POLIGAMI DALAM
PRESPEKTIF FIQH KONTEMPORER
*M. Nur Kholis Al Amin
A.
PENDAHULUAN
Poligami (ta'addud al-zaujah) jauh sebelum Islam lahir telah menjadi
tradisi dan diperaktekkan oleh masyarakat jahiliyah. Sistem poligami pada masa
pra Islam tidak dibatasi dengan jumlah tertentu. Poligami yang terjadi
pada masa pra Islam nampak tidak menghargai perempuan dan cenderung hanya untuk
memuaskan keinginan kaum laki-laki saja. Tidak ada larangan bagi para suami
untuk memiliki beberapa orang istri bahkan mencapai ratusan.
Islam lahir dalam keadaan poligami sudah mentradisi di kalangan bangsa-bangsa
di permukaan bumi ini, tetapi tidak ada peraturan yang mengatur serta tidak ada
batasannya. Islam sebagai agama Rammatan Lil ‘Alamin berupaya untuk
memberikan perbaikan atas budaya dan tradis yang tidak baik. Islam memebrikan
batasan dan syarat-syarat yang cukup ketat dalam berpoligami, yaitu hanya
dibatasi empat orang istri saja serta suami harus bisa berlaku adil diantara
empat orang istrinya.
B. POLIGAMI PRA ISLAM
Sebagaimna yang dijelaskan diatas, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad
SAW yang membawa Islam, Agama Samawi, umat terdahulu telah memperaktekkan
poligami. Cukup banyak yang membuktikan kebenaran ini. Hal ini diakui oleh
Musthafa al-Siba’i seperti dikatakannya “ poligami itu sudah ada
dikalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba …bangsa Yunani, Cina,
India, Babylonia, Assyiria, Mesir dan lain-lain” ia menambahkan “ poligami
dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami,
malahan salah seorang raja cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga
puluh ribu orang)orang.”
Dalam agama yang lain seperti Yahudi dan Kristen juga membolehkan poligami.
Sebagian Nabi- Nabi terdahulu juga ikut memperaktekkan poligami. Seperti Nabi
Sulaiman mempunyai 700 (tujuh ratus istri). Nabi Musa juga tidak melarang
poligami dan tidak membatasi jumlah sampai berapapun.
Berdasarkan fakta sejarah diatas, poligami yang diperaktekkan oleh masyarakat
pada masa sekarang merupakan kelanjutan syariat yang diamalkan oleh umat-umat
terdahulu. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa poligami sebenarnya bukanlah
ajaran agama Islam. Bukan pula Nabi Muhammad yang memploporinya, seperti yang
dituduhkan oleh Will Durran di dalam bukunya the Story of Civilization jilid
pertama, sebagaimana dikutip Muthahhari “ para teolog di zaman abad-abad
pertengahan berpendapat bahwa muhammadlah yang memprakarsai poligami”
Dengan demikian maka jelas pendapat yang dikemukakan oleh para orentalis tidak berdasarkan fakta sejarah yang valid. Islam mensyariatkan kembali peraktek poligami tidak hanya iktu-ikutan dan meneruskan syari’at umat terdahulu, akan tetapi lebih dari itu ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
Dengan demikian maka jelas pendapat yang dikemukakan oleh para orentalis tidak berdasarkan fakta sejarah yang valid. Islam mensyariatkan kembali peraktek poligami tidak hanya iktu-ikutan dan meneruskan syari’at umat terdahulu, akan tetapi lebih dari itu ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
C. POLIGAMI DALAM ISLAM
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani yakni apolus artinya banyak dan kata
gamos artinya perkawinan. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana seorang peria
pengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang bersamaan.
Ada beberapa dalil yang dapat dijadikan sandaran tentang pembatasan poligami menjadi empat orang istri. Diantara dalil-dalil tersebut adalah :
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Ada beberapa dalil yang dapat dijadikan sandaran tentang pembatasan poligami menjadi empat orang istri. Diantara dalil-dalil tersebut adalah :
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Berdasarkan ayat diatas, manyoritas ulama berpendapat bahwa poligami tidak
boleh lebih dari empat orang istri. Pendapat ini didasrkan atas apa yang pernah
terjadi pada masa Rasulullah dimana Harist Bin Sabit yang mempunyai istri
delapan orang dan ketika dia masuk Islam Nabi menyuruh memilih empat orang
istri saja dan menceraikan yang lainnya. Sementara menurut golongan
Syi’ah, poligami boleh lebih dari empat orang istri. Hal ini didasarkan pada
Nabi Muhammad yang memiliki istri lebih dari empat orang.
Syarat adil yang harus terpenuhi dalam poligami, secara sepintas bertentangan dengan ayat 129 tersebut diatas. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil diantara istri-istrimu.
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة وإن تصلحوا تتقوا فإن الله كان غفورا رحيما
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Syarat adil yang harus terpenuhi dalam poligami, secara sepintas bertentangan dengan ayat 129 tersebut diatas. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil diantara istri-istrimu.
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة وإن تصلحوا تتقوا فإن الله كان غفورا رحيما
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Menurut imam al-Qurthubi, yang dimaksud adil dalam surat an-Nisa’/4:3 adalah
keharusan adil dalam hal kasih sayang, hubungan biologis, pergaulan dan
pembagian nafkah.
Pendapat al-Qurthubi dibantah oleh sebagian pendapat. Pendapat yang kedua mencoba mengklasifikasikan makna adil dalam dua ayat tersebut diatas.Yang dimaksud adil dalam konteks perkawinan adalah adil dalam hal-hal yang bersifat fisik-material. Sebab keadilan dalam hal inilah yang berada dalam bingkai kemampuan manusia. Sementara adil dalam ayat kedua adalah adil dalam hal-hal yang bersifat maknawiyah seperti perasaan cinta yang berada di luar kemampuan manusia.
Pendapat al-Qurthubi dibantah oleh sebagian pendapat. Pendapat yang kedua mencoba mengklasifikasikan makna adil dalam dua ayat tersebut diatas.Yang dimaksud adil dalam konteks perkawinan adalah adil dalam hal-hal yang bersifat fisik-material. Sebab keadilan dalam hal inilah yang berada dalam bingkai kemampuan manusia. Sementara adil dalam ayat kedua adalah adil dalam hal-hal yang bersifat maknawiyah seperti perasaan cinta yang berada di luar kemampuan manusia.
Pembagian keadilan menjadi material dan immaterial merupakan hasil dari
perpaduan (al-jam'u wa al-taufĭq) dua ayat, yaitu al-Nisa' ayat 3 dan 129
yang secara dhahir terkesan kontradiktif. Indikasi dari perpaduan itu adalah
ujung dari ayat 129 (falâ tamĭlû kulla al-maili…) yang merupakan amnesti
ketuhanan (al-'afwu al-ilâhi) terhadap keharusan berbuat adil dalam hal-hal
yang bersifat immaterial.
D. POLIGAMI DALAM PANDANGAN FIQH KONTEMPORER
1. Poligami dalam Pandangan Syahrur
Muhammad Syahrur dikenal sebagai tokoh pemikir muslim kontemporer yang banyak melakukan penafsiran terhadap al-Qur’ān. Teori Batas (nadzariyyah al-hudūd) menjadi teori handalnya dalam melakukan penafsiran terhadap setiap tema ayat terutama menyangkut kehidupan sosial umat Islam. Di antaranya adalah persoalan poligami. Dalam analisisnya, Syahrur memulai dengan ayat berikut:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Muhammad Syahrur dikenal sebagai tokoh pemikir muslim kontemporer yang banyak melakukan penafsiran terhadap al-Qur’ān. Teori Batas (nadzariyyah al-hudūd) menjadi teori handalnya dalam melakukan penafsiran terhadap setiap tema ayat terutama menyangkut kehidupan sosial umat Islam. Di antaranya adalah persoalan poligami. Dalam analisisnya, Syahrur memulai dengan ayat berikut:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Syahrur menganalisis ayat di atas dengan memunculkan dua batas (al-hadd),
yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).
Pertama, secara kuantitas, ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah
minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, sebab tidak mungkin
seseorang beristri separuh. Adapun al-hadd al-a’lā atau jumlah maksimum yang
diperbolehkan adalah empat. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas,
seseorang boleh beristri lebih dari seorang, yakni dua, tiga hingga empat
orang. Penyebutan satu persatu jumlah perempuan dalam ayat matsnā wa stulāsta
wa rubā, menurut Syahrur, harus dipahami sebagai penyebutan bilangan bulat
secara berurutan, karena itu tidak bisa dipahami 2 + 3 + 4 yang berjumlah
sembilan. Dengan demikian, melebihi dari jumlah tersebut berarti dia
telah melanggar batasan-batasan (hudūd) yang telah ditetapkan oleh Allah.
Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa
memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan
batasan (hadd fi al-kayf).
Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut
masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur
mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub dalam
surat al-Nisa' ayat 03 tersebut memakai redaksi syarth. Karena itu,
seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba lakum min
al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an
lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain, untuk istri pertama tidak
disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan
pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah (janda yang
mempunyi anak yatim). Maka seorang suami yang bermaksud beristri lebih dari
satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini, menurut
Syahrur, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi,
yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari
istri-istri berikutnya.
2. Poligami dalam pandangan Nasr hamid Abu Zayd
Sebagaimana Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah seorang pemikir
kontemporer yang juga concern di bidang Islamic studies, maka isu mengenai
poligami tidak luput dari perhatiannya. Dalam melakukan analisis, Abu Zayd juga
kembali pada surat al-Nisā' ayat 3. Analisis terhadap persoalan ini dia lakukan
melalui tiga langkah:
Pertama, Konteks dari teks itu sendiri. Dia memulai pembahasan ini dengan mempertanyakan terabaikannya makna dari ayat “atau budak-budak perempuan yang kamu miliki” pada potongan ayat tersebut. Yang ia maksudkan adalah, bahwa praktek hukum memiliki tawanan perang atau budak perempuan sebagai selir yang boleh digauli dalam wacana Islam telah hilang selamanya, sementara pada sisi yang lain poligami terus menerus dipertahankan. Padahal, menurutnya, hal itu telah ditetapkan oleh teks yang sama tingkat kejelasan dan ketegasannya.
Pertama, Konteks dari teks itu sendiri. Dia memulai pembahasan ini dengan mempertanyakan terabaikannya makna dari ayat “atau budak-budak perempuan yang kamu miliki” pada potongan ayat tersebut. Yang ia maksudkan adalah, bahwa praktek hukum memiliki tawanan perang atau budak perempuan sebagai selir yang boleh digauli dalam wacana Islam telah hilang selamanya, sementara pada sisi yang lain poligami terus menerus dipertahankan. Padahal, menurutnya, hal itu telah ditetapkan oleh teks yang sama tingkat kejelasan dan ketegasannya.
Kedua, Meletakkan teks dalam konteks al-Quran secara keseluruhan. Tujuan dari
langkah ini, bagi Nashr Hamid, adalah untuk mengungkapkan suatu dimensi
makna yang tersembunyi (al-maskut ‘anhu) atau “yang tak terkatakan”. Teks
al-Quran sendiri menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika suami
khawatir tidak bisa berbuat adil; “jika kamu takut tidak akan bisa berbuat adil
(terhadap mereka) maka seorang saja”. Dalam ayat lain ditegaskan bahwa :
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
Dengan adanya dukungan ayat tersebut, tegas Abu Zaid, bersikap adil terhadap
para istri adalah tidak mungkin dilakukan. Dalam konteks poligami,
keadilan adalah satu hal yang prinsip (mabda'). Bolehnya memiliki istri lebih
dari satu hingga empat orang istri adalah sebuah hukum, namun hukum tidak bisa
dijadikan dasar jika bertentangan dengan prinsip dasar ditegakkannya hukum
tersebut. Karena itu, jika antara hokum dan mabda' saling bertentang maka hukum
tidak bisa dipertahankan.
Ketiga, dengan mendasarkan secara logis pada dua langkah di atas, Abu Zayd
mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam. (dalam hukum Islam klasik, poligami
diklasisifikasikan dalam “hal-hal yang diperbolehkan” (al-mubahah). Pembolehan
poligami dalam realitas merupakan “penyempitan” dan transisi terhadap poligami
yang lebih luas dan mendahului hukumnya, karena itu tema pembolehan (ibahah),
menurut Abu Zayd, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang
tidak diperbolehkan oleh teks. Sementara pembolehan poligami dalam al-Quran
pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tidak terbatas yang
telah dipraktekkan di masa pra Islam.
Dengan demikian, Abu Zayd mengharamkan poligami secara multak dengan memberikan tiga fokus pembahasan di atas tanpa memberi dispensasi hukum meski dalam kondisi darurat. Hukum ini diambil dari maghzā (signifikansi) ayat-ayat al-Qur’ān yang saling terkait mengenai ketentuan hukum poligami.
Dengan demikian, Abu Zayd mengharamkan poligami secara multak dengan memberikan tiga fokus pembahasan di atas tanpa memberi dispensasi hukum meski dalam kondisi darurat. Hukum ini diambil dari maghzā (signifikansi) ayat-ayat al-Qur’ān yang saling terkait mengenai ketentuan hukum poligami.
3. Poligami dalam Kompilasi HukumIslam
Poligami dalam KHI diatur dalam pasal 55
(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57.
Pengadilan agama hanya akan memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
E. PENUTUP
Poligami dalam KHI diatur dalam pasal 55
(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57.
Pengadilan agama hanya akan memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
E. PENUTUP
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manoritas dari
kalangan ulama klasik memperbolehkan poligami selama tidak keluar dari
batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam al-Quran. Sementara
ulama kontemporer dalam merespon persoalan poligami sangat beragam karena berangkat
dari cara pandang yang berbeda dalam menafsiri ayat-ayat poligami.
sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Nasr Hamid bahwa poligami
sudah tidak bisa diperaktekkan lagi pada masa sekarang. Sementara menurut
Syahrur poligami poligami diperbolehkan dengan syarat harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia persolan poligami semakin diperketat
hukumnya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap perempuan
(istri). Syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang hendak berpoligami
diantaranya adalah: (1) Suami harus mendapat izin dari istri pertama dan
pengadilan Agama. (2). Ketika istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
istri. Dan Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Serta istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar