan yang lebih luas (antar jamiyah, aliran, dan bangsa).
Perlu adanya keteladanan yang baik (uswah hasanah) dari pimpinan umat, dan khususnya bagi Nahdlatul Ulama di perlukan keteladanan dari para pengurus untuk menampilkan sikap ukhuwah yang dapat dijadikan contoh oleh warganya dan umat Islam pada umumnya, baik dalam kehidupan pribadi maupund alam kehidupan fungsionalnya.
Mengembangkan perluasan cakrawala berpikir dalam masalah keagamaan kemasyarakatan, dalam rangka lebih meningkatkan pengertian dan saling memahami wawasan pihak lain dan mengembangkan sikap terbuka dalam menghadapi masalah-maslah sosial.
Terbentuknay lemaga-lembaga atau pranata-pranata yang menumbukan kerukunan, persatuan, dan solidaritas warga dan umat, seperti koperasi badan pengembangan ekonomi, lembaga-lembaga bantuan, badan-badan dan konsultasi  dan lain sebagainya, sesuai dengan perkembangan dan kerukunan umat.
Mendayagunakan semua lembaga dan sarana yang sudah tersedot yang diadakan oleh pemerintah maupun oleh swadaya masyarakat sendiri MUI, pesantren, sekolah, dan kampur Perguruan Tinggi, sebagai pengembangan persaudaraan Islam dan persatuan nasional.
Mendayagunakan pesantren dan lemabaga-lembaga pendidikan lainnya dimiliki oleh Nahdlatul Ulama Khususnya, agar lebih berperan pengambangan wawasan ukhuwah, baik melalui program kurikuler, kokurikuler maupun ekstra kurikuler.
Menciptakan suatu mekanisme yang baik yang baik dan efektif dalam keluarga jamiuah Nahdlatul Ulama yang mampu berperan dalam menyelesaikan masalah jika terjadi perbedaan pandapat dalam pergaulan interen pengurus atau mengatasi perbedaan pandapat dengan pihak lain. Dalam hubungan ini difungsikan mekanisme “Ishlahul Dzatil Bain” (arbritase) seoptimal mungkin.
A.     Nahdlatul Ulama, Kiayai dan Pesantren
Berbicara Nahdlatul Ulama tidak bisa lepas dengan berbicara pesantren, begitu juga pembahasan tentang pesantren pasti terkait Nahdlatul Ulama, hal ini disebabkan :
Pertama, Nahdlatul Ulama dilahirkan oleh ulama-ulama pesantren diamant sejarah berdirinya, maka Nahdlatul Ulama lahir karena kebutuhan langkah organisasi bagi para ulama pesantren sebagai wadah bergerak dan langkah berdakwah.
Para ulama pesantren terpanggil untuk mendirikan suatu organisasi memelihara ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, dimana saat itu mulai ajara-ajaran anti madzhab, yang dikembangkan oleh ulama-ulama mengaku dirinya modernis dan pembaru. Oleh karena itu ulama pesantren bermadzhab merasa berkewajiban untuk membentengi gerakan tersebut kesatuan langkah dalam Nahdlatul Ulama.
Disamping itu, dikembangkan para ulama pesantren dengan suatu wadah organisasi NU adalah untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ulama-ulama pesantren sebagai pemimpin masyarakat religius juga terpanggil sebagaimana pemimpin-pemimpin yang lain, untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Kedua, basis warga Nahdlatul Ulama adalah masyarakat pesantren atau kaum santri. Semua warga NU memang mengaku sebagai santri seorang kiai, meskipun dia tak pernah mondok, karena kharismatik seorang kiai maka masyarakat merasa terayomidan bergantung pada seorang kiai. Disitulah peranan santri tumbuh. Hal ini bukan hanya pada saat kelahiran NU saja, tetapi sampai sekarang perasaan santri warga NU selalu melekat, meskipun dia tak pernah mengaji.
Ketiga, gaya kepemimpinan NU adalah gaya pesantren, kepemimpinan Nahdlatul Ulama menerapkan gaya kepemimpinan pesantren dimana ulama sebagai pemimpin tertinggi yang berperan sebagai penentu kebijakan, pengawas dan sekaligus pengendali. Kalau dalam pesantren kepemimpinan ini di tangan pengasuh, di Nahdlatul Ulama, Kiai adalah secara kolektif dalam kelembagaan syuriyah.
Kepemimpinan ulama yang demikian beberapa kali mendapat ujian, pada waktu NU bergabung dengan masyuni, NU sebagai Partai Politik dan ketika NU bergabung dengan PPP, para ulama sering bergeser, bahkan nyaris tergusur. Akan tetapi dengan kembalinya ke khittahnya kepemimpinan ulama difungsikan kembali sebagai pemimpin tertinggi, yang mengawasi, mengendalikan dan menentukan kebijakan.
Keempat, pesantren sebagai sarana perjuangan Nahdlatul Ulama sejak berdirinya, sampai masa perkembangannya saat ini, pesantren selalu menjadi sarana perjuangan Nahdlatul Ulam. Dalam masa pertumbuhan ketika Nahdlatul Ulama mendapat tekanan dari Belanda dan Jepang, maka pesantren bisa berupa sebagai benteng untuk mencegah dan menanggulangi tekanan penjajah, khususnya yang bertalan pengaruh aqiqah. Ketradisional pesantren ini sangat menyulitkan masuknya pengaruh Belanda di masyarakat.
Dalam masa perjuangan fisik, pesantren berubah menjadi markas tentara, mulai dari latihan perang, sampai dengan pemberian suwuk para tentara. Dan pada masa pengisian kemerdekaan, pesantren bisa bertujuan menjadi dapur. Nahdlatul Ulama dalam ikut mengisi kemerdekaan dengan memberikan masukan-masukan yang sangat penting untuk membangun bangsa dan Negara, selalu digarap dipesantren, dengan gaya pensantren, dan referensi pesantren.
Dengan keempat kondisi tersebut, maka Nahdlatul Ulama tak akan bisa melepaskan peran para kiai sebagai top leader dalam organisasi. Di pesantren posisi ulama sebagai pemimpin tunggal, begitu juga menyataannya di NU, sebenarnya bukan feodalisme, tetapi memang kemampuan kiai dan kharismatiknya yang menyebabkan dia sebagai pemimpin yang disegani.
Dalam perkembangan dunia masa kini, dimana permasalahan kehidupan semakin komplek, maka syuriyah sebagai kolektifitas dan kesatuan kiai harus dapat memahami dan mengusai perkembangan. Oleh sebab itu unsur-unsur yang ada dalam syuriah harus dapat mencerminkan komplikasi kondisi zaman. Sehingga syuriyah masih tetap mencerminkan seorang kiai yang mempunyai kemampuan dan kharismatik.

B.     Kedudukan Ulama dalam Nahdlatul Ulama.
Setiap upaya melakukan ikhtiar untuk mencapai cita-cata dan tujuan bersama, diperlukan suatu organisasi untuk mengkoordinasikannya. Kata “organisasi” semula berarti tatacara menggunakan semual alat (organ) untuk mencapai tujuan secara optimal. Sering juga kata “organisasi” diartikan “tatakerja”. Kemudian dikembangkan artinya untuk menyebut sebuah wadah kerja sama antara banyak orang dengan menggunakan tatakerja yang tertib, struktur yang jelas dan mekanisme kerja yang teratur. Wadah semacam ini sering disebut “perkumpulan”, “perhimpunan” atai “Jamiyah”.
Nahdlatul Ulama didirikan sebagai jamiyah yang merupakan alat perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang telah digariskan oleh para organisasi/Jamiyah itu hanyalah alat, bukan tujuan. Karena itu, organisasi tidak boleh mengorbankan tujuan. Meskipun demikian, organisasi adalah alat yang sangat vital yang harus selalau dipelihara agar tidak berantakan di tengah jalan perjuangan.
Sebagai organisasi yang membawa faham keagaan, Nahdlatul Ulama menempatkan ulama sebagai matarantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal Jamaah, pada posisi sentral dan pemegang kunci segala kebijaksanaan organisasi. Ulama selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannnya organisasi. Hal ini mudah dimengerti karena Nahdlatul Ulama didirkan adalah dalam rangka merealisir ide dan kehendak ulama. Disamping itu, seorang ulama yang paling kecil lingkup pengaruhnya pun selalu mempunyai kewibawaan dan pengaruh yang sangat besar atas para santri dan murid-muridnya. Ulama jiuga memiliki jalur kewibawaan langsung dengan masyarakat sekeliling yang dapat menembus batas-batas kelompok organisasi, batas-batas kedaerahan dan lebih luas lagi.
Kewibawaan dan pengaruh ulama yang sudah membudaya itu didalam jamiyah Nahdlatul Ulama dikongkritkan secara formal organisatoris pada struktur kepemimpinan atau keperguruan “Syuriyah”, mulai tingkat pusat sampai Ranting. Dekimian penting kedudukan dan peran ulama di dalam Nahdlatul Ulama, sehingga para seorang warga NU betapapun besar prestasi dan prestasinya, haruslah bersedia menempatkan diri dibawah pimpinan dan bimbingan ulama.
Bagi Nahdlatul Ulama yang demikian tinggo memberikan tempat kepada ulama, tentu menetapkan kualitas dan syarat-syarat tertentu bagi seorang untuk disebut ulama. Tidak sembarang tokoh diberi status ulama dan mendapat kedudukan di dalam kepengurusan Syuriyah. Seorang ulama menuntut Nahdlatul Ulama haruslah berilamu agama cukup tinggi, beramal, dan berakhlak sesuai dengan diikuti, tingkah lakunya diteladani. Imam Ghazali di dalam menyebutkan sifat Mujtihadin berkata Artinya : “Masing-masing dari mereka adalah tokoh-tokoh yang tekun beribadah, berzuhud (hatinya tidak bergantung pada harta benda). Memiliki ilmu-ilmu ukhrawi, mengerti dan menghayati kemaslahatan (aspirasi) masyarakat dan segala ilmunya ditujukan hanya untuk mencapai ridlo Allah SWT.”
Sebagai panutan umat, ulama harus selalu memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Untuk itu, para ulama juga perlu selalu berusaha mendapatkan kelebihan-kelebihan itu terus menerus. Masyarakat yang semakin meningkat kemajuannya memerlukan panuta yang semakin meningkat pula. Pemimpin yang tidak mampu meningkatkan diri akan ditinggalkan oleh umat yang semakin meningkat.
Dari uraian diata atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Jamiyah Nahdlatul Ulama adalah jamiyah para ulama. Peranan ulama di dalam Nahdlatul Ulama bukan Cuma sekedar pimpinan tertinggi, melainkan juga sebagai pengawas, pembimbing, pembina dan menegur apabila terjadi penyimpangan. Di dalam Nahdlatul Ulama, para ulama adalah sumber aspirasi dan sekaligus pemimpin operasinya. Ulama dalam Nahdlatul Ulama bukan sekedar terhimpun dalam staf ahli atau penasihat organisasi yang tidak memiliki otoritas dan dominasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar