Dirosah Aswaja
(Ahlussunah Wal-Jama’ah)
Kajian Khusus Tentang “Bid’ah”
Ala Ahlussunnah
Wal-Jama’ah
Di Tulis Ulang
Oleh : Ustad Musyafi’ S.Ag.
KAJIAN KHUSUS TENTANG “BID’AH”
Ditulis kembali oleh : Muyafi’ S.Ag.
Direktur PC.
Aswaja NU Center Kraksaan
A. Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Para ulama Ahlussunnah
Wal-Jama’ah berpandangan bahwa hadits “semua bid’ah itu sesat”,
adalah kata-kata umum yang harus dibatasi jangkauannya (‘am makhshush).
Dalam hal ini Al-Imam Al-Nawawi menyatakan:
قَوْلُهُ
e وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ
غَالِبُ الْبِدَعِ.
“Sabda Nabi e, “semua bid’ah adalah sesat”, ini
adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu
sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim,
6/154).
Oleh karena hadits “semua bid’ah
itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya, maka para
ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah
(buruk). Dan lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai
dengan jumlah hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah,
dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.
Dalil-dalil berikut ini akan dibagi
menjadi dua; dalil-dalil bid’ah hasanah pada masa Rasulullah e, dan dalil-dalil bid’ah hasanah
sesudah beliau e wafat.
B.
Bid’ah Hasanah
Pada Masa Rasulullah e
1. Hadits Sayidina Mu’adz bin Jabal t.
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ
النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ e إِذَا
جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ
فَصَلىَّ مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ
جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلىَّ
النَّبِيُّ e ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ e « سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ
جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا).
“Abdurrahman bin Abi
Laila berkata: “Pada masa Rasulullah e, bila seseorang datang
terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah dengan beliau, maka
orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat
yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal
itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka.
Kemudian pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang
mengisyaratkan kepadanya jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan
tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan
perkataan mereka. Kemudian setelah Rasulullah e selesai shalat, maka
Mu’adz akan mengganti rakaat yang tertinggal itu. Setelah Rasulullah e selesai shalat, mereka
melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka.
Lalu beliau e menjawab: “Mu’adz telah
memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal,
beliau e bersabda; “Mu’adz telah
memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus
kalian kerjakan”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam
Al-Kabir (20/271) dan Al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan
lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Hafizh Ibn Daqiq Al-‘Id dan
Al-Hafizh Ibn Hazm Al-Andalusi.
Faedah Hadits:
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat
perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan
tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi e tidak menegur Mu’adz
dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum
bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya. Karena perbuatan Mu’adz
sesuai dengan kaedah berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.
2. Hadits
Al-‘Ash bin Wa’il t.
وَعَنِ الْعَاصِ بْنِ وَائِلٍ قَالَ: قَدِمَ بَكْرٌ بْنُ وَاِئٍل
مَكَّةَ فَقَالَ النَّبِيُّ e لأَبِيْ بَكْرٍ : « ائْتِهِمْ فَاعْرِضْ عَلَيْهِمْ» وَفِيْهِ : فَأَتَاهُمْ
فَعَرَضَ عَلَيْهِمُ اْلإِسْلاَمَ فَقَالُوْا: حَتَّى يَجِيْءَ بَنُوْ ذُهْلٍ بْنِ
شَيْبَانَ فَعَرَضَ عَلَيْهِمْ أَبُوْ بَكْرٍ قَالُوْا: إِنَّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ
الْفُرْسِ حَرْباً فَإِذَا فَرَغْنَا فِيْمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ عُدْنَا فَنَظَرْنَا
فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : أَرَأَيْتَ إِنْ غَلَبْتُمُوْهُمْ أَتَتَّبِعُنَا عَلىَ أَمْرِنَا
؟ قَالُوْا : لاَ نَشْتَرِطُ لَكَ ذَلِكَ عَلَيْنَا وَلَكِنْ إِذَا فَرَغْنَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُمْ عُدْنَا فَنَظَرْنَا فِيْمَا تَقُوْلُ، فَلَمَّا الْتَقَوْا يَوْمَ ذِيْ
قَارٍ مَعَ الْفُرْسِ قَالَ شَيْخُهُمْ : مَا اسْمُ الَّذِيْ دَعَاكُمْ إِلَى اللهِ؟
قَالُوْا : مُحَمَّدٌ، قَالَ هُوَ شِعَارُكُمْ فَنُصِرُوْا عَلَى الْقَوْمِ فَقَالَ
الرَّسُوْلُ e «بِيْ نُصِرُوْا».
“Al-‘Ash bin Wa’il berkata: “Suku Bakr bin Wa’il datang
ke Makkah, lalu Nabi e berkata kepada Abu
Bakar: “Datangi mereka dan tawarkan agama Islam pada mereka”. Lalu
Abu Bakar mendatangi mereka dan menawarkan untuk memeluk agama Islam. Mereka
menjawab: “Sampai pemimpin kami datang”. Setelah pemimpin mereka datang, Abu
Bakar bertanya: “Siapa kaum ini?” Mereka menjawab: “Suku Dzuhl bin Syaiban”.
Lalu Abu Baka menawarkan Islam kepada mereka, dan mereka menjawab:
“Sesungguhnya di antara kami dengan Persia terjadi peperangan, maka bila kami
telah menyelesaikan urusan kami dengan mereka, kami akan kembali dan memikirkan
tawaran Anda”. Abu Bakar berkata: “Apakah bila kalian dapat mengalahkan mereka,
maka kalian akan mengikuti agama kami?” Mereka menjawab: “Kami tidak berjanji
mengikuti agama kalian. Tetapi bila kami telah menyelesaikan urusan dengan
mereka, kami akan kembali dan memikirkan ajakanmu”. Setelah suku Dzuhl bin
Syaiban berhadapan dengan Persia, pemimpin mereka berkata: “Siapa nama orang
yang mengajak kamu ke agama Allah?” Mereka menjawab: “Muhammad”. Ia berkata:
“Kalau begitu, nama Muhammad itu jadikan solgan kalian dalam peperangan”.
Kemudian suku Dzuhl bin Syaiban itu mengalahkan Persia. Mendengar berita itu,
Rasulullah e bersabda: “Dengan
perantara namaku, mereka diberi kemenangan oleh Allah”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Thabarani. Al-Hafizh
Al-Haitsami mengatakan dalam Majma’ Al-Zawa’id (6/10631), para perawi
hadits ini tsiqat (dipercaya) dan perawi hadits shahih.
Faedah Hadits:
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat
perkara baru apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam peperangan melawan
Persia, suku Dzuhl bin Syaiban ber-tawassul dengan nama Nabi e agar memperoleh
kemenangan. Tawassul yang mereka lakukan, atas inisiatif pimpinan mereka
dan belum mereka pelajari dari Nabi e. Dan ternyata tawassul
mereka dibenarkan oleh Nabi e, dengan penegasan
beliau e: “«بي
نصروا» dengan perantara namaku mereka diberi kemenangan oleh Allah”. Dengan demikian tidak
selamanya perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi e selalu keliru dan
buruk.
3. Hadits
Sayidina Bilal .
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t أَنَّ
نَبِيَّ اللهِ e قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: « يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ
بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ
فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ
أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ
الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ
إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا
أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ
فَقَالَ النَّبِيُّ e «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ».
“Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Nabi e bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar:
“Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam,
karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab:
“Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’,
baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua
rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau e berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu
mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah azan kecuali aku shalat
sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu
setelah dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”.
Nabi e berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu
meraih derajat itu”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1149), Muslim (6274), Al-Nasa’i dalam Fadhail
Al-Shahabah (132), Al-Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104),
Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), Al-Hakim (1/313) dan menilainya shahih.
Faedah
Hadits:
Menurut Al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath Al-Bari, hadits ini memberikan faedah bolehnya
berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajat
tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi e pun membenarkannya. Nabi e belum pernah menyuruh atau mengerjakan
shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan
tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa
bertanya kepada Nabi e. Dan ternyata Nabi e membenarkannya, bahkan memberinya kabar
gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai
wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat.
4. Hadits Ibn Abbas.
عَنْ سَيِّدِنَا ابْنِ عَبَّاسٍ
t قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ e فِيْ
آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِيْ فَجَرَّنِيْ حَتَّى جَعَلَنِيْ
حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُوْلُ اللهِ e عَلَى
صَلاَتِهِ خَنِسْتُ فَصَلىَّ رَسُوْلُ اللهِ e فَلَمَّا
انْصَرَفْتُ قَالَ: (مَا شَأْنُكَ ؟ أَجْعَلُكَ حِذَائِيْ فَتَخْنَسُ) فَقُلْتُ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَوَ يَنْبَغِيْ لأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِحِذَائِكَ وَأَنْتَ رَسُوْلُ
اللهِ الَّذِيْ أَعْطَاكَ اللهُ؟ قَالَ: فَأَعْجَبَهُ فَدَعَا لِيْ أَنْ يَزِيْدَنِيَ
الله ُعِلْمًا وَفِقْهًا.
“Sayyidina
Ibn Abbas t berkata: “Aku mendatangi Rasulullah pada
akhir malam, lalu aku shalat di belakangnya. Ternyata beliau mengambil tanganku
dan menarikku lurus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah e memulai shalatnya, aku mundur ke belakang,
lalu Rasulullah e menyelesaikan shalatnya. Setelah aku mau
pulang, beliau berkata: “Ada apa, aku tempatkan kamu lurus di sebelahku, tetapi
kamu malah mundur?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, tidak selayaknya bagi
seseorang shalat lurus di sebelahmu sedang engkau Rasulullah yang telah
menerima karunia dari Allah”. Ibn Abbas berkata: “Ternyata beliau senang dengan
jawabanku, lalu mendoakanku agar Allah senantiasa menambah ilmu dan
pengertianku terhadap agama”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/330).
Faedah
Hadits: Hadits ini membolehkan
berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’. Ibn
Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah e telah menariknya berdiri lurus di sebelah
beliau e, ternyata beliau e tidak menegurnya, bahkan merasa senang dan
memberinya hadiah doa. Dan seperti inilah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah.
6. Hadits
Ali bin Abi Thalib .
وَعَنْ سَيِّدِنَا عَلِي t قَالَ: كَانَ أَبُوْ بَكْرٍ يُخَافِتُ بِصَوْتِهِ إِذَا قَرَأَ وَكَانَ
عُمَرُ يَجْهَرُ بِقِرَاءَتِهِ وَكَانَ عَمَّارٌ إِذَا قَرَأَ يَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ
السُّوْرَةِ وَهَذِهِ السُوْرَةِ فَذُكَِر ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ e فَقَالَ لأَبِيْ بَكْرٍ : « لِمَ تُخَافِتُ؟» قَالَ: إِنِّيْ أُسْمِعُ
مَنْ أُنَاجِيْ وَقَالَ لِعُمَرَ: « لِمَ تَجْهَرُ بِقِرَاءَتِكَ؟» قَالَ : أُفْزِعُ
الشَّيْطَانَ وَأُوْقِظُ الْوَسْنَانَ وَقَالَ لِعَمَّارٍ: « لِمَ تَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ
السُّوْرَةَ وَهَذِهِ السُوْرَةِ؟» قَالَ: أَتَسْمَعُنِيْ أَخْلِطُ بِهِ مَا لَيْسَ
مِنْهُ؟ قَالَ: ( لاَ ) ثُمَّ قَالَ: «فَكُلُّهُ طَيِّبٌ».
“Sayidina Ali D
berkata: “Abu Bakar bila membaca Al-Quran dengan suara lirih. Sedangkan Umar
dengan suara keras. Dan Ammar apabila membaca Al-Quran, mencampur surat ini
dengan surat ini. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi e. Sehingga beliau e bertanya kepada Abu Bakar: “Mengapa kamu
membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab: “Allah dapat mendengar suaraku
walaupun lirih”. Lalu bertanya kepada Umar: “Mengapa kamu membaca dengan suara
keras?” Umar menjawab: “Aku mengusir syetan dan menghilangkan kantuk”. Lalu beliau
bertanya kepada Ammar: “Mengapa kamu mencampur surat ini dengan surat ini?”
Ammar menjawab: “Apakah engkau pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu
yang bukan Al-Quran?” Beliau menjawab: “Tidak”. Lalu beliau bersabda: “Semuanya
baik”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/109).
Faedah
Hadits:
Hadits ini menunjukkan
bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan
ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing-masing, sehingga
sebagian sahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang berbeda-beda itu,
dan ternyata Nabi e membenarkan dan menilai semuanya baik dan
tidak ada yang buruk. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya
sesuatu yang belum diajarkan oleh Nabi e pasti buruk atau keliru. Dan agaknya cara
Ammar bin Yasir membaca Al-Quran, sesuai dengan tradisi tahlil di kalangan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah di Indonesia yang mencampur antara berbagai ayat-ayat Al-Quran.
7. Hadits
‘Amr bin Al-‘Ash .
عَنْ سَيِّدِنَا عَمْرٍو بْنِ
الْعَاصِ t : أَنَّهُ لَمَّا بُعِثَ فِيْ غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاسِلِ قَالَ:
احْتَلَمْتُ فِيْ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيْدَةِ الْبُرُوْدَةِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ
اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِيْ صَلاَةَ
الصُبْحِ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ الرَّسُوْلِ e ذَكَرُوْا
لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ: ( يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟!) فَقُلْتُ
: ذَكَرْتُ قَوْلَ اللهِ تَعَالَى ﴿ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيْمًا﴾ فَتَيَمَّمْتُ وَصَلَّيْتُ فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ e وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.
“’Amr bin Al-‘Ash D ketika dikirim dalam
peperangan Dzat Al-Salasil berkata: “Aku bermimpi basah pada malam yang dingin
sekali. Aku mau mandi, tapi takut sakit. Akhirnya aku bertayamum dan menjadi
imam shalat shubuh bersama sahabat-sahabatku. Setelah kami datang kepada
Rasulullah e, mereka melaporkan
kejadian itu kepada Rasulullah e. Beliau bertanya: “Hai
‘Amr, mengapa kamu menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu junub?” Aku menjawab:
“Aku teringat firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Al-Nisa’ : 29). Maka aku bertayamum
dan shalat.” Lalu Rasulullah e tersenyum dan tidak berkata apa-apa”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (334),
Ahmad (4/203), Al-Daraquthni (1/178), dinilai shahih oleh Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak (1/177) dan Al-Dzahabi dan lain-lain.
Faedah Hadits:
Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah.
‘Amr bin Al-‘Ash melakukan tayamum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya.
Kemudian setelah Nabi e mengetahuinya, beliau tidak menegurnya
bahkan membenarkannya. Dengan demikian, tidak semua perkara yang tidak
diajarkan oleh Nabi e itu pasti tertolak, bahkan dapat menjadi
bid’ah hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara’ seperti dalam
hadits ini.
8. Hadits Umar bin Al-Khaththab .
عَنْ سَيِّدِنَا عُمَرَ t قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّاسُ فِي الصَّلاةِ فَقالَ حِيْنَ وَصَلَ
إِلى الصَّفِّ: اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ
اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ e صَلاَتَهُ
قَالَ: ( مَنْ صَاحِبُ الْكَلِمَاتِ؟) قَالَ الرَّجُلُ : أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ،
وَاللهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلاَّ الْخَيْرَ قَالَ: (لَقَدْ رَأَيْتُ أَبْوَابَ
السَّمَاءِ فُتِحَتْ لَهُنَّ) قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ.
“Umar
t berkata: “Seorang laki-laki datang pada saat
shalat berjamaah didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata:
“Allahu akbar kabiran walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa
ashila”. Setelah Nabi e selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang
mengucapkan kalimat-kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya, ya
Rasulullah. Demi Allah saya hanya bermaksud baik dengan kalimat-kalimat itu”.
Beliau bersabda: “Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka
menyambut kalimat-kalimat itu”. Ibn Umar berkata: “Aku belum pernah
meninggalkannya sejak mendengarnya.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Muslim (1357), Al-Tirmidzi (3592), Al-Nasa’i (884) dan
Ahmad (2/14).
9. Hadits
Rifa’ah bin Rafi’ .
وَعَنْ
سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ t قَالَ: كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ e فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ ( سَمِعَ اللهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا
طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ:
أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ
يَكْتُبُهَا».
“Rifa’ah bin Rafi’ t berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama
Nabi e. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau
berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya
berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”.
Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?”
Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30
malaikat berebutan menulis pahalanya”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (799), Al-Nasa’i (1016), Abu Dawud (770),
Ahmad (4/340) dan Ibn Khuzaimah (614).
Faedah
Hadits:
Kedua sahabat di atas
mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi e, yaitu menambah bacaan dzikir dalam iftitah
dan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi e membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi
kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan. Karena perbuatan mereka
sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal dan iftitah itu
tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu Al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan
dalam Fath Al-Bari, bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat
dzikir baru dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur
(datang dari Nabi e), dan bolehnya mengeraskan suara dalam
bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
C. Bid’ah Hasanah Setelah Rasulullah
Wafat
1. Penghimpunan
Al-Quran Dalam Mushhaf.
جَاءَ
سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ t إِلَى
سَيِّدِنَا أَبِيْ بَكْرٍ t يَقُوْلُ لَهُ: يَا خَلِيْفَةَ رَسُوْلِ اللهِ e أَرَى الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ فِي الْقُرَّاءِ فَلَوْ جَمَعْتَ
الْقُرْآنَ فِي مُصْحَفٍ فَيَقُوْلُ الْخَلِيْفَةُ: كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ
يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ e ؟ فَيَقُوْلُ عُمَرُ: إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلْ بِهِ
حَتَّى قَبِلَ فَيَبْعَثَانِ إِلَى زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ t فَيَقُوْلاَنِ
لَهُ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ: كَيْفَ تَفْعَلاَنِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ
اللهِ e ؟ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ : إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ فَلاَ يَزَالاَنِ
بِهِ حَتَّى شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ كَمَا شَرَحَ صَدْرَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا.
“Sayidina
Umar t mendatangi Khalifah Abu
Bakar t dan berkata: “Wahai
Khalifah Rasulullah e, saya melihat
pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal Al-Quran,
bagaimana kalau Anda menghimpun Al-Quran dalam satu Mushhaf?” Khalifah
menjawab: “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan
oleh Rasulullah e?” Umar berkata: “Demi
Allah, ini baik”. Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu Bakar
menerima usulan Umar. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit ra, dan
menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid. Ia menjawab: “Bagaimana kalian
akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah e?” Keduanya menjawab:
“Demi Allah, ini baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah
melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar
dalam rencana ini”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(4679), Al-Tirmidzi (3103), Ahmad (1/10) dan Al-Nasa’i dalam Fadha’il
Al-Qur’an (20).
Faedah Hadits: Umar mengusulkan
penghimpunan Al-Quran dalam satu Mushhaf. Abu Bakar mengatakan, bahwa hal itu
belum pernah dilakukan oleh Rasulullah e. Tetapi Umar meyakinkan
Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah e. Dengan demikian, tindakan beliau ini
tergolong bid’ah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun Al-Quran dalam satu
mushhaf hukumnya wajib, meskipun termasuk bid’ah, agar Al-Quran tetap
terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan Al-Quran ini tergolong bid’ah hasanah
yang wajibah.
2. Shalat Tarawih.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلِىَ الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ
مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ
بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t : إِنِّيْ
أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلىَ قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ
يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ والَّتِيْ
ناَمُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ
النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
“Abdurrahman bin Abd
Al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama
Umar bin Al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam
sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam
beberapa orang. Lalu Umar t berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka
aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan
mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar
bin Al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada satu imam.
Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi
menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripa di awal malam”. Pada waktu
itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2010) dan Malik (1/114).
Faedah
Hadits: Rasulullah e tidak pernah menganjurkan shalat tarawih
secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian
meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap
malam. Dan tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada
masa Khalifah Abu Bakar t. Kemudian Umar t mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada
seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau
lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau
mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Dan pada hakekatnya, apa yang
beliau lakukan ini termasuk sunnah, karena Rasulullah e telah bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ e: «فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ».
“Rasulullah
e bersabda: “Berpeganglah
dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk”.
3. Adzan Jum’at.
وَعَنِ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ
الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ e وَأَبِيْ
بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ t وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ
وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ.
“Al-Sa’ib
bin Yazid t berkata: “Pada masa Rasulullah e, Abu Bakar dan Umar
adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada
masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga
di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(912), Abu Dawud (1089), Al-Tirmidzi (516), Al-Nasa’i (1391), Ibn Majah (1135),
Ahmad ( 3/449) dan Ibn Khuzaimah (1773).
Faedah Hadits: Pada masa Rasulullah e, Abu Bakar dan Umar
adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa
Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat,
sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke
mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di
Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at,
sebelum imam hadits ke atas mimbar. Dan semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya.
Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan
dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Dan benar pula menamainya dengan
sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti
berdasarkan hadits sebelumnya.
4. Shalat Sunnah Sebelum Shalat ‘Id Dan
Sesudahnya.
عَنِ الْوَلِيْدِ بْنِ سَرِيْعٍ
قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلِي بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ t فِي يَوْمِ عِيْدٍ فَسَأَلَهُ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالُوْا :
يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَا تَقُوْلُ فِي الصَّلاةِ يَوْمَ الْعِيْدِ قَبْلَ
الصَّلاةِ وَبَعْدَها ؟ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئًا ثُمَّ جَاءَ قَوْمٌ فَسَأَلُوْا
كَمَا سَأَلُوْهُ - الَّذِيْنَ كَانُوْا قَبْلَهُمْ - فَمَا رَدَّ عَلَيْهِمْ فَلَمَّا
انْتَهَيْنَا إِلَى الصَّلاةِ وَصَلَّى بِالنَّاسِ فَكَبَّرَ سَبْعًا وَخَمْسًا ثُمَّ
خَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ نَزَلَ فَرَكِبَ فَقَالُوْا : يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ
هَؤُلاَءِ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ ؟ قَالَ : فَمَا عَسَيْتُ أَنْ أَصْنَعَ سَأَلْتُمُوْنِيْ
عَنِ السُّنَّةِ ؟ إِنَّ النَّبِيَّ e لَمْ
يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا فَمَنْ شَاءَ فَعَلَ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ أَتَرَوْنِيْ
أَمْنَعُ قَوْمًا يُصَلُّوْنَ فَأَكُوْنَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ مَنَعَ عَبْدًا إِذَا
صَلَّى.
“Al-Walid bin Sari’ berkata: “Pada suatu hari
raya, kami keluar bersama Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib t. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau
menanyakannya tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat ’id dan sesudahnya.
Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang
menanyakan hal yang sama pada beliau. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah
kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh
kali, kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, beliau
menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya: “Hai Amirul Mu’minin, mereka
melakukan shalat sunnah sesudah shalat ’id!” Beliau menjawab: “Apa yang akan
aku lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi e belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum
shalat ‘id dan sesudahnya. Tetapi siapa yang mau melakukan, lakukanlah, dan
siapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang
yang mau shalat, agar tidak termasuk “orang yang melarang seorang hamba ketika
dia mengerjakan shalat”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Al-Musnad. (Lihat: Al-Hafizh
Al-Haitsami, Majma’ Al-Zawaid (2/438).
Faedah
Hadits: Rasulullah e tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum
shalat ‘id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa
Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib t, dan ternyata beliau membiarkan dan tidak menegur
mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk bid’ah hasanah, siapa
saja boleh melakukannya. Di sini, Sayidina Ali bin Abi Thalib, salah satu
Khulafaur Rasyidin, memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah e belum tentu salah dan tercela. Tentu saja, pemahaman
beliau lebih tepat daripada pemahaman orang-orang seperti Ibn Baz,
Al-‘Utsaimin, Al-Albani dan Mahrus Ali yang melarang membaca Shalawat Fatih,
Nariyah, Thibbul Qulub dan lain-lain.
5. Hadits
Talbiyah.
Abdullah
bin Umar t meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang
dibaca oleh Rasulullah e ketika menunaikan ibadah haji adalah:
لَبَّيْكَ
اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ
لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لكَ.
Tetapi Abdullah bin Umar t sendiri menambah doa talbiyah
tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكَ
لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ
وَالْعَمَلُ.
Hadits tentang doa talbiyah Nabi e dan tambahan Ibn Umar
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan
lain-lain. Dan menurut Ibn Umar, Sayidina Umar t juga melakukan tambahan dengan kalimat yang
sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah
dari Nabi e dengan kalimat:
لَبَّيْكَ
مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ.
Dalam riwayat Abu Dawud (1813) dengan sanad
yang shahih, Ahmad (3/320) dan Ibn Khuzaimah (2626), sebagian orang
menambah bacaan talbiyah-nya dengan kalimat:
( ذَا الْمَعَارِجِ ).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Al-Mathalib
Al-‘Aliyah meriwayatkan bahwa, Sayidina Anas bin Malik t, dalam talbiyah-nya
menambah kalimat:
لَبَّيْكَ
حَقًّا حَقًّا تَعَبُّدًا وَرِقًّا.
Faedah Hadits: Menurut Al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath Al-Bari, hadits-hadits talbiyah yang beragam
dari para sahabat, menunjukkan bolehnya menambah bacaan dzikir dalam tasyahhud,
talbiyah dan lain-lainnya terhadap dzikir yang ma’tsur (datang
dari Nabi e). Karena Nabi e sendiri telah mendengar
tambahan para sahabat dalam talbiyah, dan membiarkannya. Sebagaimana
tokoh-tokoh sahabat melakukan tambahan pula, seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah
bin Mas’ud, Hasan bin Ali, Anas dan lain-lain y. Kebolehan menambah
dzikir baru terhadap dzikir yang ma’tsur ini adalah pendapat mayoritas
ulama, bahkan bisa dikatakan ijma’ ulama.
D. Bid’ah Hasanah Setelah Generasi Sahabat
Setelah generasi sahabat punah, dari waktu ke
waktu kaum Muslimin juga masih melakukan kreasi-kreasi yang diperlukan dan
dibutuhkan oleh umat, sesuai dengan perkembangan zaman yang harus diikuti
dengan kecekatan dalam bertindak. Beberapa kreasi kaum Muslimin setelah
generasi sahabat dan kemudian diakui sebagai bid’ah hasanah, adalah
seperti berikut ini.
1. Pemberian
Titik Dalam Penulisan Mushhaf.
Pada
masa Rasulullah e, penulisan Mushhaf Al-Quran yang dilakukan
oleh para sahabat tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya seperti ba’,
ta’ dan lain-lainnya. Bahkan ketika Khalifah Utsman menyalin Mushhaf
menjadi 6 salinan, yang 5 salinan dikirimnya ke berbagai kota negara Islam
seperti Basrah, Mekah dan lain-lain, dan satu salinan untuk beliau pribadi,
dalam rangka penyatuan bacaan kaum Muslimin, yang dihukumi bid’ah hasanah
wajibah oleh seluruh ulama, juga tanpa pemberian titik terhadap
huruf-hurufnya. Pemberian titik pada Mushhaf Al-Quran baru dimulai oleh seorang
ulama tabi’in, Yahya bin Ya’mar. Al-Imam Ibn Abi Dawud Al-Sijistani
meriwayatkan:
عَنْ هَارُوْنَ بْنِ مُوْسَى قَالَ: أَوَّلُ
مَنْ نَقَّطَ الْمَصَاحِفَ يَحْيَى بْنُ يَعْمَرَ.
“Harun bin Musa berkata:
“Orang yang pertama kali memberi titik pada Mushhaf adalah Yahya bin Ya’mar”.
(Al-Mashahif, hal. 158).
Setelah
beliau memberikan titik pada Mushhaf, para ulama tidak menolaknya, meskipun
Nabi e belum pernah memerintahkan pemberian titik
pada Mushhaf.
2. Perayaan
Maulid Nabi.
Perayaan
hari kelahiran (maulid) Nabi e baru terjadi pada permulaan abad keenam
Hijriah. Para sejarawan sepakat bahwa yang pertama kali mengadakannya adalah
Raja Irbil di Iraq, yang dikenal alim, bertakwa dan pemberani, yaitu Raja
Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kukuburi bin Zainuddin Ali Buktikin. Para ulama dari kalangan
shufi, fuqaha dan ahli hadits menilai perayaan maulid ini termasuk bid’ah hasanah,
yang dapat memberikan pahala bagi yang melakukannya. Di antara ulama yang
menilai perayaan maulid sebagai bid’ah hasanah adalah Al-Hafizh Ibn
Al-Jauzi Al-Hanbali, Al-Hafizh Ibn Dihyah, Al-Hafizh Abu Syamah (guru Al-Imam
Al-Nawawi), Al-Hafizh Ibn Katsir, Al-Hafizh Ibn Rajab Al-Hanbali, Al-Hafizh Ibn
Hajar, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lain-lain. Lalu bagaimana
dengan pernyataan Mahrus Ali dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat
& Dzikir Syirik” (hal. 110):
“Tiada
ajaran dalam Islam untuk memperingati hari kelahiran guru, Nabi e dan lain-lain”.
Tentu
saja pandangan Mahrus Ali ini yang mengikuti para jagoan tahrif terhadap
nushush seperti Ibn Baz, Al-‘Utsaimin, Al-Albani dan lain-lain, terlalu
prematur dan berangkat dari paradigma sempit dalam memahami ajaran agama.
Setidaknya ada beberapa nilai positif yang membenarkan perayaan maulid Nabi e. Allah I berfirman:
Artinya :“Dan
tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. (QS. Al-Anbiya’ : 107)
Dan Rasulullah e telah bersabda:
إِنَّمَا أنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ.
Artinya “Aku
hanyalah rahmat yang dihadiahkan”. (Al-Albani, Shahih Al-Jami’ Al-Shaghir).
Dengan demikian Rasulullah e adalah al-rahmat al-‘uzhma (rahmat
yang paling agung) bagi umat manusia. Sedangkan Allah telah merestui kita untuk
merayakan lahirnya rahmat itu. Dalam hal ini Allah I berfirman:
Artinya “Katakanlah:
"Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira”. (QS. Yunus : 58).
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Dengan
karunia Allah (yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad e), hendaklah dengan itu mereka bergembira”.
(Al-Hafizh Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, 2/308).
Allah I juga berfirman:
Artinya “Dan
semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian
kisah-kisah para rasul dalam Al-Quran adalah untuk meneguhkan hati Nabi e. Dan tentu saja kita yang dha’if
dewasa ini lebih membutuhkan peneguhan hati daripada beliau e, melalui penyajian sirah dan biografi beliau
e.
Sisi lain dari perayaan maulid Nabi e adalah, mendorong kita untuk memperbanyak
shalawat dan salam kepada beliau sesuai dengan firman Allah:
Artinya “Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” (QS. Al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah
ditetapkan, bahwa sarana yang dapat mengantar pada anjuran agama, juga
dianjurkan sebagaimana diakui oleh Al-‘Utsaimin dalam Al-Ibda’ (hal.
18). Sehingga perayaan maulid menjadi dianjurkan.
Allah I juga berfirman:
Artinya “Isa
putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu
hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami
yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi
tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki
yang paling Utama”. (QS. Al-Ma’idah : 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya
hidangan dianggap sebagai hari raya bagi orang-orang yang bersama Nabi Isa u dan orang-orang yang datang sesudah beliau di
bumi agar mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja lahirnya Rasulullah
e sebagai al-rahmat al-‘uzhma lebih
layak kita rayakan dengan penuh suka cita daripada hidangan itu. Ibn Taimiyah
mengatakan:
فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ
بَعْضُ النَّاسِ، وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ e كَمَا قَدَّمْتُهُ
لَكَ، ا.هـ (ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم، ص/297).
“Mengagungkan
maulid dan menjadikannya sebagai hari raya setiap musim, dilakukan oleh
sebagian orang, dan ia akan memperoleh pahala yang sangat besar dengan
melakukannya karena niatnya yang baik dan karena mengagungkan Rasulullah e sebagaimana telah aku sampaikan.” (Ibn Taimiyah, Iqtidha’
Al-Shirath Al-Mustaqim, hal. 297).
Toh pada akhirnya, kaum Wahhabi yang
mengharamkan perayaan maulid Nabi e, melakukan sesuatu yang kontraproduktif
dengan ideologi mereka. Pada saat mereka mengharamkan dan menilai syirik
perayaan maulid Nabi e, mereka justru merayakan haul guru mereka,
Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri ajaran Wahhabi, dalam suatu acara tahunan
selama satu pekan yang mereka namakan Usbu’ Al-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab (pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab). Selama sepekan, secara
bergantian, ulama-ulama Wahhabi akan mengupas secara panjang lebar, tentang
berbagai aspek menyangkut Muhammad bin Abdul Wahhab, dan kemudian mereka
terbitkan dalam bentuk jurnal ilmiah. Kata pepatah, al-mubthil mutanaqidh
(orang yang berpaham batil, pasti kontradiksi).
Di sisi lain, pada saat Ibn Baz bersama
koleganya dalam Komisi Tetap Fatwa Wahhabi Saudi Arabia, mengeluarkan hukum
bid’ah perayaan maulid Nabi e, mereka justru membolehkan perayaan hari
nasional Saudi Arabia, sebagai legitimasi hukum Wahhabi (bukan hukum Islam)
terhadap kepentingan penguasa Wahhabi di Saudi. (Lihat; Fatawa Al-Lajnah
Al-Da’imah, 3/88-89).
3. Penulisan (e) ketika menulis nama Nabi e.
Di antara bid’ah hasanah yang
disepakati oleh kaum Muslimin, bahkan oleh kaum Wahhabi sendiri, adalah
penulisan (e) ketika menulis nama Nabi e dalam kitab-kitab dan surat menyurat. Dan
hal ini belum pernah dilakukan pada masa Nabi e dalam surat-surat yang beliau kirimkan
kepada para raja dan kepala suku Arab. Dalam surat-surat yang beliau kirimkan
pada waktu itu hanya ditulis, “Dari Muhammad Rasulullah kepada si fulan”.
4. Bid’ah Hasanah Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama
mujtahid yang mengakui bid’ah hasanah. Hal ini dapat dilihat dengan
memperhatikan fatwa beliau kepada muridnya. Al-Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi – hafizh
dan faqih bermadzhab Hanbali - meriwayatkan dalam kitab Al-Mughni
(1/802):
قَالَ الْفَضْلُ بْنُ
زِيَادٍ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ فَقُلْتُ: أَخْتِمُ الْقُرْآنَ؛ أَجْعَلُهُ
فِي الْوِتْرِ أَوْ فِي التَّرَاوِيْحِ؟ قَالَ: اجْعَلْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ حَتَّى
يَكُوْنَ لَنَا دُعَاءٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ. قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: إِذَا
فَرَغْتَ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ وَادْعُ
بِنَا وَنَحْنُ فِي الصَّلاةِ وَأَطِلِ الْقِيَامَ. قُلْتُ: بِمَ أَدْعُوْ؟ قَالَ:
بِمَا شِئْتَ. قَالَ: فَفَعَلْتُ بِمَا أَمَرَنِيْ وَهُوَ خَلْفِيْ يَدْعُوْ قَائِماً
وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ. قَالَ حَنْبَلٌ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُوْلُ فِي خَتْمِ الْقُرْآنِ:
إِذَا فَرَغْتَ مِنْ قِرَاءَةِ: قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ
فِي الدُّعَاءِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. قُلْتُ: إِلَى أَيِّ شَيْءٍ
تَذْهَبُ فِيْ هَذَا؟ قَالَ: رَأَيْتُ أَهْلَ مَكَّةَ يَفْعَلُوْنَهُ، وَكَانَ سُفْيَانُ
بْنُ عُيَيْنَةَ يَفْعَلُهُ مَعَهُمْ بِمَكَّةَ. انتهى.
“Al-Fahdhl
bin Ziyah berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal: “Aku
akan mengkhatamkan Al-Quran, aku baca dalam shalat witir atau tarawih?” Ahmad
menjawab: “Baca dalam tarawih sehingga kita dapat berdoa antara dua rakaat.”
Aku bertanya: “Bagaimana caranya?” Ia menjawab: “Bila kamu selesai dari akhir
Al-Quran, angkatlah kedua tanganmu sebelum ruku’, berdoalah bersama kami dalam
shalat, dan perpanjang berdirinya.” Aku bertanya: “Doa apa yang akan aku baca?”
Ia menjawab: “Semaumu.” Al-Fahdl berkata: “Lalu aku lakukan apa yang ia sarankan,
sedangkan ia berdoa sambil berdiri di belakangku dan mengangkat kedua
tangannya.”
Hanbal berkata: “Aku mendengar Ahmad berkata mengenai
khotmil Qur’an: “Bila kamu selesai membaca Qul ‘audzu birabbinnas, maka
angkatlah kedua tanganmu dalam doa sebelum ruku’.” Lalu aku bertanya: “Apa
dasar Anda dalam hal ini?” Ia menjawab: “Aku melihat penduduk Mekah
melakukannya, dan Sufyan bin ‘Uyainah melakukannya bersama mereka.” (Lihat pula, Ibn Al-Qayyim, Jala’ Al-Afham, hal.
226).
Komentar: Apa yang
dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal ini belum pernah dilakukan oleh Nabi e. Bahkan beliau meninggalkannya. Karena andai hal ini
dilakukan oleh Nabi e, tentu para sahabat akan menyampaikannya kepada kita.
Dan tentu saja apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal ini tergolong
bid’ah hasanah. Beliau melakukan dan menfatwakannya kepada muridnya. Dan
sebelumnya hal ini telah dilakukan oleh Sufyan bin Uyainah bersama penduduk
Mekkah, tanpa ada dalil khusus dari Al-Quran dan Sunnah sebagai landasan
mereka. Beliau memahami, bahwa kaedah-kaedah syariat dapat menerima cara
seperti itu dalam konteks yang fleksibel.
5. Bid’ah Hasanah
Ibn Taimiyah Dalam Berdzikir.
Sementara ini, apabila kita membicarakan
bid’ah bersama orang-orang Wahhabi seperti Ibn Baz, Al-‘Utsaimin dan Al-Albani
yang dikagumi Ustadz Mahrus Ali, nama Ibn Taimiyah akan menjadi satu-satunya
figur ideal yang bersih dan steril dari bid’ah. Ibn Taimiyah sendiri dalam
kitabnya Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim, mencela para ulama yang
membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
Tetapi idealisme ini akan runtuh manakala mereka membaca biografi Ibn Taimiyah
yang ditulis oleh muridnya yang mengaku bernama Umar bin Ali Al-Bazzar dalam Al-A’lam
Al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ
الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ
مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا
الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلىَ الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاتِ
الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا
وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ
يَدْعُو اللهَ تَعالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ
قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ
الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ
مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلالِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ
بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ
وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلازِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ
وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ َحتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى
جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ
يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ
مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ
فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ
ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ
مَا وَرَدَ فِي اْلأحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ
تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلىَ تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟
فرَأَىَ t أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ
الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ
وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، ا.هـ
“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat
shubuh, maka ia memuji kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang
datang dari Nabi e Allahumma antassalam . . . Lalu ia
menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi e, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing
33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia
membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah I untuk dirinya dan jamaah
serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara
setelah shalat shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup
didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di
tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit.
Dan ini kebiasaannya hingga Matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku
selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering
mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku
selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku
melihatnya membaca Al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh
waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang Al-Fatihah sejak selesai shalat
shubuh hingga Matahari naik. Dalam hal itu aku merenung. Mengapa ia hanya
rutin membaca Al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya aku tahu – wallahu a’lam
-, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan
apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan
mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi e daripada membaca Al-Quran, atau
sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang
Al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua
keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya
yang jitu.”
Komentar:
Kesimpulan dari riwayat ini,
sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa
secara berjamaah pula seperti layaknya warga NU. Ia selalu menatapkan matanya
ke langit. Sehabis itu, ia membaca surat Al-Fatihah hingga Matahari naik ke
atas. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini murni bid’ah dari
dirinya. Ia menetapkan satu bacaan secara khusus, yaitu surah Al-Fatihah, tanpa
ada dalil dari Nabi e. Dan ia membacanya secara rutin
pula setiap selesai shalat shubuh hingga Matahari naik tanpa ada nash
dari Nabi e. Toh, walaupun apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini
tidak memiliki dalil, kecuali hasil ijtihadnya sendiri, ia masih berhak
mendapat poin penghargaan dari pendukung fanatiknya, Umar bin Ali Al-Bazzar dan
orang-orang Wahhabi, bahwa hal itu sebagai bukti kekuatan kecerdasan Ibn
Taimiyah dan pandangan hatinya yang jitu. Di sini kita bertanya-tanya, mengapa
Ibn Taimiyah selalu mendapat bonus pujian dari mereka, meskipun melakukan sesuatu
tanpa ada dasarnya secara khusus, sementara orang lain akan dikritik
bid’ah, syirik dan sesat, manakala rutin mengamalkan shalawat, tahlil, maulid
dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar