MAKALAH
HUKUM ACARA PIDANA
Dosen Pembimbing: H. RUDI TRIWAHID .M.Hi
Oleh : AGUS NAHNU Y.P.
NIMKO : 2010.4.130.0003.1.00057
FAKULTAS : SYARI’AH / AS.V
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NGAWI
Kampus
STAI: Jl. A. Yani 99 NGAWI. Tlp (0351)
742081
TAHUN 201
KATA PENGANTAR
Dengan
segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas
Makalah ini untuk memenuhi tugas perkuliahan dengan mata kuliah HUKUM ACARA
PIDANA dengan dosen pembimbing RUDI TRI WAHID M.HI .
Mungkin
dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan baik itu dari segi
penulisan, isi dan lain sebagainya, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran guna perbaikan untuk pembuatan makalah untuk hari yang akan datang.
Demikianlah sebagai
pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan sederhana ini dapat
diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas semua ini penulis mengucapkan ribuan
terima kasih yang tidak terhingga, semoga segala bantuan dari semua pihak mudah
– mudahan mendapat amal baik yang diberikan oleh Allah SWT.
Gerih, ....Desember 2012
Penulis
Bab I
PENDAHULUAN
- Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana materiel
yang berarti isi atau substansi hukum pidana itu.Disini hukum pidana bermakna
abstrak atau dalam keadaan diam.
Hukum pidana formil atau
hukum acara pidana bersifat nyata dan konkrit.Disini kita lihat hukum pidana
dalam keadaan bergerak,atau dijalankan atau berada dalam suatu proses.Oleh
karena itu disebut juga hukum acara pidana.
Van Bemmelen
merumuskan sebagai berikut:
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan
oleh negara,karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.
Nyatalah
bahwa hukum pidana (Materiel) sebagai substansi yang dijalankan dengan
kata-kata”karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.
Moeljatno,seorang ahli
sarjana hukum pidana indonesia
bahwa hukum pidana Formil adalah hukumpidana sebagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
1. Mentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilarang atau di lakukan dengan
tidakdi sertai larangan atau sanksi bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut.
2. Menetrukan
kapan dan dalam hal-hal apa jepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat di kenakan atau dijatuhkan pidana.
3. Menetukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
- Tempat dan Sifat Hukum Pidana
Adagium bahasa jerman,”Wo Kein Klager Ist,Ist Kein Richter,adalah jika tidak ada aduan
maka tidak ada hakim.
Munculah pengertian
Hukum publik termasuk hukum pidana yang utama ialah kepentingan umum,bukanlah
orang yang bertindak jika terjadi pelanggaran hukum tetapi negara melalui
alat-alatnyya.yaitu penjatuhan sanksi berupa pidana atau tindakan. Hukum pidana
Formil (Hukum acara pidana) corak hukum publiknya lebih nyata lagi dari pada
hukum pidana materil karena yang bertindak menyidik dan menuntut adalah alat
negara seperit Polisi atau jaksa jika terjadi pelanggaran hukum pidana.
Menrut Mackay tentang
Asas Pokok pidana adalah:yang dapat dipidadana hanya pertama,orang yang
melanggar hukum,ini adalah syarat mutlak (Condotio
sine quanon),kedua bahwa
perbuatan itu melanggar hukum ancaman pidana yang berupa Ultimum remedium
setiap orang yang berpikir sehat akan dapat mengerti hal tersebut tidak berarti
bahwa ancaman pidana tidak diadakan dan harus menjaga jangan sampai terjadi
obat yang diberikan terlalu jahat dari pada penyakit
- Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus
Hukum pidana dapat di
bagi atas hukum pidana di kodefikasikan dan yang tidak di kodefikasikan,artinya
yang dimuat dalam kitab Undang-undang,sedangkan yang tidak
dikodefikasikan,yaitu yang tersebar diluar kodifikasikan dalam
perundang-undangan
Tersendiri.
Bab II
SEJARAH SINGKAT
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A.
Zaman VOC
Di daerah Cirebon
berlaku papakeum cirebon yang mendapat pengaruh VOC.Pada tahun 1848 dibentuk
lagi Intermaire strafbepalingen.Barulah pada tahun 1866 berlakulah dua KUHP di
Indonesia:
- Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan eropa mulai 1 januari 1867.kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan timur asimg.
- Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde( Stbl.1872 Nomor 85),mulai berlaku 1 januari 1873.
B.
Zaman Hindia Belanda
Setelah berlakunya KUHP
baru di negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh pemerintahan belanda
yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaanya dengan Code Penal perancis,perlu diganti dan disesuaiakan dengan KUHP baru
belanda tersebut.Berdasarkan asas konkordansi (concrodantie) menurut pasal 75 Regerings
Reglement,dan 131 Indische
Staatsgeling.maka KUHP di negeri belanda harus diberlakukan pula di daerah
jajahan seperti Hindia Belanda harus dengan penyusaian pada situasi dan kondisi
setempat.Semula di rencanakan tetap adanya dua KUHP,masing-masing untuk
golongan Bumiputera yang baru.Dengan Koninklijik
Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP golongan Eropa.Dengan
K.B tanggal 15 Oktober 1995 dan diundangkan pada september 1915 Nomor 732
lahihrlah Wesboek van strafrecht voor
Nederlandch Indie yang baru untuk seluruh golongann penduduk.Dengan Invoringsverordening berlakulah pada
tanggal 1 Januari 1918 WvSI tersebut.
C.
Zaman Pendudukan
Jepang
Dibandingkan dengan
hukum pidana materiel,maka hukum acara pidana lebih banyak berubah,karena
terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan.Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 tahun 1942 tanggal
20 sepetember 1942.
D.
Zaman Kermedekaan
Ditentukandi dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 terse3but bahwa hukum pidana yang berlaku
sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan
penambahan yang diseuakan dengan keadadn Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
dengan nama Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie di ubah menjadi Wetboek van Stafrecht yang dapat disebut
kitab Undang-undanhg Hukum Pidana (KUHP).
Bab III
TEORI-TEORI
TENTANG HUKUM PIDANA
A. Pengertian
Istilah Hukuman Pidana dalam bahasa Belanda
sering disebut yaitu Straf.Hukuman
adalah istilah umumuntuk segala macam sanksi baik perdata,adminstratif,
disiplin dan pidana.
Sedangkan dalam arti
sempit pidana diartikan sebagai Hukum pidana.
B. Tujuan
Pidana
` Dalam
Rancangan KUHP Nasional,telah diatur tentang
tujuan penjatuhan pidana,yaitu:
1. Mencegah
dilakukannya tindak pidana menegakan norma hukum demi pengayoman masyrakat.
2. Mengadakan
koerksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik
dan berguna.
3. Menyelesaikan
konflik yang dityimbulkan oleh tndak pidana,memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyrakat.
4. Membebaskan
rasabersalah padaterpidana (Pasal 5).
Dalam literatur bahasa inggris
tujuan pidana bisa disebutkan sebagai berikut:
a) Reformation berarti memperbaiki atau merehabitasi penjahat
menjadi orang baik dan berguna bagi masyrakat.
b) Restraint maksudnya mengasingkan pelanggaran bdari
masyarakat,dengan tersingkirnya pelanggaran hukum dari masyrakat berarti
masyrakat itu akan menjadi lebih aman.
c) Restribution adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena
telah melakukan kejahatan.
d) Deterrence,adalah menjera atau mencegah sehingga baik
terdakwasebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat
akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan,melihat pidana yang diojatuhkan
kepada terdakwa.
Bab IV
RUANG LINGKUP
KEKUATAN
BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
A.
ASAS LEGALITAS
Asas ini tercantum di
dalam pasal 1 ayat 1 KUHP di rumuskan di dalam bahasa latin:”Nullum Delictum nulla poena sine legipoenali”yang artinya “Tidak
ada delik,tidak ada pidana tanpa ketentua pidana yang mendahuluinya.
Ada kesimpulan dari rumus tersebut:
1) Jika sesuatu
perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam
dengan pidana,maka perbuatan atau pengabdian tersebut harusdtercantum di
dalamundang-undang.
2) Ketentuan
tersebut tidak boleh berlaku surut,dengan satu kekecualian yang tercantum di
dalam pasal 1ayat 2 KUHP.
B.
Penerapan Anologi
Utrecht menarik garis pemisah antara
imterprestasi eksetensi dan penerapan analogi sebagai berikut:
I. Interfrestasi :Menjalankan undang-undangan setelah
undang-undang tersebut dijelaskan.
Anologi :Menjelaskan
suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undanag.
II. Interfrestasi :Menjalankan kaidah yang oleh
undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas.
Anologi :Menjalankan
kaidah tersebut untuk menyelsaikan suatu perkara yang tidak disingung oleh
kaidah,tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung oleh
kaidah,tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah
tersebut.
C.
Hukum Transitoir (Peralihan)
Yang
menjadi masalah dalam hal ini.adalahketentuan perundang-undangan yang mana
apakah ketentuan hukum pidana saja ataukah ketentuan hukum yang lain, masih
dipermasalahkan oleh para pakar sarjana hukum pidana.Menurut Memorie van Toelichting (Memori
penjelasan) WvSN (yang dapat dipakai
oleh KUHP), perubahan perundang-undangan berarti semua ketentuan hukum material
yang secara hukum pidana “Mempengaruhi penilaian perbuatan”.
D.
Berlakunya Hukum
Pidana Menurut Ruang Tempat dan Orang
I.
Asas Teritorialitas
atau Wilayah
Asas wilayah atau
teritorialitas ini tercantum didalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi : “peraturan
hukum pidana Indonesia
berlaku terhadap tiap-tiap orang yang di dalam nilai Indonesia
melakukan delik (straftbaar feit)
disini berarti bahwa orang yang melakukan delik itu tidak mesti secara fisik
betul-betul berada di Indonesia
tetapi deliknya straftbaar feit
terjadi di wilayah Indonesia
II.
Asas Nasionalitas
Pasif atau Asas Perlindungan
Asas ini menentukan
bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan
tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan itu.
Asas ini tercantum di dalam pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP. Kemudian asas ini diperluas
dengan undang-undang no. 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh
pasal 3 undang-undang no. 7 (drt) tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi.
III.
Asas Personalitas atau
Asas Nasional Aktif
Inti
asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP, asas personalitas ini diperluas dengan
pasal 7 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas
personalitas)juga asas nasional pasif (asas perlindungan).
IV.
Asas Universalitas
Jenis kejahatan yang
diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari
kepentingan Indonesia
tapi kepentingan dunia secara universal kejahatan ini dipandang perlu dicegah
dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang jerman menamakan asas ini welrechtsprinhzip (asas hukum dunia)
disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak
tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili
terdakwa.
Bab V
INTERPRESTASI
UNDANG-UNDANG
PIDANA
A.
Pentingnya
Interprestasi
Pentingnya interprestasi
undang-undang pidana sehingga rumusan delik yang abstrak dapat diterjemahkan ke
dalam keadaan yang konkrit penafsiran yang paling sesuai dengan ini adalah
penafsiran sosiologis atau sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat.
B.
Penemuan Hukum Oleh
Hakim Pidana
Khusus Indonesia, pasal 27 UU pokok
kekuasaan kehakiman mengatakan, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Dalam hukum perdata dikenal beberapa jenis interprestasi yaitu :
a. Interprestasi
menurut tata bahasa
b. Penafsiran
historis
c. Penafsiran
sistematis
d. Penafsiran
sosiologis atau teleologis
C.
Jenis-jenis
Interprestasi UU Pidana
1. Interprestasi
atau Penafsiran gramatika,artinya interprestasi ini didasarkan kepada kata-kata
undang-undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu
walaupun seandainya maksud pembuat undang-undang lain.
2. Interprestasi
Dogmatis ini didasarkan kepada secara umum suatu aturan pidana.Misalnya arrest
Hoge Raad 27 juni 1898 yang memutuskan agar semua orang melakukan.
3. Interprestasi
histories (Historia legis) Penafsiran
ini didasarkan kepada maksud pembuat UU ketika diciptakan, jadi dapat dilihat
pada Notulen rapat-rapat komisi di DPR.
4. Interprestasi
Teleologis penafsiran ini mengenai tujuan UU yaitu jika melampaui kata-kata UU.
5. Interfrestasi
Ekstensif,yaitu penafsiran luas hal ini telah dibicarakan di Bab III, dengan
hubunganya dengan analogi.Misalnya penafsiran “barang” dilputi aliran listrik,gas,data komputer. Dalam
penafsiran otentik di dalam buku I RUU KUHP telah dicantumkan hal ini.
6. Intrefrestasi
Rasional (Rationeele Interpretatie).
intreprestasi
ini didasarkan kepada ratio atau
akal, ini sering munpcul di dalam hukum perdata.
7. Interprestasi
Antisipasi ini didasarkan UU baru yang
bahkan belum berlaku. Sering dipakai dalam hukum perdata belanda berdasarkan
BW.
8. Interfrestasi
Perbandingan hukum. Interfrestasi ini didasarkan kepada perbandingan hokum yang
berlaku di pelbagi Negara.
9. Interfrestasi
Kreatif (Creatieve interpretatie)
interfrestasi ini berlawanan dengan interfrestasi ekstensif,di sini rumusan
delik dipersempit ruang lingkupnya.
10. interfrestasi Tradisionalistik,
dalam hokum pun ada tradisi yang kadang-kadang jelas.
11. Interfrestasi
Harmonisasi,interfrestasi ini didasarkan kepada harmonni suatu peratura dengan
peraturan yang lebih tinggi.
12. interfrestasi
droktriner ini didasarkan kepada doktrin yang berdasarkan ilmu hukum pidana.
13. Interfrestasi
Sosiologis,yang berdasarkan dampak waktu.interfrestasi inilah yang mestinya
sering dipeergunakan di Indonesia
agar unifikasi hukum pidana dapat semua golongan etnik yang beraneka ragam.
Bab
VI
Perbuatan
dan Rumusan Delik
A.
Pengertian Delik
Hukum
pidana belanda memakai istilah Strafbaar
feit,kadang-kadang Delictum.
Tetapi di dalam Negara Anglo-Sexson
memakai istilah Offense yang artinya
perbuatan pidana atau pristiwa pidana di Indonesia meakai juga istilah “ Delik”
B.
Rumusan Delik
Simons merumuskan yang lengkap merupakan :
a. Diancam dengan
pidana oleh hukum,
b. Bertentangan
dengan hukum,
c. Dilakukan oleh
orang yang bersalah,
d. Orang itu
bertanggung jawab atas perbuatanya.
C.
Perbuatan dan Rumusan
Delik dalam Undang-undang
Code
penal memakai istilah infraction yang
terbagi atas crimes(kejahatan), Delits(Kejahatan ringan). Hukum pidana
Inggris memakai istilah Act dan lawannya Omission. Menurut pendapat penulis,Act
di baca “Tindakan” dan Omission di baca “Pengabaian” .
D.
Cara Merumuskan Delik
Pada umumnya rumusan suatu delik
berisi “Bagian Inti” (Bestand delen) suatu delik.Artinya, bagian-bagian inti
tersebut harus sesuai dengan perbutan yang dilakukan,barulah seseorang diancam
dengan pidana.banyak penulis menyebut ini sebagai unsur delik.tetapi di
sini,tidak dipakai istilah “Unsur Delik’’, misalnya delik pencurian terdiri
dari bagian inti (Bestand delen):
I. Mengambil
II. Barang yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
III. Dengan maksud
memiliki
IV. Melawan hukum
Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja’’, karena ada delik
menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan kealpaan (Culpa), yaitu
pasal 359 dan 361 KUHP.
E.
Pembagian Delik
Delik
itu dapat dibedekan atas pelbagai pembagaian tertentu, seperti berikut ini:
1. Delik kejahatan
dan Delik pelanggaran (Misdrijven en
overtredingen).
2. Delik Materiel
dan delik Formel (Materiele en
fomeledelichten).
3. Delik Komisi
dan Delik Omisi (Commissiedelicten en
Omissiedelicten).
4. Delik yang
berdiri sendiri dan Delik yang diteruskan (Zelfstandige
en voorgezette delicten).
5. Delik Selesai
dan Delik Berlanjut (Aflopende en
voortdurende delicten).
6. Delik Tunggal
dan delik berangkai (enkelvoudige en
gestelde delicten).
7. Delik Bersahaja
dan Delik Berkualifikasi (Eenvoudige en
gequalificeerde delicten).
8. Delik Sengaja
dan Delik Kelalaian atau Culpa (Doleuse
en culpose delicten).
9. Delik Politik
dan Delik Komun atau Umum (Politieke en commune delicten).
10. Delik-delik dapat
dibagi juga atas kepentingan hukum yang dilindungi, seperti deloik terhadap
keamanan Negara, delik terhadap orang,delik kesusilan,delik terhadap harta
benda dan lain-lain.
11. Untuk Indonesia,menurut
Kitab Undang-undang hukum acara pidana pasal 284,dikenal pula delik umum dan
delik khusus, seperti delik ekonomi,korupsi,subversi,dll.
Bab
VII
KESALAHAN
DALAM ARTI LUAS
DAN
MELAWAN HUKUM
A.
Sengaja
“Sengaja”
(opzet) berarti De (Bewuste)richting van den wil op een bepaald
misdrijven, ( Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan
kejahatan tertentu).Kemudian perlu dikemukakan tentang adanya teori-teori
tentang sengaja itu.Pertama-tama ialah yang disebut teori kehendak. Menurut
teori ini,maka “ kehendak” merupakan hakikat sengaja itu.Bantahan dari teori
kehendak adalah teori Membayangkan teori dikemukakan oleh frank dlm tulisan
Uber den Aufbau des Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis,tidak
mungkin suatu akibat dapat dikehendaki.
B. Kelalaian ( Culpa)
Van
Hamel membagi Culpa atas dua jenis :
kurang
melihat ke depan yang perlu,
kurang
hati-hati
Tetapi
Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan.
Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal
juga di Negara Anglo-Sexson. Disebut dalam pembunuhan pada pasal 359 KUHP.
C.
Kesalahan dan
Pertanggungjawban Pidana
Dalam
pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti
yang,yaitu:
- Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat
- Tidak adanya dasar peniadan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
- Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (Culpa).
D.
Melawan Hukum
Melawan
hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu perbutan
telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum
secara Formil.
E.
Subsosialitas (subsocialiteit)
Subsoialitas
adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu
mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika
tidak ada bahaya demikian,maka unsure subsosialitas tidak ada.
F.
Taatbestandmassikeit
dan Wesenchau
Didalam
hukum pidana jrrman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima
adanya delik dengan syrarat Taatbestandmassikeit,yang berarti bahwa semua
rumusan delik tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan
hukum dan patutnya sesuatu perbuatan pidana walaupun semua itu dimasukkan
sebagai unsur delik. Sebaliknya, diJerman ajaran ini di ganti oleh Wesenchau
pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan ajaran melawan hukum yang
materiel. Ini adalah bahwa ajaransekali pun seuatu perbuatan telah selesai
dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan
suatu delik. Perbuatan pada dasarnya “ Pada hakikatnya” merupakan delik sesuai
dengan rumusan delik yang dipandang sebagai delik.
Bab
VIII
DASAR
PENIADAAN PIDANA
A.
Pengertian
Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah pertama pengertian pebuatan (fiet) dan putusan yang telah tetap.
Van Hamel menunjukan tiga pengertian perbuatan (Fiet):
1) Perbuatan (fiet) terjadi kejahatan (delik).
Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang
dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka
tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah sati dari perbuatan-perbuatan itu
kemudian dari yang lain.
2) Perbuatan (fiet) perbuatan yang didakwakan. Ini
terlalu sempit. Vos tidak dapat menerima pengertian perbuatan (fiet) dalam arti
yang kedua ini.
3) Perbuatan (fiet) perbuatan materil, jadi perbuatan
itu terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini maka ketidak pantasan yang ada
pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.
B.
Pembagian Dasar
Peniadaan Pidana
yang tercantum didalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum
(terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas rumusan delik.
Yang khusus tercantum di dalam pasal tertentu yang berlaku untuk
rumusan-rumumusan delik itu saja.
Rincian yang umum itu terdapat di dalam:
1.Pasal 44: tidak
dapat dipertanggung jawabkan
2.Pasal 48: daya
paksa
3.Pasal 49: ayat
(1) pembelaan terpaksa
4.Pasal 49: ayat
(2) pembelaan terpaksa yang meliampaui batas.
5.Pasal 50:
menjalankan peraturan yang sah
6.Pasal 51: ayat
(1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang
7.Pasal 51:ayat
(2) menjalankan perintha jabatan yang tdak berwenang jika bawahan itu dengan
itiket baik memenadang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.
C.
Dapat
Dipertanggungjawabkan
Praktek di Indonesia
mengikuti pengertian luas tersebut.
1.Kemungkinan
menetukan tingkah lakunya dengan kemauanya
2.mengerti tujuan
nyata perbuatanya.
3.sadar bahwa
perbuatannnn itu tidak diperkenakan oleh masyarakat>
D.
Daya Paksa
Daya paksa (Overmacht)
tercantum di dalma pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak
dipidana seseorang yang melakukan pebuatan karena dorongan keadan yang memaksa.
E.
Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum pidana
dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda
ialah noodweer tidak terdapat dalam
rumusan undang-undang tersebut:
1. Pembelaan itu
bersifat terpaksa.
2. Yang dibela
ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilan, atau harta benda sendiri
atau orang lain.
3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan
yang sangat dekat pada saat itu.
4. Serangan itu
melawan hukum.
F.
Pembelaan Terpaksa
Melampaui Batas.
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa
(noodweer) dan pembelaan terpaksa melampaui batas yaitu,kedua mensyarakatkan
adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama,yaitu tubuh,kehormatan
kesusilan, dan harta benda, baik diri sendirimaupun orang lain.
Perbedaanya ialah:
·
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas
(Noodweer exces), pembuat melamapaui batas karena keguncangan jiwa yang
hebat,oleh karena itu,
·
Maka perbuatan itu tetep melawan hukum,hanya
orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.
·
Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang
melampui batas menjadi dasar pemaaf,sedangkan pembelaan terpaksa merupakan
dasar pembenaran,karena melawan hukumnya tidak ada
G.
Menjalankan Ketentuan
Undang-undang
Sebenarnya setiap
perbuatan pemerintah melalui alat-alatnya dalam menjalankan ketentuan
undang-undang adalah sah dan tidak melawan hukum,asalkan dilakukan dengan
sebenarnya dan patut.
H.
Menjalankan Perintah
jabatan
Pasal 51 KUHP
menyatakan:
- Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatanyang diberikan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,tidak dipidana.
- Perintrah jabatan tanpa wewenag, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wwenang dan pelaksannya termasuk dalam lingkungan pekerjannya.
Bab
IX
TEORI-TEORI
TENTANG
SEBAB
AKIBAT
A.
Pengertian
Setiap peristiwa sosial
menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian seterusnya yang
satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal
inni disbut hubungan kasual yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.
B. Teori-teori Kausalitas
Demikian keanekaragaman
hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai permasalahanya
yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi
akibat,terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkaiyang menimbulkan
akibat.
Teori yang
mengenealisasi dapat dibagi menjadi 3,yaitu:
1. Teori adaquaat dari Von Kries
Adaequaat artinya adalah
sebanding, seimbamg,sepadan.jadi dikaitkan dengan delik,maka perbuatan harus
sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diramalkan
dengan pasti oleh pembuat.
2. Teori obyektif
Teori Rumeling
mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor obyektif yang
diramalkan dari rangkaian faktor2 yang berkaitan dengan terwujudnya delik
setelah delik itu terjadi.
3. Teori adequaat
dari Traeger
Menrutnya adalah pada
umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali terjadi. Teori
tersebut diberi komentar oleh van Bemmelen bahwa yang disebut dengan ini adalah
disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.
Bab X
DASAR
PENIADAAN PENUNTUTAN
DAN
PELAKSANANAAN
PIDANA
A.
Dasar Peniadaan
Penuntutan
Dasar peniadaan
penuntutan terdiri atas:
I.
Tidak ada pengaduan pada delik aduan
II.
Tidak dua kali penuntutan atas orang dan
perbuatan yang saaaaama tercantum dalam Pasal 76 KUHP.
III. Terdakwa
meninggal dunia,tercantum dalam nPasal 77 KUHP
IV. Lewat
waktu,tercantum dalam Pasal 78 KUHP.
V. Penyelsaian di
luar pengadilan
VI. Terdakwa
berumur di bawah 18 tahun (Undang-undang peradilan anak).
B.
Dasar Peniadaan
Pelaksanaan Pidana
C.
Terpidana Meninggal
Dunia
D.
Lewat Waktu
(Verjaring)
Bab XI
HUKUM
PENETENSIER
Dalam undang-undang di
luar KUHP khususnya Undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1995 tentang Tindak
Pidana Ekonomi disebut “tindakan tatatertib” yaitu :
a.
Penutupan
sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka dimana tindak pidana ekonomi itu disangka telah
dilakukan
b.
Penempatan
si tersangka dibawah pengampunan;
c.
Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian
keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka
berhubungan dengan perusahaan itu;
d.
Supaya
tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
e.
Supaya
si tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam pemerintah itu yang
dapat disita dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam pemerintah
itu.
C.
Jenis-jenis Pidana
a. Pidana
Pokok
1.
Pidana
Mati
2.
Pidana
Penjara
3.
Pidana
Kurungan
4.
Pidana
Tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 tahun 1946)
b. Pidana
Tambahan
1.
Pencabutan
hak-hak tertentu
2.
Perampasan
barang-barang tertentu
3.
Pengumuman
putusan hakim
1.
Pidana
Mati
Delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP
sudah menjadi 9 buah, yaitu :
1.
Pasal
104 KUHP
2.
Pasal
111 ayat (2) KUHP
3.
Pasal
124 ayat (1) KUHP
4.
Pasal
124 bis KUHP
5.
Pasal
140 ayat (30) KUHP
6.
Pasal
340 KUHP
7.
Pasal
365 ayat (4) KUHP
8.
Pasal
444 k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2) KUHP.
2.
Pidana
Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa
kehilangan kemerdekaan. Tetapi juga berupa pengasingan, misalnya di Rusia
pengasingan Siberia dan juga berupa pembuangan ke sebrang lautan, misalnya
dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.
3.
Pidana
Kurungan
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai 2
tujuan. Pertama ialah sebagai custodia
honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu
delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu
dan pailit sederhana.
Yang kedua sebagai custodia
simpleks, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran
4.
Pidana
Denda
Pada zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap
delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan oleh karena itu
pula, pidana denda merupakan satu-satunya pidan ayang dapat dipikul oleh orang
lain selain terpidana.
5.
Pidana
Tutupan
Pidana tutupan disediakan bagi para politis yang
melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya tetapi dalam
praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.
Pidan Tambahan
Pidan tambahan disebut dalam pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri
dari :
1.
Pencabutan
hak-hak tertentu
2.
Perampasan
barang-barang tertentu
3.
Pengumuman
putusan hakim
c. Tindakan
(Maatregel)
Sering dikatakan berbeda dengan piidana, maka tindakan
bertujuan melindungi masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan
sanksi pada pelaku suatu perbuatan. Tetapi secara teori, sukar dibedakan dengan
cara demikian, karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk mengamankan
masyarakat dan mamperbaiki terpidana.
d. Pidana
Bersyarat
Pidan abersyarat yang tercatum pada pasal 14 a sampai
dengan 14 f KUHP diwarisi dari Belanda tetapi dengan perkembangan zaman telah
terdapat perbedaan atara keduanya. Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum
ialah terpidana bersyarat tidak akan melaksanakan delik apapun dalam waktu yang
ditentukan sedangkan syart khusus akan ditentukan oleh hakim dan ada juga yang
disebut syarat khusus.
e. Pelepasan
Bersyarat
Pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah
menjalani pidananya paling kurang 2/3 nya. Pelepasan bersyarat ini tidak inferatif
atau otomatis. Dikatakan “dapat” dierikan pelepasan bersyarat yang dikeluarkan
oleh mentri kehakiman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar