Minggu, 28 Oktober 2012

CINTA ITU PASTI ADANYA

CINTA ITU INDAH 



Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syari. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yang rendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal in adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya.
Cinta insan itu ada batasnya…, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.

1. Cinta (AI-Hubb)

Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, menganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.
Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dari Mughirah bin Su’bah Radhiyallahu ‘anhu berkata ;”Aku telah meminang seorang wanita”, lalu Rasulullah

shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku :’Apakah kamu telah melihatnya ?” Aku berkata :”Belum”, maka beliau bersabda : ‘Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu pada akhimya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian berdua’

Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”, bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.

Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dimana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan-perempuan rusak yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira bahwa ‘cinta’ tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.

Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta, Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,… “,
(Q.S Ali-Imran : 14)


Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma berkata : telah bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :

“Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pemikahan .?

Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena pandangan’ itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada Fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian ; wanita dan wangi-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat?
( HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi)


Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.

Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat sedikit mereka yang selamat.


2. Rindu (Al-’Isyq)

Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.

Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-Thohawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.

Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.

Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.


3. Cemburu (Al-Ghairah)

Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu ternasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.

Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketik~asuaminya berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan peduli (lihat pada bab 1). Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena gejolak kecemburuan, adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i tidak akan terjadi kecuali karena kelalaian dan kesesatan.

Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta ketidaksenangan terhadap madunya.

Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Ta’ala jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal tersebut, karena dorongan cemburu.

Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski klta tidak mengetahui secara rinci.
4. Surqa merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Ta’ala :

“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaltu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata scbagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan
?
(Q.S As-Sajdah : 17)


Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tcrsembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh kenikmatan dan rahmat Allah Ta’ala yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.

Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau meraka telanjang dan membuka tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.

Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh (permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka orangorang yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan clan keutamaan.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaitu Dayyuuts: Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir ; serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Amr , dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.

Dikutip darikitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Penulis: Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an, Edisi Indonesia “Jilid I? Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta

Sabtu, 27 Oktober 2012

JEJAK CINTA SANG SUFI MUDA



hmm.... cinta...cinta dan cinta

 

Jika aku harus meneruskan keteranganku tentang Cinta,

Walau seratus kebangkitan berlalu, belum juga purna

Oh Cinta yang memiliki seribu nama dan sebuah mangkuk

Anggur-anggur yang manis! Oh engkau diberkati seribu

Kemampuan

“Maulana Jalaluddin Rumi”

"Datanglah!..Aku ingin memberikannya padamu
sebelum pamit. Aku sekarang memiliki pedepokan disana, tunjukku di langit. Benarkah....?
Ya!, Disana aku punya kebun bunga yang tak mengenal musim, namun entah untuk siapa.
Lalu kita saling membuka album kenangan dan tersenyum tiba-tiba : kita telah menjadi dua"...(R. Timur Budi Raja"


Malam belum mencapai puncak. Seperti biasa, sebelum tidur kusempatkan diri untuk merenung sejenak di atas bentangan sajadah panjang. Bukan untuk meminta sesuatu yang berharga dalam hidup, tetapi sekedar ingin berbincang dengan-Nya, tentang banyak hal yang membuat manusia merasa tidak memiliki satu alasan pun untuk untuk tidak bersyukur. Terlebih lagi tentang gurauan-gurauan-Nya yang dasyat, yang seharusnya membuat orang semakin dekat dengan-Nya, dan bukan sebalik: menuduh-Nya dengan pikiran dan perasaan yang bukan-bukan. Tidak jauh beda dengan manusia, apa yang disebut sebagai Allah pun acap kali menjadi objek bagi kekecewaan dan kegagalan kita dalam memahami hidup, terutama sekali dalam memahami diri kita sendiri. Beberapa saat kemudian, dua kali ketukan pintu dan suar batuk terdengar. Pintu kubuka, dan si pengetuk pintu telah berdiri tepat di depanku. Seperti hari-hari kemaren, tidak ada yang penting bagi tamuku yang satu ini, selain membicarakan perihal perasaan cintanya. Cinta, yang katanya sangat mendalam, sayang yang katanya tidak terukur, dan kenyataan yang katanya melompat jauh dari harapan. Cinta yang tertolak! Dia tidak pernah tahu kapan derita cintanya akan berakhir, sementara disaat yang sama cintanya semakin dalam dan benar-benar tak tertahankan. “Aku mencintainya, dan hanya dialah yang bisa mengatasi semua ini,” katanya dengan suara tersekat di tenggorokan. Untuk kesekian kalinya, aku tidak punya pilihan yang lebih baik, selain mendengarkan penuturannya, sampai tidak ada lagi yang bisa dikatakan. “Siapapun yang merasakan apa yang aku rasakan, pasti akan mengalami hal yang salam sepertiku.” Beberapa hari kemudian ia jatuh sakit. Ketika kuceritakan perihal sakitnya itu kepada orang yang dicintainya, dengan harapan bersedia menjenguknya, ia malah berkata: “Aku tidak akan menjenguk orang sakit yang dibuatnya sendiri” Aku terdiam. Bagaimana bisa, pembunuhan diam-diam tengah berlangsung, dan justru “dilakukan” oleh orang yang diagungkannya melebihi dewi-dewi di kahyangan.

Han telah mampu menikmati tubuh kekasihnya melebihi apa yang diimajinasikannya. Pada awalnya, Han hanya ingin menempatkan kekasihnya itu sebagai pengisi waktu luang yang dapat di desain seerotis mungkin. Namun, belakangan, setiap kali ia menikmati tubuhnya, Han tiba-tiba merasa kasihan, berdosa, dan mengutuki diri sendiri sebagai laki-laki yang jahat. Han bilang, bahwa perempuan itu terlalu baik kalau hanya untuk diperlakukan semacam itu. “Kali ini akulah yang kalah,” katanya. Cinta telah mengalihkan pikiran dan perasaanku dari tujuan semula: yakni hanya sekedar menikmati tubuhnya.”

Rumah sakit jiwa. Seorang gadis berwajah manis dengan jilbab yang menjulur menutupi pundaknya, terlihat histeris dalam kerangkeng. Ia berteriak dan memanggil-manggil dengan suara penuh harap sekelompok perawat pria dan beberapa pengunjung rumah sakit akan menghampirinya. Di antara jendelan kaca yang pecah berserakan, nasi, bungkusan-bungkusan plastik, dan onggokan baju, ia tertawa, menangis, dan sesekali mengalir deras dari bibirnya ayat-ayat suci dan lagu-lagu religius. Menyedihkan! Gadis manis ini tidak lagi melihat cinta dan kesetiaan pada diri orang yang dia cintai. Ia telah ditinggalkan begitu saja. Cinta telah membuatnya menjadi gadis petualang paling liar yang lupa dengan dirinya sendiri: hidup dalam dunia asing yang tak terpahami, kecuali oleh kegilaannya. Cinta, adalah salah satu sebab yang memaksanya harus mendekam dalam kerangkeng kegilaan.

Mileva adalah penganut Gereja Ortodoks Yunani yang saleh. Konon, keberagamaan Einstein tidak hanya diperoleh dari pendidikannya di masa kecil, tetapi juga dari perkawinannya dengan Mileva, temannya dalam kelas fisika, Ketika mereka terpaksa bercerai, Einstein memanggil mantan istrinya dengan sapaan mesra, “Engkau akan menjadi suci bagiku, yang tidak seorang pun bisa masuk ke situ.” Ketika Einstein memenangkan hadiah Nobel (setelah enam kali diprotes oleh fisikawan yang rasis, berkat temuannya dalam efek fotoelektrik, bukan teori relativitas) ia mengirimkan hadiah uangnya kepada Mileva. 1)

Pada tahun 1201, ketika sedang melaksanakan Tawaf di Ka’bah, Ibn al-Arabi mengalami sebuah pengalaman yang meninggalkan pengaruh kuat dan lama terhadap dirinya, dia melihat perempuan muda bernama Nizam dikelilingi oleh cahaya dan ia menyadari bahwa perempuan yang bernama Nizam itu adalah Hikmat Ilahi. Epifani ini membuat al-Arabi sadar dan meyakini bahwa adalah mustahil baginya mencintai Tuhan jika hanya bersandar pada argumen-argumen rasional . Ia percaya bahwa imajinasi cerdik akan mampu menembus batas fisikal dan rasional sehingga seseorang bisa menangkap dan menyerap segala sesuatu sebagai bagian dari Keindahan Tuhan. Serupa dengan Ibn al-Arabi, sekitar delapan tahun kemudian, Dante Alighieri memperoleh pengalaman serupa di Florence ketika bertemu dengan Beatrice Portinari. Sontak, begitu dia menatap gadis Portinari itu, jiwanya bergetar kuat dan seakan-akan dia mendengar seruan dari dalam dirinya untuk mengagumi bentuk-bentuk kehadiran Tuhan: “Lihatlah Tuhan yang lebih kuat daripadaku yang datang untuk menaklukkan diriku.” Beatrice menjadi citra Ilahi bagi Dante. 2)

PANAMPAKAN

Dari sejumlah contoh di atas, tampak betapa energi yang kita sebut sebagai cinta hadir dalam berbagai bentuk. Cinta pada contoh pertama menyeret seseorang pada krisis eksistensial. Keterpusatan makna dari cinta yang lahir sendiri tanpa keterlibatan obyek cinta telah mengubah realitas objektif atau kenyataan menjadi hampir sepenuhnya subjektif. Ia sulit dan bahkan tidak bisa menerima kenyataan dari cintanya yang tertolak. Penolakan itu justru memperdalam perasaan cintanya. Ia membangun dan menciptakan orang yang dia cintai terus-menerus dan dalam keguncangan psikologis. Sehingga, pikiran, perasaan, dan dinamika di dalam cinta kemudian berkembang melampaui keberadaan dirinya. Di sini, apa yang dianggap oleh banyak orang sebagai kekeliruan, kebodohan, dan kelemahan, justru dirasakan sebagai suatu kebenaran yang nyata dan tak terbantahkan. Sepuluh, dua puluh, atau bahkan seratus orang bisa saja mengatakan bahwa dia disesatkan oleh pikiran dan perasaannya sendiri, namun ia akan tetap berada dalam kesulitan untuk menyelamatkan diri dari cinta yang setiap saat menggerogoti jiwanya. Bisa jadi, ini adalah penyerapan terdalam dari kedalaman perempuan, yang barangkali tak tersingkapkan, kecuali olehnya, atau keagungan dalam diri perempuan, yang bahkan tidak disadari oleh dirinya sendiri.

Pada contoh kedua kita melihat, dimana secara diam-diam dan tanpa sadar terjadi perubahan pikiran dan perasaan dalam diri seseorang. Dari dorongan yang semata-mata seksual menjadi interaksi yang melibatkan beragam dimensi psikologis. Ada hasrat seksual, kesadaran, terbangkitkannya moralitas, rasa kasihan, dan rasa tanggung jawab. Pada kasus ini, meskipun seseorang kesulitan menerima kenyataan psikologisnya, namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa sebenarnya ia mulai mencintai seseorang yang sebelumnya tidak lebih dipandang sebagai partner seksual, dan hal itu membuatnya takut, khawatir, cemas, dan tidak lagi melihat hasrat seksual sebagai kebanggaan. Ia tidak percaya dengan cintanya sendiri, di saat dia mulai mencintai, karena memang sedari awal ia tidak hendak memupuk kepercayaan terhadap cinta, kecuali cinta itu memberikan kepuasan seksual baginya. Tapi kali ini, ia mendapati perasaan cinta yang hendak menyelamatkan nilai seseorang dan dirinya sendiri.

Pada kasus ketiga, si gadis sudah terlanjur menempatkan orang yang dia cintai sebagai satu-satunya makna yang tak tergantikan oleh apa pun. Suatu alasan tunggal, yang karenanya hidup layak untuk dilanjutkan. Ia telah menjadi orang lain, menjadi orang yang dia cintai, sementara orang yang dia cintai tidak bisa menjadi dirinya lagi, akibatnya ia terpisah dari dirinya sendiri. Kemudian pada kasus keempat mungkin kita akan bertanya, ada apa sebenarnya di kedalaman diri seorang Mileva sehingga ilmuan besar bernama Einstein perlu menyebutnya sebagai “tempat suci”, meski keduanya telah bercerai. Ada banyak kemungkinan, di antaranya, secara riil keduanya barangkali tidak lagi menemukan kecocokan, dan karenanya hubungan keduanya dalam kehidupan nyata akan banyak diwarnai benturan-benturan yang banyak menyesakkan. Namun, cinta melampaui dan lebih dalam dari pikiran, perasaan, sikap, perbuatan, konflik, dan sejumlah perbedaan, sehingga ruang cinta, ruang keagungan, dan ruang kesucian dalam diri Einstein akan tetap diisi oleh kehadiran dan keabadian sosok Mileva. Keduanya barang kali harus mencintai dan membangun cinta dengan cara dan jalan yang lain. Betapa pun, suatu perpisahan tidak selalu menjadi suatu tanda berakhirnya cinta, bahkan dalam kasus ini perpisahan menjadi bagian dari cinta dan mencintai itu sendiri.

Lebih mengejutkan lagi kehadiran cinta pada diri Ibn al-Arabi dan Dante Alighieri. Ini bukanlah cinta biasa. Wujud dari kehadiran perempuan tidak lagi menjadi keindahan atau keagungan yang menarik jiwa untuk menari dalam ekstase fisikal, tapi menjadi stimulus yang menghentakkan ruh, diri, hati, dan jiwa untuk menatap kehadiran Tuhan. Apa yang dikatakan Ibn al-Arabi mengenai peristiwa itu, jauh menembus lintas batas tempat, ruang, waktu, dan kesadaran. Di sini perlu saya garisbawahi agar tidak disalahpahami, bahwa sependapat atau tidak dengan konsep atau pengalaman yang dikemukakan Ibn al-Arabi dan Dante Alighieri tidaklah terlalu penting, karena demikianlah isi pengalaman batiniah yang menyusup di kedalaman diri seseorang. Suatu konsep pikiran dan perasaan yang agaknya tidak hanya sekadar muncul atas dasar pengalaman, akan tetapi juga tumbuh dari apa yan telah dikatakan Allah: “ Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan semesta dan makhluk-makhluk agar Aku dikenal oleh mereka”. Dan di waktu yang lain Allah juga berfirman : “ Kemanapun engkau palingkan wajahmu kau akan menemukan wajah-Ku. ” Nizam adalah epifani dari wajah Allah yang indah indah bagi Ibn al-Arabi hingga dia merasa begitu perlu untuk mengatakan, bahwa kalau engkau mencintai suatu wujud karena keindahannya, engkau tidak lain mencintai Allah, karena Dia adalah satu-satunya Wujud yang Indah.” Dengan demikian, kata al-Arabi , semua aspek dari objek cinta hanyalah Tuhan. Kita, lanjut al-Arabi, tidak bisa melihat Tuhan itu sendiri, namun kita bisa melihatnya ketika Dia memilih mewahyukan Diri melalui makhluk-makhlukNya, seperti gadis Nizam, yang mengilhami rasa cinta di hati Ibn al-Arabi. “ Nizam, katanya, “telah menjadi objek pencarianku dan harapanku, perawan yang paling murni: banyak hal dari alam batin yang lebih mempesonaku daripada segala yang ada di dalam kehidupan aktual dan karena gadis belia ini aku mengetahui persis apa yang kumaksudkan.“ Imajinasi kreatif telah mengubah gadis Nizam menjadi avatar Tuhan.

Apakah keindahan akan selalu membawa pada kebesaran dan kehadiran Tuhan, adalah pertanyaan yang harus dikembalikan pada bagaimana kita melihat keindahan dan dengan apa kita melihatnya. Setiap kita memiliki penglihatan, pendengaran, dan hati, tetapi tidak setiap kita menyadari kualitasnya, dan bahwa penglihatan, pendengaran, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban. Dan demikianlah, penjelasan sementara dan sederhana dari sejumlah contoh di atas, yang sudah barang tentu tidaklah sesederhana itu. Yang ingin saya katakan dengan menyuguhkan sejumlah contoh di atas adalah bahwa atas nama, demi, dan oleh cinta, seseorang akan hadir dalam keberagaman pengalaman, dari perilaku unik yang masih dikendalikan kesadaran hingga kegilaan yang terus membangun dirinya sendiri. Dari pemujaan akan seks sampai penangkapan kesucian dan kesadaran. Dan dari kehadiran objektif, spiritual pribadi, yang berpusat pada manusia, sampai pada penghayatan konsepsi imajinatif sufistik tentang Tuhan yang personal. Kalau demikian, lantas apa sebenarnya yang di maksud dengan cinta?

Sumber: The Young Sufi Karya Juwandi Ahmad

BAGEIMANA DENGAN ANDA???



Maksud hati ingin ukhuwah dengan lawan jenis, tapi malah terjebak dalam pacaran.
Tadinya pengen menjalin ukhuwah islamiyah, tapi apa daya kecemplung jadi demenan. He..he.. jangan heran atuh, sebab hubungan dengan lawan jenis itu rentan banget disusupi oleh perasaan-perasaan lain yang getarannya lebih dahsyat. Apalagi kalo ditambah naik bajajnya Bajuri.... dijamin tambah menggigil karena vibrasinya kuat banget (apa hubungannya?) ?

Sobat muda muslim, sesama aktivis masjid atau organisasi kerohanian di sekolah dan kampus, selalu saja muncul hal-hal tak terduga. Cinta lokasi (cilok...gitu loh) kerap mewarnai perjalanan hidup mereka. Iya dong, aktivis......juga manusia...... Jadi Wajar banget dong untuk merasakan hal-hal seperti itu.
Apalagi mereka sama-sama sering bertemu. Bukankah pepatah Jawa mengatakan, witing tresno jalaran soko kulino sering jadi rujukan untuk menggambarkan perasaan itu? Waspadalah....waspadalahh.!!!

Hmm… rasa cinta itu muncul karena seringnya bersama atau bertemu, begitu maksudnya? Yup, kamu cukup cerdas dalam masalah ini. Iya, jadi jangan kaget or heran kalo sesama aktivis pengajian muncul perasaan itu. Apalagi di antara
mereka udah saling mengetahui kebiasaan masing-masing. Dijamin perasaan ‘ser-seran’ keduanya dijembatani oleh seringnya komunikasi dan frekuensi pertemuan. Udah deh, panah-panah asmara mulai dilepaskan dari busur masing-masing dalam nuraninya. Duh gusti, itu artinya sang panah asmara siap
menembus hati masing-masing. Siap memekarkan bunga-bunga di taman hati mereka.
Seterusnya, jatuh hati dan saling memendam rindu. Uhuy!

Jadi, kalo nggak kuat-kuat amat imannya, kamu bakalan melakoni aktivitas pacaran sebagaimana layaknya dilakukan oleh mereka yang masih awam sama ajaran agama.
Nggak terasa, di antara kamu mulai berani janjian untuk ketemu di masjid.yah ...biar pacarannya dibilang Islami.... Walau mungkin masih malu-malu. Tapi jangan salah lho, jika nafsu udah jadi panglima, akal sehat kamu pasti keroconya. Kamu lalu deklarasi, “akal sehat saatnya minggir!”. Waduh, gimana jadinya kalo sesama aktivis malah terjebak dalam perasaan-perasaan seperti ini?
ancur deh...

Sobat muda muslim, memang ukhuwah itu tidak dibatasi cuma kepada satu jenis manusia aja, tapi kepada dua jenis sekaligus, yakni laki dan wanita. Bahkan ukhuwah islamiyah berdimensi sangat luas, yakni nggak dibatasi oleh waktu dan tempat. Kapan pun dan di mana mereka berada, asal mereka adalah muslim, itu
saudara kita. Hanya saja, untuk ukhuwah dengan lawan jenis, memang ada aturan mainnya sendiri, sobat. Nggak sembarangan, atau nggak sebebas dalam bergaulnya seperti kepada teman satu jenis. couz dalam Islam kehidupan laki2 dan wanita itu terpisah....(bukan dalam sholat aja...gitu loh)..ato dah pada keranjingan sindrom Amina Waduk...eh wadud yah...???

Ketika cinta mulai menggoda
Rasa cinta itu unik. Nggak mengenal status seseorang, dan juga suka tiba-tiba aja datang. Hadir dalam jiwa, menggerogoti hati, mengaduk-mengaduk perasaan, yang akhirnya muncul rasa suka dan rindu. Duh, banyak pujangga yang berhasil
menorehkan kata-kata puitisnya tentang cinta. Sebab cinta itu naluriah. Pasti dimiliki oleh seluruh manusia, termasuk hewan. Allah udah memberikan rasa itu kepada manusia. Firman-Nya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak,” (QS Ali Imraan
[3]:14)

Nah, gimana jadinya kalo sesama aktivis pengajian muncul rasa cinta? Nggak masalah. Sah-sah saja kok. Bahkan sangat mungkin terjadi. Itu naluriah. Cuma, tetap harus aman dan terkendali. Nggak boleh mengganggu stabilitas nasional (ciiee.. bahasanya pejabat banget tuh!). Iya, saat cinta menggoda, jarang yang bisa bertahan dari godaannya yang kadang menggelapkan mata dan hati seseorang.
Jangan heran dong kalo sampe ada yang nekat pacaran. Wah, aktivis pengajian kok pacaran?

Sobat muda muslim, itu sebabnya kamu kudu bisa jaga diri. Ukhuwah islamiyah di antara sesama aktivis pengajian tentunya nggak dinodai dengan perbuatan yang mencemarkan nama baik organisasi, nama baik kamu, nama baik sesama aktivis pengajian, dan yang jelas kesucian Islam. Jangan sampe ada omongan, “aktivis pengajian aja pacarannya kuat, tuh! Muna deh!”. Coba, gimana kalo sampe ada yang bilang begitu? Nyesek banget kan? Jelas lebih dahsyat dari wabah SARS tuh!
Upss...

Kalo udah gitu, bisa ngerusak predikat tuh. Bener. Sebab, serangan kepada orang yang punya predikat ‘paham agama’ lebih kenceng. Jadi kalo ada aktivis pengajian
yang pacaran, orang di sekililing mereka dengan sengit mengolok-olok, mencemooh, bahkan mencibir sinis. Kejam juga ya? yang lebih parah ...itu bisa dijadikan dalil buat ngediriin pacaran fans club....Bandingkan dengan orang yang belum
paham agama, atau nggak aktif di organisasi kerohanian Islam, biasa-biasa aja tuh. Sobat, inilah semacam ‘hukuman sosial’ yang kudu ditanggung seseorang yang udah dipandang ngerti. Padahal, sama aja dosanya. Tapi, seolah lebih besar kalo
itu dilakukan oleh aktivis pengajian. Gawat!

Wajar juga sih pandangan seperti itu. Sebab, umat kan lagi nyari siapa yang dapat ia percayai dan teladani dalam kehidupannya. Jadi, jangan khianati kepercayaan mereka kepadamu hanya gara-gara soal cinta yang kebablasan. Sebab, mereka menganggap bahwa kamu mampu menjaga diri dan mungkin orang lain. Nah,
kalo kemudian kamu melakukan perbuatan yang merendahkan martabatmu, rasanya pantes banget kalo kemudian mereka nggak percaya lagi sama kamu yang aktif di pegajian. Betul tidak...?

Sobat muda muslim, cinta seketika bisa datang menggoda, hadir dalam jiwa, memenuhi rongga dada, dan membawa asa yang menghempaskan segala duka yang pernah ada. Hmm.. kalo itu yang kamu rasakan, harap hati-hati. Ukhuwah di antara kamu jangan dinodai dengan aktivitas bejat, meskipun atas nama cinta. Berbahaya.
Jangan heran kalo Kahlil Gibran pernah bikin puisi seperti ini: “Cinta berlalu di hadapan kita, terbalut dalam kerendahan hati, tetapi kita lari darinya dalam ketakutan, atau bersembunyi di dalam kegelapan; atau yang lain mengejarnya, untuk berbuat jahat atas namanya”

 

Jaga jarak aman!
Idih, emangnya mengendarai mobil sampe dibilang jaga jarak aman? He..he..he... jangan salah euy, justru yang berbahaya adalah karena seringnya deketen, apalagi sampe gesekan segala (emangnya kartu kredit main gesek?).

Jaga jarak aman adalah cara ampuh menjaga hati kita untuk tidak melakukan aktivitas berbahaya. Bukankah seringkali kamu tak berdaya jika deketan sama orang yang kamu incer? Sebab, kalo nggak diatur dengan batasan ajaran agama, kamu bisa kebablasan berbuat tuh. Bener. Jangan sampe kamu lakuin.

BTW, apa aja sih batasan bergaul dengan lawan jenis, khususnya sesama aktivis?
Iya, biar kita jadi ngeh, apa yang boleh dilakukan dan mana yang terlarang untuk dilakoni. Supaya ukhuwah kita nggak bias dengan pacaran.

Pertama, kurangi frekuensi pertemuan yang nggak perlu. Memang, kalau sudah cinta, berpisah sejam serasa 60 menit, ups... maksudnya setahun. Bawaannya pengen ketemu melulu. It’s not good for your health, guys! Ini nggak sehat.
Perbuatan seperti itu bukannya meredam gejolak, tapi akan memperparah suasana hati kita. Pikiran dan konsentrasi kita malah makin nggak karuan. Selain itu bukan mustahil kalau kebaikan yang kita kerjakan jadi tidak ikhlas karena Allah.
Misal, karena si doi jadi moderator di acara pengajian, eh kita bela-belain datang karena pengen ngeliat si doi, bukan untuk nyimak pengajiannya itu sendiri.

Yup, kurangi frekuensi pertemuan, apalagi kalau memang tidak perlu. Kalau sekadar untuk minjem buku catatan, ngapain minjem pada si doi, cari aja teman lain yang bisa kita pinjam bukunya. Lagipula, kalau kamu nggak sabaran, khawatir
ada pandangan negatif dari si doi. Bisa-bisa kamu dicap sebagai ikhwan atau akhwat yang agre (maksudnya agresif). Zwing...zwing.. gubrak!

Rabu, 17 Oktober 2012

POLIGAMI .......... Hmmmm or SELINGKUH,,,NO!!!


POLIGAMI DALAM PRESPEKTIF FIQH KONTEMPORER
*M. Nur Kholis Al Amin

A.    PENDAHULUAN
Poligami (ta'addud al-zaujah)  jauh sebelum Islam lahir telah menjadi tradisi dan diperaktekkan oleh masyarakat jahiliyah. Sistem poligami pada masa pra Islam tidak dibatasi dengan jumlah tertentu.  Poligami yang terjadi pada masa pra Islam nampak tidak menghargai perempuan dan cenderung hanya untuk memuaskan keinginan kaum laki-laki saja. Tidak ada larangan bagi para suami untuk memiliki beberapa orang istri bahkan mencapai ratusan.
Islam lahir dalam keadaan poligami sudah mentradisi di kalangan bangsa-bangsa di permukaan bumi ini, tetapi tidak ada peraturan yang mengatur serta tidak ada batasannya.  Islam sebagai agama Rammatan Lil ‘Alamin berupaya untuk memberikan perbaikan atas budaya dan tradis yang tidak baik. Islam memebrikan batasan dan syarat-syarat yang cukup ketat dalam berpoligami, yaitu hanya dibatasi empat orang istri saja serta suami harus bisa berlaku adil diantara empat orang istrinya.
B.    POLIGAMI PRA ISLAM
Sebagaimna yang dijelaskan diatas, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam, Agama Samawi, umat terdahulu telah memperaktekkan poligami. Cukup banyak yang membuktikan kebenaran ini. Hal ini diakui oleh Musthafa al-Siba’i  seperti dikatakannya “ poligami itu sudah ada dikalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba …bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Assyiria, Mesir dan lain-lain” ia menambahkan “ poligami dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami, malahan salah seorang raja cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu orang)orang.”
Dalam agama yang lain seperti Yahudi dan Kristen juga membolehkan poligami. Sebagian Nabi- Nabi terdahulu juga ikut memperaktekkan poligami. Seperti Nabi Sulaiman mempunyai 700 (tujuh ratus istri).  Nabi Musa juga tidak melarang poligami dan tidak membatasi jumlah sampai berapapun.
Berdasarkan fakta sejarah diatas, poligami yang diperaktekkan oleh masyarakat pada masa sekarang merupakan kelanjutan syariat yang diamalkan oleh umat-umat terdahulu. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa poligami sebenarnya bukanlah ajaran agama Islam. Bukan pula Nabi Muhammad yang memploporinya, seperti yang dituduhkan oleh Will Durran di dalam bukunya the Story of Civilization jilid pertama, sebagaimana dikutip Muthahhari “ para teolog di zaman abad-abad pertengahan berpendapat bahwa muhammadlah yang memprakarsai poligami”
Dengan demikian maka jelas pendapat yang dikemukakan oleh para orentalis tidak berdasarkan fakta sejarah yang valid. Islam mensyariatkan kembali peraktek poligami tidak hanya iktu-ikutan dan meneruskan syari’at umat terdahulu, akan tetapi lebih dari itu ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
C.    POLIGAMI DALAM ISLAM
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani yakni apolus artinya banyak dan kata gamos artinya perkawinan. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana seorang peria pengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang bersamaan.
Ada beberapa dalil yang dapat dijadikan sandaran tentang pembatasan poligami menjadi empat orang istri. Diantara dalil-dalil tersebut adalah :
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث  ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Berdasarkan ayat diatas, manyoritas ulama berpendapat bahwa poligami tidak boleh lebih dari empat orang istri. Pendapat ini didasrkan atas apa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah dimana Harist Bin Sabit yang mempunyai istri delapan orang dan ketika dia masuk Islam Nabi menyuruh memilih empat orang istri saja dan menceraikan yang lainnya.  Sementara menurut golongan Syi’ah, poligami boleh lebih dari empat orang istri. Hal ini didasarkan pada Nabi Muhammad yang memiliki istri lebih dari empat orang.
Syarat adil yang harus terpenuhi dalam poligami, secara sepintas bertentangan dengan ayat 129 tersebut diatas. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil diantara istri-istrimu.

ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة وإن تصلحوا تتقوا فإن الله كان غفورا رحيما
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Menurut imam al-Qurthubi, yang dimaksud adil dalam surat an-Nisa’/4:3 adalah keharusan adil dalam hal kasih sayang, hubungan biologis, pergaulan dan pembagian nafkah.
Pendapat al-Qurthubi dibantah oleh sebagian pendapat. Pendapat yang kedua mencoba mengklasifikasikan makna adil dalam dua ayat tersebut diatas.Yang dimaksud adil dalam konteks perkawinan adalah adil dalam hal-hal yang bersifat fisik-material. Sebab keadilan dalam hal inilah yang  berada dalam bingkai kemampuan manusia. Sementara adil dalam ayat kedua adalah adil dalam hal-hal yang bersifat maknawiyah seperti perasaan cinta yang berada di luar kemampuan manusia.
Pembagian keadilan menjadi material dan immaterial merupakan hasil dari perpaduan (al-jam'u wa al-taufĭq)  dua ayat, yaitu al-Nisa' ayat 3 dan 129 yang secara dhahir terkesan kontradiktif. Indikasi dari perpaduan itu adalah ujung dari ayat  129 (falâ tamĭlû kulla al-maili…) yang merupakan amnesti ketuhanan (al-'afwu al-ilâhi) terhadap keharusan berbuat adil dalam hal-hal yang bersifat immaterial.

D.    POLIGAMI DALAM PANDANGAN FIQH KONTEMPORER
1.    Poligami dalam Pandangan Syahrur
Muhammad Syahrur dikenal sebagai tokoh pemikir muslim kontemporer yang banyak melakukan penafsiran terhadap al-Qur’ān. Teori Batas (nadzariyyah al-hudūd) menjadi teori handalnya dalam melakukan penafsiran terhadap setiap tema ayat terutama menyangkut kehidupan sosial umat Islam. Di antaranya adalah persoalan poligami. Dalam analisisnya, Syahrur memulai dengan ayat berikut:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث  ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Syahrur menganalisis ayat di atas dengan  memunculkan dua batas (al-hadd), yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas). Pertama, secara kuantitas, ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, sebab tidak mungkin seseorang beristri separuh. Adapun al-hadd al-a’lā atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, seseorang boleh beristri lebih dari seorang, yakni dua, tiga hingga empat orang. Penyebutan satu persatu jumlah perempuan dalam ayat matsnā wa stulāsta wa rubā, menurut Syahrur, harus dipahami sebagai penyebutan bilangan bulat secara berurutan, karena itu tidak bisa dipahami 2 + 3 + 4 yang berjumlah sembilan. Dengan demikian, melebihi dari jumlah tersebut  berarti dia telah melanggar batasan-batasan (hudūd) yang telah ditetapkan oleh Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf).
Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub dalam surat al-Nisa' ayat 03 tersebut memakai redaksi syarth. Karena itu,  seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain, untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah (janda yang mempunyi anak yatim). Maka seorang suami yang bermaksud beristri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini, menurut Syahrur, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.
   
2.    Poligami dalam pandangan Nasr hamid Abu Zayd
Sebagaimana Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah seorang pemikir kontemporer yang juga concern di bidang Islamic studies, maka isu mengenai poligami tidak luput dari perhatiannya. Dalam melakukan analisis, Abu Zayd juga kembali pada surat al-Nisā' ayat 3. Analisis terhadap persoalan ini dia lakukan melalui tiga langkah:
Pertama, Konteks dari teks itu sendiri. Dia memulai pembahasan ini dengan mempertanyakan terabaikannya makna dari ayat “atau budak-budak perempuan yang kamu miliki” pada potongan ayat tersebut. Yang ia maksudkan adalah, bahwa praktek hukum memiliki tawanan perang atau budak perempuan sebagai selir yang boleh digauli dalam wacana Islam telah hilang selamanya, sementara pada sisi yang lain poligami terus menerus dipertahankan. Padahal, menurutnya, hal itu telah ditetapkan oleh teks yang sama tingkat kejelasan dan ketegasannya.
Kedua, Meletakkan teks dalam konteks al-Quran secara keseluruhan. Tujuan dari langkah ini, bagi Nashr  Hamid, adalah untuk mengungkapkan suatu dimensi makna yang tersembunyi (al-maskut ‘anhu) atau “yang tak terkatakan”. Teks al-Quran sendiri menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika suami khawatir tidak bisa berbuat adil; “jika kamu takut tidak akan bisa berbuat adil (terhadap mereka) maka seorang saja”. Dalam ayat lain ditegaskan bahwa :
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم
Artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
Dengan adanya dukungan ayat tersebut, tegas Abu Zaid, bersikap adil terhadap para istri adalah tidak mungkin dilakukan.  Dalam konteks poligami, keadilan adalah satu hal yang prinsip (mabda'). Bolehnya memiliki istri lebih dari satu hingga empat orang istri adalah sebuah hukum, namun hukum tidak bisa dijadikan dasar jika bertentangan dengan prinsip dasar ditegakkannya hukum tersebut. Karena itu, jika antara hokum dan mabda' saling bertentang maka hukum tidak bisa dipertahankan.
Ketiga, dengan mendasarkan secara logis pada dua langkah di atas, Abu Zayd mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam. (dalam hukum Islam klasik, poligami diklasisifikasikan dalam “hal-hal yang diperbolehkan” (al-mubahah). Pembolehan poligami dalam realitas merupakan “penyempitan” dan transisi terhadap poligami yang lebih luas dan mendahului hukumnya, karena itu tema pembolehan (ibahah), menurut Abu Zayd, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak diperbolehkan oleh teks. Sementara pembolehan poligami dalam al-Quran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tidak terbatas yang telah dipraktekkan di masa pra Islam.
Dengan demikian, Abu Zayd mengharamkan poligami secara multak dengan memberikan tiga fokus pembahasan di atas tanpa memberi dispensasi hukum meski dalam kondisi darurat.  Hukum ini diambil dari maghzā (signifikansi) ayat-ayat al-Qur’ān yang saling terkait mengenai ketentuan hukum poligami.
3.    Poligami dalam Kompilasi HukumIslam
Poligami dalam KHI diatur dalam pasal 55
(1)    Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
(2)    Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3)    Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Pasal 56
(1)    Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
(2)    Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 tahun 1975.
(3)    Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57.
Pengadilan agama hanya akan memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.    Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.    Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.    Istri tidak dapat melahirkan keturunan.


E.    PENUTUP
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa  manoritas dari kalangan ulama klasik memperbolehkan poligami selama tidak keluar dari batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam al-Quran. Sementara ulama kontemporer dalam merespon persoalan poligami sangat beragam karena berangkat dari cara pandang yang berbeda dalam menafsiri ayat-ayat poligami. sebagaimana  pendapat yang dikemukakan oleh Nasr Hamid bahwa poligami sudah tidak bisa diperaktekkan lagi pada masa sekarang.  Sementara menurut Syahrur poligami  poligami diperbolehkan dengan syarat harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia persolan poligami semakin diperketat hukumnya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap perempuan (istri). Syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang hendak berpoligami diantaranya adalah: (1) Suami harus mendapat izin dari istri pertama dan pengadilan Agama. (2). Ketika istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Dan Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Serta istri tidak dapat melahirkan keturunan.