Jumat, 08 Juni 2012

KAJIAN KHUSUS SANTRI










 Dirosah Aswaja 
(Ahlussunah Wal-Jama’ah)

Kajian Khusus Tentang Bid’ah”
Ala Ahlussunnah Wal-Jama’ah

Di Tulis Ulang

Oleh : Ustad Musyafi’ S.Ag.


KAJIAN KHUSUS TENTANG BID’AH”
Ditulis kembali oleh : Muyafi’ S.Ag.
Direktur PC. Aswaja NU Center Kraksaan



A. Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah berpandangan bahwa hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang harus dibatasi jangkauannya (‘am makhshush). Dalam hal ini Al-Imam Al-Nawawi menyatakan:
قَوْلُهُ e وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ.
“Sabda Nabi e, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Oleh karena hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Dan lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah, dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.
Dalil-dalil berikut ini akan dibagi menjadi dua; dalil-dalil bid’ah hasanah pada masa Rasulullah e, dan dalil-dalil bid’ah hasanah sesudah beliau e wafat.

B.  Bid’ah Hasanah Pada Masa Rasulullah e

1.    Hadits Sayidina Mu’adz bin Jabal t.
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ e إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلىَّ مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلىَّ النَّبِيُّ e ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ e « سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا).
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah e, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah dengan beliau, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Kemudian pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan perkataan mereka. Kemudian setelah Rasulullah e selesai shalat, maka Mu’adz akan mengganti rakaat yang tertinggal itu. Setelah Rasulullah e selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau e menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau e bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (20/271) dan Al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Hafizh Ibn Daqiq Al-‘Id dan Al-Hafizh Ibn Hazm Al-Andalusi.

Faedah Hadits
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi e tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya. Karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan kaedah berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.

2.   Hadits Al-‘Ash bin Wa’il t.
وَعَنِ الْعَاصِ بْنِ وَائِلٍ قَالَ: قَدِمَ بَكْرٌ بْنُ وَاِئٍل مَكَّةَ فَقَالَ النَّبِيُّ e لأَبِيْ بَكْرٍ : « ائْتِهِمْ فَاعْرِضْ عَلَيْهِمْ» وَفِيْهِ : فَأَتَاهُمْ فَعَرَضَ عَلَيْهِمُ اْلإِسْلاَمَ فَقَالُوْا: حَتَّى يَجِيْءَ بَنُوْ ذُهْلٍ بْنِ شَيْبَانَ فَعَرَضَ عَلَيْهِمْ أَبُوْ بَكْرٍ قَالُوْا: إِنَّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْفُرْسِ حَرْباً فَإِذَا فَرَغْنَا فِيْمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ عُدْنَا فَنَظَرْنَا فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : أَرَأَيْتَ إِنْ غَلَبْتُمُوْهُمْ أَتَتَّبِعُنَا عَلىَ أَمْرِنَا ؟ قَالُوْا : لاَ نَشْتَرِطُ لَكَ ذَلِكَ عَلَيْنَا وَلَكِنْ إِذَا فَرَغْنَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ عُدْنَا فَنَظَرْنَا فِيْمَا تَقُوْلُ، فَلَمَّا الْتَقَوْا يَوْمَ ذِيْ قَارٍ مَعَ الْفُرْسِ قَالَ شَيْخُهُمْ : مَا اسْمُ الَّذِيْ دَعَاكُمْ إِلَى اللهِ؟ قَالُوْا : مُحَمَّدٌ، قَالَ هُوَ شِعَارُكُمْ فَنُصِرُوْا عَلَى الْقَوْمِ فَقَالَ الرَّسُوْلُ e «بِيْ نُصِرُوْا».
“Al-‘Ash bin Wa’il berkata: “Suku Bakr bin Wa’il datang ke Makkah, lalu Nabi e berkata kepada Abu Bakar: “Datangi mereka dan tawarkan agama Islam pada mereka”. Lalu Abu Bakar mendatangi mereka dan menawarkan untuk memeluk agama Islam. Mereka menjawab: “Sampai pemimpin kami datang”. Setelah pemimpin mereka datang, Abu Bakar bertanya: “Siapa kaum ini?” Mereka menjawab: “Suku Dzuhl bin Syaiban”. Lalu Abu Baka menawarkan Islam kepada mereka, dan mereka menjawab: “Sesungguhnya di antara kami dengan Persia terjadi peperangan, maka bila kami telah menyelesaikan urusan kami dengan mereka, kami akan kembali dan memikirkan tawaran Anda”. Abu Bakar berkata: “Apakah bila kalian dapat mengalahkan mereka, maka kalian akan mengikuti agama kami?” Mereka menjawab: “Kami tidak berjanji mengikuti agama kalian. Tetapi bila kami telah menyelesaikan urusan dengan mereka, kami akan kembali dan memikirkan ajakanmu”. Setelah suku Dzuhl bin Syaiban berhadapan dengan Persia, pemimpin mereka berkata: “Siapa nama orang yang mengajak kamu ke agama Allah?” Mereka menjawab: “Muhammad”. Ia berkata: “Kalau begitu, nama Muhammad itu jadikan solgan kalian dalam peperangan”. Kemudian suku Dzuhl bin Syaiban itu mengalahkan Persia. Mendengar berita itu, Rasulullah e bersabda: “Dengan perantara namaku, mereka diberi kemenangan oleh Allah”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Thabarani. Al-Hafizh Al-Haitsami mengatakan dalam Majma’ Al-Zawa’id (6/10631), para perawi hadits ini tsiqat (dipercaya) dan perawi hadits shahih.

Faedah Hadits
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam peperangan melawan Persia, suku Dzuhl bin Syaiban ber-tawassul dengan nama Nabi e agar memperoleh kemenangan. Tawassul yang mereka lakukan, atas inisiatif pimpinan mereka dan belum mereka pelajari dari Nabi e. Dan ternyata tawassul mereka dibenarkan oleh Nabi e, dengan penegasan beliau e: «بي نصروا» dengan perantara namaku mereka diberi kemenangan oleh Allah. Dengan demikian tidak selamanya perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi e selalu keliru dan buruk.

3.   Hadits Sayidina Bilal .
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t أَنَّ نَبِيَّ اللهِ e قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: « يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ e «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ».
“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi e bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau e berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah azan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelah dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi e berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1149), Muslim (6274), Al-Nasa’i dalam Fadhail Al-Shahabah (132), Al-Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), Al-Hakim (1/313) dan menilainya shahih.

Faedah Hadits
Menurut Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari, hadits ini memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi e pun membenarkannya. Nabi e belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi e. Dan ternyata Nabi e membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat. 

4.   Hadits Ibn Abbas.
عَنْ سَيِّدِنَا ابْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ e فِيْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِيْ فَجَرَّنِيْ حَتَّى جَعَلَنِيْ حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُوْلُ اللهِ e عَلَى صَلاَتِهِ خَنِسْتُ فَصَلىَّ رَسُوْلُ اللهِ e فَلَمَّا انْصَرَفْتُ قَالَ: (مَا شَأْنُكَ ؟ أَجْعَلُكَ حِذَائِيْ فَتَخْنَسُ) فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوَ يَنْبَغِيْ لأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِحِذَائِكَ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ الَّذِيْ أَعْطَاكَ اللهُ؟ قَالَ: فَأَعْجَبَهُ فَدَعَا لِيْ أَنْ يَزِيْدَنِيَ الله ُعِلْمًا وَفِقْهًا.
“Sayyidina Ibn Abbas t berkata: “Aku mendatangi Rasulullah pada akhir malam, lalu aku shalat di belakangnya. Ternyata beliau mengambil tanganku dan menarikku lurus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah e memulai shalatnya, aku mundur ke belakang, lalu Rasulullah e menyelesaikan shalatnya. Setelah aku mau pulang, beliau berkata: “Ada apa, aku tempatkan kamu lurus di sebelahku, tetapi kamu malah mundur?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, tidak selayaknya bagi seseorang shalat lurus di sebelahmu sedang engkau Rasulullah yang telah menerima karunia dari Allah”. Ibn Abbas berkata: “Ternyata beliau senang dengan jawabanku, lalu mendoakanku agar Allah senantiasa menambah ilmu dan pengertianku terhadap agama”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/330).
Faedah Hadits: Hadits ini membolehkan berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’. Ibn Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah e telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau e, ternyata beliau e tidak menegurnya, bahkan merasa senang dan memberinya hadiah doa. Dan seperti inilah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah.

6.   Hadits Ali bin Abi Thalib .
وَعَنْ سَيِّدِنَا عَلِي t قَالَ: كَانَ أَبُوْ بَكْرٍ يُخَافِتُ بِصَوْتِهِ إِذَا قَرَأَ وَكَانَ عُمَرُ يَجْهَرُ بِقِرَاءَتِهِ وَكَانَ عَمَّارٌ إِذَا قَرَأَ يَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّوْرَةِ وَهَذِهِ السُوْرَةِ فَذُكَِر ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ e فَقَالَ لأَبِيْ بَكْرٍ : « لِمَ تُخَافِتُ؟» قَالَ: إِنِّيْ أُسْمِعُ مَنْ أُنَاجِيْ وَقَالَ لِعُمَرَ: « لِمَ تَجْهَرُ بِقِرَاءَتِكَ؟» قَالَ : أُفْزِعُ الشَّيْطَانَ وَأُوْقِظُ الْوَسْنَانَ وَقَالَ لِعَمَّارٍ: « لِمَ تَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّوْرَةَ وَهَذِهِ السُوْرَةِ؟» قَالَ: أَتَسْمَعُنِيْ أَخْلِطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ؟ قَالَ: ( لاَ ) ثُمَّ قَالَ: «فَكُلُّهُ طَيِّبٌ».
“Sayidina Ali D berkata: “Abu Bakar bila membaca Al-Quran dengan suara lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar apabila membaca Al-Quran, mencampur surat ini dengan surat ini. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi e. Sehingga beliau e bertanya kepada Abu Bakar: “Mengapa kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab: “Allah dapat mendengar suaraku walaupun lirih”. Lalu bertanya kepada Umar: “Mengapa kamu membaca dengan suara keras?” Umar menjawab: “Aku mengusir syetan dan menghilangkan kantuk”. Lalu beliau bertanya kepada Ammar: “Mengapa kamu mencampur surat ini dengan surat ini?” Ammar menjawab: “Apakah engkau pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu yang bukan Al-Quran?” Beliau menjawab: “Tidak”. Lalu beliau bersabda: “Semuanya baik”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/109).

Faedah Hadits
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing-masing, sehingga sebagian sahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang berbeda-beda itu, dan ternyata Nabi e membenarkan dan menilai semuanya baik dan tidak ada yang buruk. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh Nabi e pasti buruk atau keliru. Dan agaknya cara Ammar bin Yasir membaca Al-Quran, sesuai dengan tradisi tahlil di kalangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Indonesia yang mencampur antara berbagai ayat-ayat Al-Quran.

7.   Hadits ‘Amr bin Al-‘Ash .
عَنْ سَيِّدِنَا عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ t : أَنَّهُ لَمَّا بُعِثَ فِيْ غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاسِلِ قَالَ: احْتَلَمْتُ فِيْ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيْدَةِ الْبُرُوْدَةِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلَكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِيْ صَلاَةَ الصُبْحِ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ الرَّسُوْلِ e ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ: ( يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟!) فَقُلْتُ : ذَكَرْتُ قَوْلَ اللهِ تَعَالَى ﴿ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا﴾ فَتَيَمَّمْتُ وَصَلَّيْتُ فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ e وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.
“’Amr bin Al-‘Ash D ketika dikirim dalam peperangan Dzat Al-Salasil berkata: “Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku mau mandi, tapi takut sakit. Akhirnya aku bertayamum dan menjadi imam shalat shubuh bersama sahabat-sahabatku. Setelah kami datang kepada Rasulullah e, mereka melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah e. Beliau bertanya: “Hai ‘Amr, mengapa kamu menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu junub?” Aku menjawab: “Aku teringat firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Al-Nisa’ : 29). Maka aku bertayamum dan shalat.” Lalu Rasulullah e tersenyum dan tidak berkata apa-apa”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (334), Ahmad (4/203), Al-Daraquthni (1/178), dinilai shahih oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/177) dan Al-Dzahabi dan lain-lain.

Faedah Hadits
Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah. ‘Amr bin Al-‘Ash melakukan tayamum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah Nabi e mengetahuinya, beliau tidak menegurnya bahkan membenarkannya. Dengan demikian, tidak semua perkara yang tidak diajarkan oleh Nabi e itu pasti tertolak, bahkan dapat menjadi bid’ah hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara’ seperti dalam hadits ini.

8.   Hadits Umar bin Al-Khaththab .
عَنْ سَيِّدِنَا عُمَرَ t قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّاسُ فِي الصَّلاةِ فَقالَ حِيْنَ وَصَلَ إِلى الصَّفِّ: اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ e صَلاَتَهُ قَالَ: ( مَنْ صَاحِبُ الْكَلِمَاتِ؟) قَالَ الرَّجُلُ : أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَاللهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلاَّ الْخَيْرَ قَالَ: (لَقَدْ رَأَيْتُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ فُتِحَتْ لَهُنَّ) قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ.
“Umar t berkata: “Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata: “Allahu akbar kabiran walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila”. Setelah Nabi e selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya, ya Rasulullah. Demi Allah saya hanya bermaksud baik dengan kalimat-kalimat itu”. Beliau bersabda: “Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka menyambut kalimat-kalimat itu”. Ibn Umar berkata: “Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (1357), Al-Tirmidzi (3592), Al-Nasa’i (884) dan Ahmad (2/14).

9.   Hadits Rifa’ah bin Rafi’ .
وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ t قَالَ: كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ e فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ ( سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ: أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا».
“Rifa’ah bin Rafi’ t berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi e. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (799), Al-Nasa’i (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340) dan Ibn Khuzaimah (614).

Faedah Hadits: 
 Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi e, yaitu menambah bacaan dzikir dalam iftitah dan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi e membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan. Karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal dan iftitah itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu Al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan dalam Fath Al-Bari, bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi e), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.



C.  Bid’ah Hasanah Setelah Rasulullah  Wafat
1.    Penghimpunan Al-Quran Dalam Mushhaf.
جَاءَ سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ t إِلَى سَيِّدِنَا أَبِيْ بَكْرٍ t يَقُوْلُ لَهُ: يَا خَلِيْفَةَ رَسُوْلِ اللهِ e أَرَى الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ فِي الْقُرَّاءِ فَلَوْ جَمَعْتَ الْقُرْآنَ فِي مُصْحَفٍ فَيَقُوْلُ الْخَلِيْفَةُ: كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ e ؟ فَيَقُوْلُ عُمَرُ: إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلْ بِهِ حَتَّى قَبِلَ فَيَبْعَثَانِ إِلَى زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ t فَيَقُوْلاَنِ لَهُ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ: كَيْفَ تَفْعَلاَنِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ e ؟ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ : إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ فَلاَ يَزَالاَنِ بِهِ حَتَّى شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ كَمَا شَرَحَ صَدْرَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا.
“Sayidina Umar t mendatangi Khalifah Abu Bakar t dan berkata: “Wahai Khalifah Rasulullah e, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal Al-Quran, bagaimana kalau Anda menghimpun Al-Quran dalam satu Mushhaf?” Khalifah menjawab: “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah e?” Umar berkata: “Demi Allah, ini baik”. Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit ra, dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid. Ia menjawab: “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah e?” Keduanya menjawab: “Demi Allah, ini baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar dalam rencana ini”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (4679), Al-Tirmidzi (3103), Ahmad (1/10) dan Al-Nasa’i dalam Fadha’il Al-Qur’an (20).
Faedah Hadits: Umar mengusulkan penghimpunan Al-Quran dalam satu Mushhaf. Abu Bakar mengatakan, bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah e. Tetapi Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah e. Dengan demikian, tindakan beliau ini tergolong bid’ah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun Al-Quran dalam satu mushhaf hukumnya wajib, meskipun termasuk bid’ah, agar Al-Quran tetap terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan Al-Quran ini tergolong bid’ah hasanah yang wajibah.

2.   Shalat Tarawih.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلِىَ الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t : إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلىَ قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ والَّتِيْ ناَمُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
“Abdurrahman bin Abd Al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin Al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar t berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada satu imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripa di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2010) dan Malik (1/114).
Faedah Hadits: Rasulullah e tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Dan tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar t. Kemudian Umar t mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Dan pada hakekatnya, apa yang beliau lakukan ini termasuk sunnah, karena Rasulullah e telah bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ e: «فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ».
“Rasulullah e bersabda: “Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk”.

3.   Adzan Jum’at.
وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ e وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ t وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ.
“Al-Sa’ib bin Yazid t berkata: “Pada masa Rasulullah e, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (912), Abu Dawud (1089), Al-Tirmidzi (516), Al-Nasa’i (1391), Ibn Majah (1135), Ahmad ( 3/449) dan Ibn Khuzaimah (1773).
Faedah Hadits: Pada masa Rasulullah e, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadits ke atas mimbar. Dan semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Dan benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.

4.   Shalat Sunnah Sebelum Shalat ‘Id Dan Sesudahnya.
عَنِ الْوَلِيْدِ بْنِ سَرِيْعٍ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلِي بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ t فِي يَوْمِ عِيْدٍ فَسَأَلَهُ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالُوْا : يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَا تَقُوْلُ فِي الصَّلاةِ يَوْمَ الْعِيْدِ قَبْلَ الصَّلاةِ وَبَعْدَها ؟ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئًا ثُمَّ جَاءَ قَوْمٌ فَسَأَلُوْا كَمَا سَأَلُوْهُ - الَّذِيْنَ كَانُوْا قَبْلَهُمْ - فَمَا رَدَّ عَلَيْهِمْ فَلَمَّا انْتَهَيْنَا إِلَى الصَّلاةِ وَصَلَّى بِالنَّاسِ فَكَبَّرَ سَبْعًا وَخَمْسًا ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ نَزَلَ فَرَكِبَ فَقَالُوْا : يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ هَؤُلاَءِ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ ؟ قَالَ : فَمَا عَسَيْتُ أَنْ أَصْنَعَ سَأَلْتُمُوْنِيْ عَنِ السُّنَّةِ ؟ إِنَّ النَّبِيَّ e لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا فَمَنْ شَاءَ فَعَلَ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ أَتَرَوْنِيْ أَمْنَعُ قَوْمًا يُصَلُّوْنَ فَأَكُوْنَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ مَنَعَ عَبْدًا إِذَا صَلَّى.
 “Al-Walid bin Sari’ berkata: “Pada suatu hari raya, kami keluar bersama Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib t. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau menanyakannya tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat ’id dan sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang menanyakan hal yang sama pada beliau. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh kali, kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya: “Hai Amirul Mu’minin, mereka melakukan shalat sunnah sesudah shalat ’id!” Beliau menjawab: “Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi e belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan sesudahnya. Tetapi siapa yang mau melakukan, lakukanlah, dan siapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang yang mau shalat, agar tidak termasuk “orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Al-Musnad. (Lihat: Al-Hafizh Al-Haitsami, Majma’ Al-Zawaid (2/438).
Faedah Hadits: Rasulullah e tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib t, dan ternyata beliau membiarkan dan tidak menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk bid’ah hasanah, siapa saja boleh melakukannya. Di sini, Sayidina Ali bin Abi Thalib, salah satu Khulafaur Rasyidin, memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah e belum tentu salah dan tercela. Tentu saja, pemahaman beliau lebih tepat daripada pemahaman orang-orang seperti Ibn Baz, Al-‘Utsaimin, Al-Albani dan Mahrus Ali yang melarang membaca Shalawat Fatih, Nariyah, Thibbul Qulub dan lain-lain.

5.   Hadits Talbiyah.
Abdullah bin Umar t meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah e ketika menunaikan ibadah haji adalah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لكَ.
Tetapi Abdullah bin Umar t sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Hadits tentang doa talbiyah Nabi e dan tambahan Ibn Umar ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Dan menurut Ibn Umar, Sayidina Umar t juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi e dengan kalimat:
لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ.
Dalam riwayat Abu Dawud (1813) dengan sanad yang shahih, Ahmad (3/320) dan Ibn Khuzaimah (2626), sebagian orang menambah bacaan talbiyah-nya dengan kalimat:
( ذَا الْمَعَارِجِ ).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Al-Mathalib Al-‘Aliyah meriwayatkan bahwa, Sayidina Anas bin Malik t, dalam talbiyah-nya menambah kalimat:
لَبَّيْكَ حَقًّا حَقًّا تَعَبُّدًا وَرِقًّا.
Faedah Hadits: Menurut Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari, hadits-hadits talbiyah yang beragam dari para sahabat, menunjukkan bolehnya menambah bacaan dzikir dalam tasyahhud, talbiyah dan lain-lainnya terhadap dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi e). Karena Nabi e sendiri telah mendengar tambahan para sahabat dalam talbiyah, dan membiarkannya. Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat melakukan tambahan pula, seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud, Hasan bin Ali, Anas dan lain-lain y. Kebolehan menambah dzikir baru terhadap dzikir yang ma’tsur ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahkan bisa dikatakan ijma’ ulama.

D. Bid’ah Hasanah Setelah Generasi Sahabat
Setelah generasi sahabat punah, dari waktu ke waktu kaum Muslimin juga masih melakukan kreasi-kreasi yang diperlukan dan dibutuhkan oleh umat, sesuai dengan perkembangan zaman yang harus diikuti dengan kecekatan dalam bertindak. Beberapa kreasi kaum Muslimin setelah generasi sahabat dan kemudian diakui sebagai bid’ah hasanah, adalah seperti berikut ini.

1.    Pemberian Titik Dalam Penulisan Mushhaf.
Pada masa Rasulullah e, penulisan Mushhaf Al-Quran yang dilakukan oleh para sahabat tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya seperti ba’, ta’ dan lain-lainnya. Bahkan ketika Khalifah Utsman menyalin Mushhaf menjadi 6 salinan, yang 5 salinan dikirimnya ke berbagai kota negara Islam seperti Basrah, Mekah dan lain-lain, dan satu salinan untuk beliau pribadi, dalam rangka penyatuan bacaan kaum Muslimin, yang dihukumi bid’ah hasanah wajibah oleh seluruh ulama, juga tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya. Pemberian titik pada Mushhaf Al-Quran baru dimulai oleh seorang ulama tabi’in, Yahya bin Ya’mar. Al-Imam Ibn Abi Dawud Al-Sijistani meriwayatkan:
عَنْ هَارُوْنَ بْنِ مُوْسَى قَالَ: أَوَّلُ مَنْ نَقَّطَ الْمَصَاحِفَ يَحْيَى بْنُ يَعْمَرَ.
“Harun bin Musa berkata: “Orang yang pertama kali memberi titik pada Mushhaf adalah Yahya bin Ya’mar”. (Al-Mashahif, hal. 158).
Setelah beliau memberikan titik pada Mushhaf, para ulama tidak menolaknya, meskipun Nabi e belum pernah memerintahkan pemberian titik pada Mushhaf.

2.   Perayaan Maulid Nabi.
Perayaan hari kelahiran (maulid) Nabi e baru terjadi pada permulaan abad keenam Hijriah. Para sejarawan sepakat bahwa yang pertama kali mengadakannya adalah Raja Irbil di Iraq, yang dikenal alim, bertakwa dan pemberani, yaitu Raja Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kukuburi bin Zainuddin Ali Buktikin. Para ulama dari kalangan shufi, fuqaha dan ahli hadits menilai perayaan maulid ini termasuk bid’ah hasanah, yang dapat memberikan pahala bagi yang melakukannya. Di antara ulama yang menilai perayaan maulid sebagai bid’ah hasanah adalah Al-Hafizh Ibn Al-Jauzi Al-Hanbali, Al-Hafizh Ibn Dihyah, Al-Hafizh Abu Syamah (guru Al-Imam Al-Nawawi), Al-Hafizh Ibn Katsir, Al-Hafizh Ibn Rajab Al-Hanbali, Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan pernyataan Mahrus Ali dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” (hal. 110):
“Tiada ajaran dalam Islam untuk memperingati hari kelahiran guru, Nabi e dan lain-lain”.
Tentu saja pandangan Mahrus Ali ini yang mengikuti para jagoan tahrif terhadap nushush seperti Ibn Baz, Al-‘Utsaimin, Al-Albani dan lain-lain, terlalu prematur dan berangkat dari paradigma sempit dalam memahami ajaran agama. Setidaknya ada beberapa nilai positif yang membenarkan perayaan maulid Nabi e. Allah I berfirman:

Artinya :“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’ : 107)
Dan Rasulullah e telah bersabda:
إِنَّمَا أنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ.
Artinya “Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan”. (Al-Albani, Shahih Al-Jami’ Al-Shaghir).
Dengan demikian Rasulullah e adalah al-rahmat al-‘uzhma (rahmat yang paling agung) bagi umat manusia. Sedangkan Allah telah merestui kita untuk merayakan lahirnya rahmat itu. Dalam hal ini Allah I berfirman:

Artinya “Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (QS. Yunus : 58).
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Dengan karunia Allah (yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad e), hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (Al-Hafizh Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, 2/308).
Allah I juga berfirman:

Artinya “Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian kisah-kisah para rasul dalam Al-Quran adalah untuk meneguhkan hati Nabi e. Dan tentu saja kita yang dha’if dewasa ini lebih membutuhkan peneguhan hati daripada beliau e, melalui penyajian sirah dan biografi beliau e.
Sisi lain dari perayaan maulid Nabi e adalah, mendorong kita untuk memperbanyak shalawat dan salam kepada beliau sesuai dengan firman Allah:

Artinya “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah ditetapkan, bahwa sarana yang dapat mengantar pada anjuran agama, juga dianjurkan sebagaimana diakui oleh Al-‘Utsaimin dalam Al-Ibda’ (hal. 18). Sehingga perayaan maulid menjadi dianjurkan.
Allah I juga berfirman:

Artinya “Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. (QS. Al-Ma’idah : 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya hidangan dianggap sebagai hari raya bagi orang-orang yang bersama Nabi Isa u dan orang-orang yang datang sesudah beliau di bumi agar mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja lahirnya Rasulullah e sebagai al-rahmat al-‘uzhma lebih layak kita rayakan dengan penuh suka cita daripada hidangan itu. Ibn Taimiyah mengatakan:
فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ، وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ e كَمَا قَدَّمْتُهُ لَكَ، ا.هـ (ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم، ص/297).
“Mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai hari raya setiap musim, dilakukan oleh sebagian orang, dan ia akan memperoleh pahala yang sangat besar dengan melakukannya karena niatnya yang baik dan karena mengagungkan Rasulullah e sebagaimana telah aku sampaikan.” (Ibn Taimiyah, Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim, hal. 297).
Toh pada akhirnya, kaum Wahhabi yang mengharamkan perayaan maulid Nabi e, melakukan sesuatu yang kontraproduktif dengan ideologi mereka. Pada saat mereka mengharamkan dan menilai syirik perayaan maulid Nabi e, mereka justru merayakan haul guru mereka, Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri ajaran Wahhabi, dalam suatu acara tahunan selama satu pekan yang mereka namakan Usbu’ Al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab). Selama sepekan, secara bergantian, ulama-ulama Wahhabi akan mengupas secara panjang lebar, tentang berbagai aspek menyangkut Muhammad bin Abdul Wahhab, dan kemudian mereka terbitkan dalam bentuk jurnal ilmiah. Kata pepatah, al-mubthil mutanaqidh (orang yang berpaham batil, pasti kontradiksi).
Di sisi lain, pada saat Ibn Baz bersama koleganya dalam Komisi Tetap Fatwa Wahhabi Saudi Arabia, mengeluarkan hukum bid’ah perayaan maulid Nabi e, mereka justru membolehkan perayaan hari nasional Saudi Arabia, sebagai legitimasi hukum Wahhabi (bukan hukum Islam) terhadap kepentingan penguasa Wahhabi di Saudi. (Lihat; Fatawa Al-Lajnah Al-Da’imah, 3/88-89).

3.   Penulisan (e) ketika menulis nama Nabi e.
Di antara bid’ah hasanah yang disepakati oleh kaum Muslimin, bahkan oleh kaum Wahhabi sendiri, adalah penulisan (e) ketika menulis nama Nabi e dalam kitab-kitab dan surat menyurat. Dan hal ini belum pernah dilakukan pada masa Nabi e dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan kepala suku Arab. Dalam surat-surat yang beliau kirimkan pada waktu itu hanya ditulis, “Dari Muhammad Rasulullah kepada si fulan”.

4.   Bid’ah Hasanah Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama mujtahid yang mengakui bid’ah hasanah. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan fatwa beliau kepada muridnya. Al-Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi – hafizh dan faqih bermadzhab Hanbali - meriwayatkan dalam kitab Al-Mughni (1/802):
قَالَ الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ فَقُلْتُ: أَخْتِمُ الْقُرْآنَ؛ أَجْعَلُهُ فِي الْوِتْرِ أَوْ فِي التَّرَاوِيْحِ؟ قَالَ: اجْعَلْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ حَتَّى يَكُوْنَ لَنَا دُعَاءٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ. قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ وَادْعُ بِنَا وَنَحْنُ فِي الصَّلاةِ وَأَطِلِ الْقِيَامَ. قُلْتُ: بِمَ أَدْعُوْ؟ قَالَ: بِمَا شِئْتَ. قَالَ: فَفَعَلْتُ بِمَا أَمَرَنِيْ وَهُوَ خَلْفِيْ يَدْعُوْ قَائِماً وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ. قَالَ حَنْبَلٌ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُوْلُ فِي خَتْمِ الْقُرْآنِ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْ قِرَاءَةِ: قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ فِي الدُّعَاءِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. قُلْتُ: إِلَى أَيِّ شَيْءٍ تَذْهَبُ فِيْ هَذَا؟ قَالَ: رَأَيْتُ أَهْلَ مَكَّةَ يَفْعَلُوْنَهُ، وَكَانَ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ يَفْعَلُهُ مَعَهُمْ بِمَكَّةَ. انتهى.
“Al-Fahdhl bin Ziyah berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal: “Aku akan mengkhatamkan Al-Quran, aku baca dalam shalat witir atau tarawih?” Ahmad menjawab: “Baca dalam tarawih sehingga kita dapat berdoa antara dua rakaat.” Aku bertanya: “Bagaimana caranya?” Ia menjawab: “Bila kamu selesai dari akhir Al-Quran, angkatlah kedua tanganmu sebelum ruku’, berdoalah bersama kami dalam shalat, dan perpanjang berdirinya.” Aku bertanya: “Doa apa yang akan aku baca?” Ia menjawab: “Semaumu.” Al-Fahdl berkata: “Lalu aku lakukan apa yang ia sarankan, sedangkan ia berdoa sambil berdiri di belakangku dan mengangkat kedua tangannya.”
Hanbal berkata: “Aku mendengar Ahmad berkata mengenai khotmil Qur’an: “Bila kamu selesai membaca Qul ‘audzu birabbinnas, maka angkatlah kedua tanganmu dalam doa sebelum ruku’.” Lalu aku bertanya: “Apa dasar Anda dalam hal ini?” Ia menjawab: “Aku melihat penduduk Mekah melakukannya, dan Sufyan bin ‘Uyainah melakukannya bersama mereka.” (Lihat pula, Ibn Al-Qayyim, Jala’ Al-Afham, hal. 226).
Komentar: Apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal ini belum pernah dilakukan oleh Nabi e. Bahkan beliau meninggalkannya. Karena andai hal ini dilakukan oleh Nabi e, tentu para sahabat akan menyampaikannya kepada kita. Dan tentu saja apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal ini tergolong bid’ah hasanah. Beliau melakukan dan menfatwakannya kepada muridnya. Dan sebelumnya hal ini telah dilakukan oleh Sufyan bin Uyainah bersama penduduk Mekkah, tanpa ada dalil khusus dari Al-Quran dan Sunnah sebagai landasan mereka. Beliau memahami, bahwa kaedah-kaedah syariat dapat menerima cara seperti itu dalam konteks yang fleksibel.

5.   Bid’ah Hasanah Ibn Taimiyah Dalam Berdzikir.
Sementara ini, apabila kita membicarakan bid’ah bersama orang-orang Wahhabi seperti Ibn Baz, Al-‘Utsaimin dan Al-Albani yang dikagumi Ustadz Mahrus Ali, nama Ibn Taimiyah akan menjadi satu-satunya figur ideal yang bersih dan steril dari bid’ah. Ibn Taimiyah sendiri dalam kitabnya Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim, mencela para ulama yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Tetapi idealisme ini akan runtuh manakala mereka membaca biografi Ibn Taimiyah yang ditulis oleh muridnya yang mengaku bernama Umar bin Ali Al-Bazzar dalam Al-A’lam Al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلىَ الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلالِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ  إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلازِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ َحتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلىَ تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فرَأَىَ t أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، ا.هـ
“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia memuji kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi e Allahumma antassalam . . . Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi e, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah I untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya hingga Matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca Al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang Al-Fatihah sejak selesai shalat shubuh hingga Matahari naik. Dalam hal itu aku merenung. Mengapa ia hanya rutin membaca Al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya aku tahu – wallahu a’lam -, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi e daripada membaca Al-Quran, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang Al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” 

Komentar
Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga NU. Ia selalu menatapkan matanya ke langit. Sehabis itu, ia membaca surat Al-Fatihah hingga Matahari naik ke atas. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini murni bid’ah dari dirinya. Ia menetapkan satu bacaan secara khusus, yaitu surah Al-Fatihah, tanpa ada dalil dari Nabi e. Dan ia membacanya secara rutin pula setiap selesai shalat shubuh hingga Matahari naik tanpa ada nash dari Nabi e. Toh, walaupun apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini tidak memiliki dalil, kecuali hasil ijtihadnya sendiri, ia masih berhak mendapat poin penghargaan dari pendukung fanatiknya, Umar bin Ali Al-Bazzar dan orang-orang Wahhabi, bahwa hal itu sebagai bukti kekuatan kecerdasan Ibn Taimiyah dan pandangan hatinya yang jitu. Di sini kita bertanya-tanya, mengapa Ibn Taimiyah selalu mendapat bonus pujian dari mereka, meskipun melakukan sesuatu tanpa ada dasarnya secara khusus, sementara orang lain akan dikritik bid’ah, syirik dan sesat, manakala rutin mengamalkan shalawat, tahlil, maulid dan lain-lain.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar