Konsep Dasar
Ilmu Tashawuf Nazdliyah
A. Pendahuluan
Secara etimologis, kata tashawwuf, sering diartikan dan dinisbah
terhadap akar kata shuf (baju wol), sehingga memiliki arti “memakai baju
wol”. Seperti halnya kata taqammush yang berarti memakai baju kemeja,
nisbah terhadap akar kata qamish (baju kemeja). Dari sini, secara
sepintas agaknya dapat disimpulkan bahwa tashawuf berhubungan erat dengan
penampilan, mode dan formalitas, yaitu memakai baju wol. Namun demikian, dalam
tataran realitas, tashawuf tidak berkaitan dengan penampilan, mode dan
formalitas. Kata tashawuf, yang semula membawa arti penampilan, mode dan
formalitas, yaitu memakai baju wol, kini telah mengalami perkembangan dan
perubahan, sebagai nama bagi sebuah prinsip kehidupan yang menjauhkan diri dari
keduniaan. Tashawuf telah menjadi tanda bagi mereka yang menekuni kezuhudan dan
ibadah. Tashawuf telah menjadi nama bagi mereka yang menjauhkan dirinya dari
gemerlapnya duniawi.
Secara terminologis,
ada sekitar 1000 macam definisi tashawuf yang berlaku di dunia shufi. Akan
tetapi dari sekian banyak definisi, hanya beberapa definisi saja yang dapat
mewakili definisi tashawuf secara utuh. Di antaranya adalah definisi Abu Sa’id
Al-Kharraz (w. 268 H/980 M). Ketika ditanya tentang definisi seorang shufi, ia
menjawab: “Orang yang disucikan hatinya
oleh Allah, sehingga hatinya penuh dengan cahaya, dan orang yang memasuki
hakikat kelezatan dengan berzikir kepada Allah.”
Dan apabila diperhatikan, beberapa pandangan para
ahli substansi dari semua pandangan para ahli tersebut konotasinya mengarah
terhadap sarana (wasilah), yang pada akhirnya akan membawa pada kesucian
(shafa’). Dan apabila kesucian telah berada pada diri seseorang, maka
berarti ia telah memiliki kesiapan sempurna untuk menerima musyahadah,
sehingga kemurahan Allah-lah nantinya yang akan menentukan, memberi atau tidak.
Dan musyahadah ini adalah derajat makrifat paling tinggi. Puncak
tertinggi yang dicari oleh mereka yang memiliki kesadaran luar biasa, memiliki
fitrah malaikati dan kepribadian rabbani. Dengan demikian, tashawuf
adalah makrifat. Dan makrifat tertinggi di bawah derajat kenabian adalah
musyahadah. Dan tashawuf adalah jalan menuju musyahadah.[1]
B. Istilah
Shufi
Menurut sejarawan Ibn Khaldun (732-784 H/1332-1382
M), istilah shufi dan tashawuf belum dikenal secara luas di kalangan masyarakat
pada abad pertama H. Istilah shufi dan tashawuf baru dikenal secara luas sejak
abad ke-2 H.[2] Pada masa Rasulullah saw. sendiri tidak
seorang pun dari sahabat beliau yang menyandang gelar shufi. Nama shufi memang
tidak menjadi julukan seorang pun dari sahabat. Karena persahabatan dengan
Rasulullah saw. memiliki kehormatan yang istimewa. Karenanya tidak boleh
memberi suatu gelar kepada mereka yang kesannya lebih istimewa daripada gelar
sahabat. Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa para sahabat adalah teladan kaum
shufi dalam hal kezuhudan, ibadah, tawakal, fakir, rida, kesabaran dan ketaatan
kepada Allah. Mereka memperoleh semua itu karena barokah persahabatan mereka
dengan Rasul saw.
Namun demikian, bukan berarti istilah shufi belum
pernah dikenal sejak permulaan Islam. Bahkan ada indikasi bahwa istilah shufi
telah dikenal sejak paruh kedua abad pertama H. Pada masa Al-Hasan Al-Bashri
(21-110 H/642-729 M), istilah shufi telah dikenal di kalangan masyarakat.
Al-Hasan Al-Bashri telah mengikuti masa sekian banyak sahabat Nabi saw. Dalam
satu riwayat, Al-Hasan berkata: “Aku pernah melihat seorang shufi bertawaf di
Baitullah. Lalu aku memberinya sesuatu, tetapi ia menolak untuk mengambilnya
dan berkata: “Aku memiliki 4 Daniq, yang cukup buat keperluanku.”[3]
Bahkan dalam riwayat lain, ada indikasi bahwa
istilah shufi telah dikenal sejak paruh pertama abad pertama H. Sejarawan Abu
Mikhnaf Luth ibn Yahya Al-Kufi telah meriwayatkan dari Urwah ibn Al-Zubair
(13-94 H/634-713 M), bahwa seorang lelaki dari suku Udzrah telah mengajukan
pengaduan kepada Khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, tentang ulah Gubernurnya,
Ibn Ummi Al-Hakam, yang memaksa lelaki itu untuk menceraikan istrinya. Sang
Gubernur, Ibn Ummi Al-Hakam, tertarik untuk menikahi istri lelaki itu, karena
parasnya yang cantik. Lalu Mu’awiyah mengirim surat teguran kepada Ibn Ummi
Al-Hakam, yang di antara isinya berupa bait syait: Engkau tak ubahnya
seorang shufi yang memiliki banyak ajaranDari sekian kewajiban atau ayat-ayat
Al-Qur’an[4]
Dalam konteks keilmuan, istilah shufi telah
digunakan oleh kalangan shufi sejak paruh pertama abad ke-2 H. Hal ini
setidaknya dapat diketahui dengan memperhatikan riwayat Al-Hafizh Abu Nu’aim
Al-Ashfahani (336-430 H/948-1038 M) dari Imam Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq
(80-148 H/699-765 M) – radhiyallahu ‘anhu – yang pernah berkata:
“Barangsiapa menjalani kehidupan Rasul saw. secara lahir, maka ia seorang
sunni. Dan barangsiapa menjalani kehidupan Rasul saw. secara batin, maka ia
seorang shufi.”[5]
Al-Sarraj juga meriwayatkan dari seorang tokoh
shufi, murid Al-Hasan Al-Bashri, yaitu Abdul Wahid ibn Zaid (w. 177 H/793 M),
yang pernah ditanya: “Siapakah shufi itu menurut Anda?” Ia menjawab: “Orang
yang memfungsikan akal untuk cita-cita, menekuni cita-cita dengan hati, dan
berlindung kepada Tuhan dari keburukan hawa nafsu.”[6]
C. Bid’ah
Tashawuf
Berbagai pertanyaan, yang pada hakikatnya gugatan,
terhadap dunia shufi dan tashawuf hingga kini masih terus berlangsung, dan
agaknya tidak akan berhenti. Di antara pertanyaan yang seringkali diarahkan
terhadap tashawuf adalah: “Bukankah dalam ajaran Al-Quran, hadits-hadits dan
sirah Rasul saw. sendiri, terdapat sekian banyak macam pendidikan dan aneka
ragam ibadah yang dapat menyucikan jiwa, membersihkan hati, memperbaiki akhlak,
mengantarkan hamba kepada Tuhan dan memberi rasa kesejukan (uns) bersama
Tuhan, lalu mengapa masih membutuhkan ilmu tashawuf, bukankah dengan demikian
tashawuf adalah sisipan (bid’ah) terhadap Islam dan bukan termasuk
bagian dari Islam?” Demikian gugatan yang tidak jarang kita dengar dari
sementara kalangan.
Sebenarnya apabila gugatan di atas ini dibenarkan,
maka gugatan yang sama haruslah diarahkan terhadap seluruh bidang studi ilmu
keislaman termasuk ilmu Al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain.
Bukankah pada masa Rasulullah saw. dan masa sahabat belum pernah dikenal
istilah nasikh, mansukh, muhkam, mutasyabih dan lain-lain yang menjadi
istilah dalam ilmu tafsir Al-Quran. Belum pernah pula dikenal istilah qiyas,
istihsan, mu’aradhah, munaqadhah, thardu, syarath, sabab, ‘illat dan
lain-lain yang menjadi istilah dalam ilmu fiqih. Belum pernah pula dikenal
istilah jarh, ta’dil, ahad, mutawatir, masyhur, shahih, hasan,
dha’if, gharib dan lain-lain yang menjadi istilah dalam ilmu hadits. Belum
pernah pula dikenal jenjang pendidikan tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat
atas dan perguruan tinggi, berikut gelar-gelar kesarjanaan seperti lc.,
magister dan doctor. Belum pernah dikenal pula ujian dengan pengajuan paper,
skripsi, tesis dan disertasi. Apakah dengan demikian semua ini harus ditolak
dan kita anggap sebagai bid’ah dhalalah? Pertanyaan ini kita jawab
dengan tegas, bahwa semuanya bukan
termasuk bid’ah dhalalah, termasuk pula ilmu tashawuf.
“Ilmu
tashawuf dan isyarat serta hakikat-hakikat dan hal-hal yang mendetail yang
dimiliki oleh Ahlussunnah Wal-Jama’ah, tidak dimiliki sedikit pun oleh kalangan
Ahlulbid’ah. Kalangan Ahlulbid’ah terhalang dari menerima faedah tashawuf
seperti ketenangan, halawah, sakinah, dan thuma’ninah.
Abu Abdirrahman Al-Sulami telah menyebutkan di
antara guru-guru kaum shufi hampir seribu orang. Ia telah menghimpun
isyarat-isyarat dan hadits-hadits mereka. Secara umum di kalangan mereka tidak
ditemukan seorang yang dinisbahkan terhadap bagian dari kelompok Qadariyah,
Rafidhah dan Khawarij.”[7]
D. Tashawuf
Dan Kehidupan
Allah menciptakan manusia untuk memikul tugas
kekhalifahan di bumi. Tugas kekhalifahan yang harus disertai dengan nilai-nilai
penghambaan (‘ubudiyyah) diri kepada Allah, sehingga dapat mengantarkan
dirinya kepada-Nya. Dan manusia tidak akan dapat sampai kepada Allah tanpa
penghambaan diri yang murni dan tulus kepada Allah.
Rasulullah saw. telah merealisasikan penghambaan
dirinya kepada Allah secara sempurna dan paripurna. Ia telah merealisasikannya
pada puncak yang tidak dapat dilakukan oleh selainnya, sehingga shalatnya,
ibadahnya, hidup dan matinya, hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. “Katakanlah
(hai Muhammad): “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am : 162). Rasulullah saw.
telah merealisasikan penghambaan dirinya kepada Allah dengan memadai dan
sempurna, sehingga Allah memberinya kemuliaan duniawi dan ukhrawi.
Dan apabila diamati, kehidupan kaum shufi hanya
berusaha mengikuti dan meneladani Rasulullah saw. dalam langkah dan perjalanan
hidupnya semaksimal mungkin. Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (539-632 H/1144-1234 M)
memberikan penjelasan tentang hakikat shufi dan tashawuf:
“Shufi adalah orang yang selalu membersihkan diri.
Ia selalu membersikan waktunya dari campuran noda dengan membersihkan hati dari
tipu daya hawa nafsu. Dalam membersihkan diri, ia akan dibantu oleh
kefakirannya yang terus menerus kepada Allah. Dengan kefakirannya yang terus
menerus kepada Allah, ia akan bersih dari noda. Dan setiap kali hawa nafsunya
bergerak dan tampil dengan salah satu sifatnya, ia akan dapat menangkapnya
dengan pandangan hatinya (bashirah) yang tembus dan ia akan segera lari
kepada Tuhannya.
Kaum shufi telah mengikat dirinya dengan
meneladani Rasulullah saw., baik dalam hal yang kecil maupun dalam hal yang
besar.[8] Beberapa bahasan berikut ini akan
menguraikan mujahadah kaum shufi dalam meneladani Rasulullah saw. dalam segala
hal.
E. Tashawuf
Dan Ilmu Pengetahuan
Membicarakan ilmu pengetahuan dan kaum shufi,
berarti membicarakan tokoh-tokoh puncak dalam dunia ilmu pengetahuan. Kaum
shufi telah memberikan kontribusi yang paling besar dalam dunia ilmu
pengetahuan Islam, dalam pelbagai cabang disiplin ilmu agama; ilmu fiqih,
tafsir, hadits, akhlak dan lain-lainnya. Misalnya kita perhatikan tokoh pertama
dalam dunia shufi yang diakui oleh seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yaitu
Al-Junaid Al-Baghdadi, yang memiliki penguasaan cemerlang terhadap seluruh
bidang studi ilmu keislaman, berdasarkan kesaksian Al-Hafizh Ibn Katsir, pakar
tafsir, hadits dan sejarah. Dalam tarikhnya, Al-Bidayah wa Al-Nihayah,
Ibn Katsir berkata:
“Al-Junaid ibn Muhammad, dilahirkan dan tumbuh di
kota Baghdad. Ia belajar hadits kepada Husain ibn ‘Arafah, dan menekuni bidang
studi fiqih kepada Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid Al-Kalbi (w. 240 H/854 M), dan
ia telah mampu berfatwa di hadapan Abu Tsaur dalam usianya yang masih 20 tahun.
Ia dikenal belajar kepada Al-Harits Al-Muhasibi (165-243 H/781-856 M) dan Sari
Al-Saqathi (w. 253 H/867 M) – pamannya dari pihak ibu. Ia menekuni ibadah
sehingga dengan sebab itu Allah membukakan kepadanya sekian banyak macam ilmu
pengetahuan. Dan ia berbicara tentang ilmu kaum shufi. Selama 40 tahun ia tidak
pernah tidur karena beribadah, sehingga Allah membukakan kepadanya sekian
banyak ilmu dan amal saleh yang belum pernah dicapai oleh selainnya. Ia
menguasai semua bidang studi ilmu pengetahuan. Dan apabila ia membicarakan satu
bidang studi ilmu pengetahuan, ia tidak pernah terputus dan tergelincir dalam
pembicaraan. Dan terkadang dalam satu masalah, ia dapat memaparkan sekian
banyak pandangan yang belum pernah terlintas dalam pikiran para ulama.”[9]
Sekarang kita beralih kepada tokoh kedua dalam
dunia shufi kaum sunni, yaitu Hujjatul-Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Imam
Muhyiddin Ibn ‘Arabi Al-Hatimi Al-Tha`i (570-638 H/1165-1240 M), seringkali
memuji keluasan ilmu Hujjatul-Islam Al-Ghazali, yang dalam karyanya, Ihya’
‘Ulum Al-Din, menghimpun 40 bagian. Masing-masing bagian memiliki
independensi dan obyektifitasnya sendiri, dan dari kesemuanya tersusun dengan
rapi dan sempurna, karya paling monumental dalam bidang tashawuf, Ihya’
‘Ulum Al-Din.
Dan di bawah pena Al-Ghazali, para pemikir
filsafat kenamaan, runtuh dengan sangat mudah dan gampang. Mereka berjatuhan
dan runtuh tidak berdaya di bawah serangan karya Al-Ghazali yang monumental, Tahafut
Al-Falasifah (keruntuhan para filosof). Al-Ghazali telah berhasil
memadamkan bid’ah filsafat yang mempermainkan Islam di Timur.[10]
Sementara karya Al-Ghazali dalam bidang ushul
fiqih, yang berjudul Al-Mustashfa fi ‘Ilm Al-Ushul, telah menjadi
rujukan utama para pakar ushul fiqih dalam tiga mazhab: Syafi’i, Maliki dan
Hanbali. Karenanya, ketika Syaikh Abdul Qadir Badran Al-Hanbali – faqih
Hanbali kontemporer dari Syria – diminta untuk menulis syarh (komentar)
terhadap kitab Rawdhat Al-Nazhir, karya ushul fiqih Hanbali dalam bentuk
prosa yang ditulis oleh Ibn Qudamah Al-Maqdisi, Abdul Qadir Badran merasa
kesulitan untuk memenuhinya. Ia baru dapat menulis syarh terhadap kitab
tersebut dengan mudah, setelah memperoleh kitab Al-Mustashfa, sumber
asli dari kitab Rawdhat Al-Nazhir.
Kiranya pakar hadits di atas, cukup sebagai bukti
bahwa dalam bidang studi ilmu hadits, kaum shufi memiliki peran yang sangat
penting. Dan apabila kita membaca lebih banyak lagi biografi para hafizh,
yang dicatat oleh Al-Hafizh Al-Dzahabi dan Al-Hafizh Ibn Katsir dalam Al-Bidayah
wa Al-Nihayah, kita akan mendapati sekian banyak hafizh dan muhaddits
yang berlatar belakang shufi dan telah berperan besar dalam melahirkan para hafizh
terkemuka seperti Al-Hakim, Al-Daraquthni, Abu Nu’aim, Al-Khathib Al-Baghdadi,
Al-Baihaqi dan lain-lain.
F. Tashawuf
Dan Penyebaran Islam
Dalam hal penyebaran Islam, jasa-jasa kaum shufi
sangatlah besar. Mereka telah menyiarkan dakwah Islam ke berbagai penjuru
dunia. Dalam rangka menyebarkan dakwah Islam, kaum shufi dengan suka rela
meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka dan pergi ke daerah-daerah yang
jauh di Timur dan di Barat. Bermodalkan akhlak yang luhur dan kekeramatan yang
cemerlang, kaum shufi berhasil membuka pintu hati manusia, sehingga mereka
masuk ke dalam naungan Islam dengan berbondong-bondong.
Di antara tokoh shufi yang diakui perannya dalam
penyebaran Islam ke seantero dunia adalah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, pendiri
tarikat Qadiriyah yang menyandang gelar Sulthan Al-Awliya’. Melalui
murid-muridnya dan generasi penerus mereka yang tergabung dalam keluarga besar
tarikat Qadiriyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani telah berperan besar dalam
memelihara ruh Islam, menjaga nyala api iman dan semangat dakwah dan jihad di
jalan Allah. Pengikut Qadiriyah telah berperan besar dalam penyebaran Islam ke
daerah-daerah yang jauh, yang belum pernah dijamah oleh ekspansi militer kaum
Muslimin dan belum mampu ditundukkan ke dalam pemerintahan Islam. Melalui mereka, Islam tersebar luas di
kalangan kulit hitam Afrika, Indonesia, Cina dan India.[11]
Syaikh Muhammad Abu Zahrah (1316-1394 H/1898-1974
M) berkata: “Demikian pula tashawuf, sebagaimana dikatakan oleh Ustadz Faudah,
pada generasi belakangan ini memiliki sekian banyak keistimewaan dan jasa-jasa
yang kelihatan. Keimanan kaum Muslimin di Afrika Barat, Afrika Tengah dan
Afrika Selatan adalah salah satu dari buah tashawuf.”[12]
G.
Tashawuf dan Jihad
Jihad di jalan Allah, melawan orang-orang kafir
dan politeis, termasuk amal ibadah paling utama menurut kaum shufi. Karenanya
dari waktu ke waktu kaum shufi selalu berada di barisan terdepan di medan
jihad. Biografi para shufi penuh dengan kisah-kisah pengorbanan, heroisme dan
keberanian dalam berjihad.
Di antara tokoh shufi yang terjun ke medan jihad
di abad modern adalah Amir Abdul Qadir Al-Jazairi. Ia termasuk tokoh besar
shufi dan seorang panglima perang. Ia telah berjihad menghadapi koloni Perancis
di negerinya, Al-Jazair. Dengan keimanannya yang kokoh dan keshufiannya yang
mendalam, ia mampu melakukan hal-hal yang mengagumkan dalam keberanian dan
penyerangan. Peperangannya dimulai dengan beberapa orang anggota pasukan. Akan
tetapi keimanan dan keberanian mengalir deras pada diri mereka, sehingga
keberanian mereka tampil dalam fenomena yang paling baik. Akhirnya jumlah
mereka hari demi hari bertambah sedikit demi sedikit. Persenjataan yang mereka
gunakan, adalah hasil rampasan dari pihak musuh.[13]
Dan apabila kita menengok ke India, akan ditemukan
tokoh-tokoh shufi yang menjadi pemimpin jihad. Di antara mereka terdapat
pemimpin kaum shufi, Sayid Ahmad Al-Syahid yang gugur sebagai syahid pada
tahuan 1831 di pertempuran Balakut, India. Ketika ia menyerukan kaum Muslimin
India untuk berjihad melawan koloni Inggris, masyarakat dari berbagai lapisan
memenuhi seruannya untuk berjihad dengan bersemangat. Para petani meninggalkan
ladangnya, para pedagang menutup tokonya, dan dengan suka rela mereka
meninggalkan kampung halaman, dan mengasingkan diri dalam berjihad. Hingga
akhirnya mereka gugur sebagai syahid di lembah Balakut dalam pertempuran. Dan
sisanya kembali ke puncak-puncak gunung, membuat benteng pertahanan untuk
melanjutkan jihad.[14]
Pada tahun 1857, pemimpin kaum shufi, Al-Haj Imdadullah
dan murid-muridnya seperti Imam Al-Nanuti, Imam Al-Kunkuhi, Al-Hafizh Dhamin
Al-Syahid dan lain-lain mempermaklumkan jihad melawan koloni Inggris. Mereka
berjuang dan berjihad di jalan Allah. Akan tetapi pada akhir pertempuran,
mereka mengalami kekalahan sebab persenjataan mereka yang tidak memadai dan
akibat pengkhianatan orang-orang Hindu dan Budha. Dalam pertempuran tersebut,
sekitar 18.000 ulama shufi dibunuh dan digantung di atas tiang-tiang listrik
dan pohon-pohon yang tinggi oleh Inggris dengan bantuan orang-orang Hindu.
Selanjutnya kita menengok ke bagian Barat Islam.
Bagaimana peran para pengikut tarikat Syadziliyah dalam berjihad. Amir Syakib
Arsalan berkata: “Tarikat Syadziliyah dinisbahkan terhadap Abu Al-Hasan
Al-Syadzili. Ia termasuk tarikat
pertama yang memasukkan tashawuf ke Maroko. Dan pusatnya di Marrakusy. Di
antara tokohnya adalah Sayyidi Al-‘Arabi Al-Darqawi (w. 1823 M), - [pemimpin
tarikat Darqawiyah, cabang dari tarikat Syadziliyah] – yang berhasil
menciptakan semangat keagamaan terhadap murid-muridnya sampai ke Maroko Tengah.
Pengikut tarikat Darqawiyah memiliki peran yang efektif dalam melakukan
perlawanan terhadap koloni Perancis.”[15]
Dan agaknya perlu juga dikemukakan di sini, bahwa
di antara jasa-jasa kaum shufi yang layak diabadikan dengan tinta emas, adalah
pengabdian mereka selama 70 tahun dalam memelihara akidah kaum Muslimin di Asia
tengah, di bawah tekanan pemerintahan
komunis dan ateis, Uni Soviet. Kaum shufi telah memberikan berbagai pengorbanan
dalam upaya memelihara agama Islam di negeri-negeri Muslim yang kelam itu.
Puluhan ribu para dai telah dibantai dan disiksa oleh pemerintahan komunis.
Sementara para guru kaum shufi menggunakan strategi bersembunyi di siang hari
dari intaian para intel, dan mendirikan pusat-pusat rahasia di dalam
rumah-rumah untuk menyiarkan ajaran Islam. Dengan demikian mereka berhasil
dalam memelihara percikan cahaya Islam dan menjaga nyala api iman di hati
ratusan juta kaum Muslimin di Asia Tengah.[16]
H. Tashawuf
dan Syari’ah
Dalam kaitannya dengan syari’ah, tidak sedikit di
antara kalangan yang berupaya menyudutkan kaum shufi dan tashawuf karena
dinilai banyak melakukan penyimpangan dari syari’ah. Padahal sebenarnya
tidaklah demikian. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan fungsi tashawuf
sebagai jalan menuju makrifat kepada Allah, yang harus dilandasi oleh
konsistensi secara total terhadap syari’ah. Dalam hal ini, Al-Ghazali
mengatakan:
“Jalan menuju makrifat, adalah mendahulukan
mujahadah, atau menghapus sifat-sifat yang tercela, memutus semua ikatan-ikatan
hati dan menghadap dengan hakikat cita-cita kepada Allah SWT. Dan apabila hal
itu telah berhasil, maka Allah-lah yang akan menjadi penjaga hati hamba-Nya dan
yang menjamin meneranginya dengan cahaya-cahaya ilmu (makrifat). Dan apabila
Allah telah menjaga urusan hati, maka rahmat Allah akan meluap kepadanya,
cahaya akan menerangi hati, dada menjadi lapang, rahasia kerajaan alam malakut
menjadi tersingkap kepadanya, tirai kelalaian akan lenyap dari layar hati
dengan percikan rahmat-Nya, dan hakikat-hakikat perkara ilahi akan terang
benderang di dalamnya. Seorang hamba hanya berkeharusan menyiapkan diri, dengan
membersihkan diri secara murni, menghadirkan cita-cita yang disertai dengan
kemauan yang benar, kehausan yang sempurna dan menunggu tanpa henti terhadap
rahmat Allah yang akan dibukakan kepadanya.”
Sedangkan berkaitan dengan konsistensi terhadap
syari’ah, kaum shufi telah memberikan keputusan yang tegas, bahwa syari’ah
harus menjadi acuan kaum shufi dalam setiap langkah yang mereka jalani. Abu
Al-Hasan Al-Syadzili mengatakan: “Barangsiapa mengajak ke jalan Allah, dengan
selain apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw., pasti dia pengikut
bid’ah.”[17]
Selanjutnya, apabila kita perhatikan pernyataan
tokoh-tokoh shufi lain, kita dapati seperti apa yang telah dikemukakan oleh
Al-Syadzili tentang keharusan konsistensi terhadap syari’ah. Tuan Guru kaum
shufi, Al-Junaid Al-Baghdadi berkata: “Semua jalan menuju Allah tertutup bagi
makhluk-Nya, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasul saw.” Ia juga
berkata: “Barangsiapa yang belum
menghapal Al-Quran dan belum menulis hadits, maka ia tidak dapat dijadikan
teladan dalam bidang tashawuf, karena ilmu kami ini terikat dengan Al-Quran dan
Al-Sunnah.”
Abu Yazid Al-Bisthami (188-261 H/804-874 M)
berkata: “Apabila kalian melihat seseorang yang diberi sekian kekeramatan
sehingga dapat terbang di udara, maka janganlah tertipu dengannya, sehingga
kalian melihat terlebih dahulu bagaimana sikapnya terhadap perintah dan
larangan Allah, memelihara batasan-batasan dan menunaikan syari’ah.”[18]
Dari beberapa keterangan ini, kiranya dapat
disimpulkan bahwa tashawuf tidaklah menggugurkan seseorang dari kewajiban
syari’ah. Bahkan sebaliknya, tashawuf menolak dengan keras terhadap pandangan
yang menyatakan gugurnya kewajiban syari’ah bagi seseorang yang telah mencapai
derajat tertentu.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (471-561 H/1077-1166
M), pendiri tarikat Qadiriyah berkata: “Setiap hakikat yang tidak dilandasi Al-Sunnah,
adalah kezindikan. Terbanglah menuju Al-Haqq dengan dua sayap; Al-Quran
dan Al-Sunnah, dan masuklah kepada Al-Haqq, sedang tangganmu
dituntun oleh Rasul saw.” Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani juga menolak terhadap
mereka yang meyakini gugurnya kewajiban syari’ah terhadap seorang salik
apabila sudah mencapai ahwal tertentu. Dalam hal ini beliau berkata:
“Meninggalkan ibadah wajib adalah kezindikan. Mengerjakan larangan adalah
kemaksiatan. Kewajiban agama tidak akan gugur terhadap seseorang dalam kondisi
apa pun.”[19]
Dalam konteks yang sama Al-Ghazali juga menegaskan:
“Sesungguhnya kalangan shufi yang telah mencapai derajat hakikat berkata:
“Apabila kamu melihat seseorang yang terbang di udara dan berjalan di atas air,
padahal ia seringkali melakukan pelanggaran terhadap syari’ah, maka
sesungguhnya ia adalah setan.”
Dengan demikian jelaslah bahwa jalan menuju
ma’rifat kepada Allah adalah merealisikan penghambaan diri kepada Allah secara
murni yang termanifestasikan dalam konsistensi terhadap syari’ah secara
paripurna. Dan kaum shufi telah berusaha secara maksimal untuk mengikuti jalan
ini, sehingga mereka memetik sekian banyak buah yang sangat positif, seperti
semangat membaja dalam jihad, peran yang besar dalam penyebaran ilmu agama dan
jasa-jasa cemerlang dalam dakwah dan penyebaran Islam.[20]
I. Tashawuf
Dan Kemunduran Umat Islam
Berdasarkan pemaparan di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa kaum shufi telah memberikan kontribusi yang sangat besar
dalam rangka penyebaran Islam ke seluruh dunia, juga dalam melakukan jihad dan
menjaga perbatasan negara Islam dari serangan pihak luar. Akan tetapi, dari
waktu ke waktu tidak jarang kita dengar, pandangan yang mengatakan bahwa
tashawuflah sebenarnya penyebab utama kemunduran umat Islam hingga menjadi umat
yang terbelakang di dunia dewasa ini. Di sini kita perlu mempertanyakan:
“Benarkah pandangan tersebut?” Agaknya sulit sekali untuk menemukan bukti
kesejarahan yang dapat membenarkan anggapan tadi.
Dalam sejarah kekalahan kaum Muslimin yang diklaim
sebagai implikasi dari kemunduran umat Islam, sehingga berakibat pada penempatan
umat Islam dalam posisi bangsa-bangsa yang terbelakang di dunia dewasa ini,
setidaknya didapati tiga episode kekalahan besar: (1) jatuhnya Qudus
(Palestina) ke tangan kaum Salibis pada abad ke-5 H; (2) jatuhnya negara-negara
Muslim ke dalam cengkeraman penguasa Tartar pada abad ke-7 H; dan (3) hancurnya
khilafah Islamiyah di Turki dan jatuhnya negara-negera Muslim ke dalam
cengkeraman imperialisme Barat menjelang abad modern.
Apabila kita amati sebab-sebab terjadinya
kekalahan kaum Muslimin pada episode pertama sehingga mengantarkan pada
jatuhnya Qudus ke tangan kaum Salibis, maka akan didapati bahwa kekalahan ini
berawal dari terjadinya perpecahan kalangan keluarga penguasa Bani Saljuq. Di
sisi lain, di antara kerajaan-kerajaan Islam sendiri pada saat itu sedang
terjadi konflik militer dan persaingan yang keras dan berdarah untuk
mendominasi kursi khilafah Islamiyah di Baghdad. Konflik dan persaingan ini
sebagai akibat dari kepentingan etnis, fanatisme jahiliah dan ambisi untuk
menancapkan hegemoni, sehingga akhirnya meratakan jalan bagi jatuhnya Qudus ke
tangan asing.
Sebagian sejarawan meriwayatkan, bahwa penguasa
‘Alawiyin yang beraliran Syi’ah Isma’iliyah di Mesir yang bertanggung jawab
atas jatuhnya Qudus ke tangan asing. Karena pada saat ‘Alawiyin di Mesir
ketakutan menghadapi ancaman agresi militer Bani Saljuq di Timur yang telah
berhasil menguasai Syam, maka ‘Alawiyin mengundang negara-negara Eropa untuk
menyerang Qudus, agar dapat menghalau agresi Bani Saljuq ke Mesir, sehingga
jatuhlah Qudus ke tangan Salibis pada tahun 492 H/1095 M.[21]
Sementara pada episode kedua, di antara raja-raja
Muslim sendiri terjadi peperangan saudara, sebagai akibat dari ambisi dan
kepentingan ekspansi wilayah kekuasaan sehingga membuka pintu kehancuran dan
agresi Tartar terhadap negara-negara Muslim. Ketika peperangan berdarah dan
eskalasi permusuhan yang keras kian memuncak, antara Khalifah Al-Nashir
(553-622 H/1158-1225 M) di Baghdad dan Sultan Khawarizm-Syah di Timur yang
berambisi melakukan agresi militer ke Baghdad, maka Khalifah Al-Nashir tidak
segan-segan memprovokasi Tartar untuk melakukan aksi militer terhadap kerajaan
Khawarizm-Syah, agar dapat menggagalkan serangan mereka ke Baghdad. Di sisi
lain, tindakan ceroboh sebagian pembantu Khawarizm-Syah, juga memberi kontribusi
dalam menarik serangan Tartar ke negerinya.
Pada saat Tartar memerangi negeri-negeri Muslim
sehingga berhasil menguasai wilayah besar dalam peta dunia Islam, Khalifah
Al-Nashir di Baghdad justru diam seribu bahasa dan tenggelam dalam nafsu syahwat
dan nikmatnya para selir. Pada akhirnya, Baghdad jatuh dari tangan kaum
Muslimin, ke tangan Tartar sebagai akibat dari pengkhianatan Perdana Menteri
Syi’ah, Ibn Al-‘Alqami pada masa Khalifah Al-Musta’shim, tahun 656 H/1258 M.[22]
Selanjutnya, pada episode ketiga, raja-raja Muslim
telah mulai melepaskan nilai-nilai keagamaan yang menjadi sumber kekuatan
mereka. Budi pekerti mereka telah rusak dan mereka tenggelam dalam syahwat dan
nikmatnya para selir. Sementara darah para Gubernur dan suku-suku Arab telah dialiri
fanatisme jahiliah. Mayoritas umat Islam tenggelam dalam kelezatan yang
dilarang oleh agama dan persaingan dalam urusan dunia, sesuai dengan hadits
Rasulullah saw.: “Suatu saat nanti kamu diserang oleh para musuh dari segala
penjuru, sebagaimana beberapa orang yang makan menyerang makanan dalam satu
piring.” Kami bertanya: “Apakah karena sedikitnya kelompok kami ya Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Kamu pada saat itu banyak, akan tetapi seperti buih di
lautan. Allah mencabut rasa gentar dari hati musuh-musuh kamu, dan mencampakkan
wahan pada hati kamu.” Kami bertanya: “Apakah wahan itu ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Senang dunia dan benci kematian.”[23]
Kemudian malapetaka nasionalisme hadir di kalangan
masyarakat Arab. Lorans, seorang Yahudi mendatangi para Gubernur dan kepala
suku Arab dengan berkata: “Mengapa kalian
bangsa Arab, rela menerima Khalifah dari bangsa Ajam (Utsmaniyah di Turki)?
Kenapa bangsa asing yang menguasai negeri kalian?” Jiwa nasionalisme mulai
bangkit di kalangan masyarakat Arab pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX.
Mula-mula muncul di daerah Syria, yang meratakan jalan bagi pengusiran terhadap
pemerintahan asing (Turki). Dan anehnya, gerakan ini dipimpin oleh sebagian
orang-orang Kristen yang tidak memiliki ikatan akidah dan agama dengan penguasa
Turki yang Muslim. Mereka telah terdidik dengan pendidikan Barat yang
mengagungkan nasionalisme.
Kemudian terjadilah Perang Dunia I (1914-1918),
yang memberi peluang bagi beberapa daerah Arab untuk melepaskan diri dari
Imperium Utsmani. Pasukan sekutu tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Mereka meniupkan terompet nasionalisme Arab. Lorans yang cerdik melakukan
aksinya dengan menyalakan semangat nasionalisme Arab dan memprovokasi Arab
untuk mengadakan perlawanan terhadap Turki. Lalu bangkitlah Syarif Husein di
Hijaz dan penduduk Syria di Syria. Mereka lebih mengutamakan bergabung di bawah
bendera sekutu yang dipimpin Inggris.
Pada saat penguasa negara-negara Barat menyaksikan
negeri-negeri Islam telah terpecah belah sebagai implikasi dari lahirnya jiwa
nasionalisme di dunia Islam, mereka juga tidak memiliki persenjataan modern
yang berat, dan tenggelam dalam perang saudara yang melemahkan pemerintahan
pusat di Istanbul, maka negara-negara Barat menetapkan untuk melakukan agresi
militer secara sistematis dan dalam skala yang luas terhadap negeri-negeri
Muslim dari segala penjuru sebagaimana diisyaratkan dalam hadits di atas.[24] Dan pada akhirnya, jatuhlah negri-negri
Muslim dalam cengkeramaan imperialisme Barat.
Dengan pemaparan di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa : ”kemunduran umat Islam bukanlah
disebabkan oleh ajaran tashawuf yang selalu menekankan pengorbanan jiwa dan
raga dalam mendekatkan diri kepada Allah serta mengajarkan senantiasa
mendahulukan kepentingan agama dan meningkatkan kezuhudan dalam kehidupan
duniawi. Akan tetapi sebaliknya, kemunduran umat Islam tersebut disebabkan oleh
sikap kaum Muslimin yang telah menjauhi nilai-nilai sentral dalam ajaran Islam,
yaitu nilai-nilai yang diajarkan dalam tashawuf seperti kezuhudan dan kemudahan
mengorbankan jiwa dan raga dalam menegakkan agama”.
Daftar Rujukan
Abdullathif, Nuruddin Muslim, Al-Tashawwuf wa
Hajat Al-Mujtama’ Ilaihi, tp., tt.
Abu Al-Syabab, Dr. Ahmad ‘Awadh, Al-Khawarij
Tarikhuhum Firaquhum wa ‘Aqa’iduhum, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2005.
Abu Hamid ibn Marzuq, Al-Tawassul bi Al-Nabiy
wa bi Al-Shalihin, Hakikat Kitabevi, Istanbul, 1993.
Al-‘Azhimabadi, Abu Al-Thayyib Muhammad Syamsuddin
Al-Haqq, ‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Dar El-Fikr, Beirut,
1979.
Al-Alusi, Sayid Syihabuddin Abu Al-Tsana’ Mahmud
ibn Abdullah Al-Husaini, Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim wa
Al-Sab’i Al-Matsani, Dar El-Fikr, Beirut 1992.
Al-Asfarayini, Al-Tabshir fi Al-Din wa Tamyiz
Al-Firqah Al-Najiyah ‘an Al-Firaq Al-Halikin, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
Beirut, 1988.
Al-Ashbahi, Al-Mujtahid Abu Abdillah Malik ibn
Anas, Al-Muwaththa’, di-tahqiq oleh Muhammad Fu`ad Abdul Baqi,
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2000.
Al-Ashfahani, Al-Hafizh Abu Nu’aim Ahmad ibn
Abdullah, Hilyat Al-Auliya’ wa Thabaqat Al-Ashfiya’, Dar El-Fikr,
Beirut, tt.
Al-Asy’ari, Abu Al-Hasan Ali ibn Isma’il, Risalah
Istihsan Al-Khaudh fi ‘Ilm Al-Kalam, di-tahqiq oleh Muhammad
Al-Wali, Dar Al-Masyari’, Beirut, 1995.
Al-Baghdadi, Isma’il Pasha ibn Muhammad Amin, Idhah
Al-Maknun fi Al-Dzail ‘ala Kasyf Al-Zhunun ‘an Asami Al-Kutub wa Al-Funun,
Dar El-Fikr, Beirut, 1982.
Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Fiqh
Al-Sirah, Dar El-Fikr, Beirut, 1990.
Al-Dahlawi, Waliyullah Ahmad ibn Abdurrahim, Al-Inshaf
fi Bayan Sabab Al-Ikhtilaf, Hakikat Kitabevi, Istanbul, 2005.
Al-Darimi, Abu Muhammad Abdullah ibn ‘Abdurrahman,
Sunan Al-Darimi, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1987.
Al-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad, Tadzikrat
Al-Huffazh, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, tt.
--------, Tarikh Al-Islam wa Thabaqat
Al-Masyahir wa Al-A’lam, Beirut.
Al-Ghazali, Hujjatul-Islam Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad, Ihya’ ‘Ulum Al-Din, Dar El-Fikr, Beirut, 1991.
--------, Al-Muqidz min Al-Dhalal, di-tahqiq
oleh Abdul Halim Mahmud, Dar Al-Ma’arif, Kairo, 1998.
Al-Hasyimi, Abdul Mun’im, Al-Imam Abu Hanifah,
Dar Ibn Katsir, Damaskus, 1996.
Al-Maliki, Muhammad ibn ‘Alwi, Al-Risalat
Al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha, Sahar, Jeddah, 1990.
Al-Maturidi, Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn
Mahmud, Al-Tauhid, di-tahqiq oleh Dr. Fathullah Khulaif, Maktabah
Islamiyah, Istanbul.
Al-Nabhani, Yusuf ibn Isma’il, Hujjatullah ‘Ala
Al-‘Alamin fi Mu’jizat Sayyid Al-Mursalin, Dar El-Fikr, Beirut, tt.
Al-Nadwi, Sayid Abu Al-Hasan ‘Ali Al-Hasani, Al-Sirah
Al-Nabawiyyah, Dar Al-Syuruq, Beirut, 1984.
Al-Nasa`i, Abu ‘Abdirrahman Ahmad ibn Syu’aib, Sunan
Al-Nasa`i, di-syarh oleh Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, di-hasyiyah
oleh Muhammad Hayat Al-Sindi, Dar El-Fikr, Beirut, 1930.
Al-Nawawi, Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf, Syarh
Shahih Muslim, Dar El-Fikr, Beirut.
Al-Qari, Mulla ‘Ali ibn Sulthan Muhammad, Mirqat
Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashabih, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut,
2001.
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad, Al-Jami’
li-Ahkam Al-Qur’an, Dar El-Fikr, Beirut.
Al-Sa’id, Walid, Tabyin Dhalalat Al-Albani
Syaikh Al-Wahhabiyyah Al-Mutamahdits, Dar Al-Masyari’, Beirut, 2000.
Al-Sarraj, Abu Nashr Abdullah ibn ‘Ali Al-Thusi, Al-Luma’
fi Tarikh Al-Tashwwuf Al-Islami, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2001.
Al-Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurrahman ibn Abi Bakar,
Al-Durr Al-Mantsur fi Al-Tafsir bi Al-Ma’tsur, Dar El-Fikr, Beirut.
--------, Al-Jami’ Al-Shaghir fi Ahadits
Al-Basyir Al-Nadzir, Al-Hidayah, Surabaya, tt.
--------, Tarikh Al-Khulafa’, Dar El-Fikr,
Beirut, tt.
Ibn Al-Atsir, ‘Izzuddin Abu Al-Hasan Muhammad ibn
Muhammad Al-Jazari, Al-Kamil fi Al-Tarikh, Dar Shadir, Beirut, 1965.
--------, Usd Al-Ghabah fi Ma’rifat
Al-Shahabah, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut.
Ibn Al-Jauzi, Abu Al-Faraj ‘Abdurrahman ibn ‘Ali, Talbis
Iblis, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2002.
--------, Zad Al-Masir fi ‘Ilm Al-Tafsir,
Dar El-Fikr, Beirut, 1992.
--------, Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa
Al-Umam, Dar Shadir, Beirut.
--------, Shifat Al-Shafawah, Dar Al-Wa’y, Halab, 1969.
Ibn Hajar, Abu Al-Fahdl Ahmad ibn ‘Ali Al-’Asqalani, Fath Al-Bari
Syarh Shahih Al-Bukhari, Dar El-Fikr, Beirut, 1993.
--------, Al-Ishabah fi Tamyiz Al-Shahabah, Al-Sa’adah, Kairo,
1328.
Ibn Hazm, Abu Muhammad Ali ibn Ahmad Al-Andalusi, Al-Fishal fi
Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa Al-Nihal, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1983.
Ibn Katsir, Abu Al-Fida’ Isma’il ibn ‘Umar, Al-Bidayah wa Al-Nihayah,
Maktabah Al-Ma’arif, Beirut,
1985.
--------, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Dar
Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, tt.
Ibn Majah, Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid
Al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, di-tahqiq oleh Muhammad Fu`ad Abdul
Baqi, Dar El-Fikr, Beirut, tt.
Ibn Rajab, Abu Al-Faraj ‘Abdurrahman ibn Ahmad
Al-Hanbali, Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam fi Syarh Khamsin Haditsan min Jawami’
Al-Kalim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut.
Jali, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad, Dirasat ‘an
Al-Firaq fi Tarikh Al-Muslimin Al-Khawarij wa Al-Syi’ah, Markaz Al-Malik
Faishal, Riyadh, 1988.
[1] Ibid, hal. 38-44.
[2] Ibid, hal. 113.
[3] Abu Nashr Abdullah ibn Ali Al-Sarraj Al-Thusi, Al-Luma’ fi
Tarikh Al-Tashawwuf Al-Islami, hal. 24-25.
[4] Nuruddin Muslim Abdullathif, Al-Tashawwuf wa Hajat Al-Mujtama’
Ilaih, hal. 20.
[5] Al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyat Al-Auliya’, juz I, hal. 20.
[6] Al-Sarraj Al-Thusi, Al-Luma’ fi Tarikh Al-Tashawwuf Al-Islami,
hal. 27.
[7] Abu Al-Muzhaffar Al-Asfarayini, Al-Tabshir
fi Al-Din, hal. 117.
[8] Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat
Al-Tashawwuf, hal. 7-10.
[9] Al-Hafizh Ibn Katsir, Al-Bidayah wa
Al-Nihayah, juz XI, hal. 113-114.
[10] Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat
Al-Tashawwuf, hal. 17-18.
[11] Sayid Abu Al-Hasan Ali Al-Hasani
Al-Nadwi, Rijal Al-Fikr wa Al-Da’wah, juz I, hal. 281-283.
[12] Ibid, juz II, hal. 853.
[13] Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat
Al-Tashawwuf, hal. 14-15.
[14] Abu Al-Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi,
Madza Khasira Al-‘Alam bi Inhithath Al-Muslimin, hal. 340.
[15] Abdullah Nashih ‘Alwan, Tarbiyat
Al-Aulad fi Al-Islam, juz II, hal. 857-858.
[16] Sayid Nur Sayid Ali, Al-Tashawwuf Al-Syar’iy, hal.
52.
[17] Abdul Wahhab Al-Sya’rani, Al-Thabaqat Al-Kubra,
juz II, hal. 5.
[18] Al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyat Al-Auliya’, juz X,
hal. 40 dan Sayid Nur Sayid Ali, Al-Tashwwuf Al-Syar’iy, hal. 34-35.
[19] Abu Al-Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi, Rijal Al-Fikr wa
Al-Da’wah, juz I, hal. 259.
[20] Prof. Dr.
Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat Al-Tashawwuf, hal. 16.
[21] Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’,
hal. 393.
[22] Ibid, hal. 429.
[23] Musnad Ahmad, hadits nomor 8356.
[24] Sayid Nur Sayid Ali, Al-Tashawwuf Al-Syar’iy, hal.
57-59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar