Jumat, 08 Juni 2012

KAJIAN TASAWUF KITA







Konsep Dasar
Ilmu Tashawuf Nazdliyah

A. Pendahuluan
Secara etimologis, kata tashawwuf, sering diartikan dan dinisbah terhadap akar kata shuf (baju wol), sehingga memiliki arti “memakai baju wol”. Seperti halnya kata taqammush yang berarti memakai baju kemeja, nisbah terhadap akar kata qamish (baju kemeja). Dari sini, secara sepintas agaknya dapat disimpulkan bahwa tashawuf berhubungan erat dengan penampilan, mode dan formalitas, yaitu memakai baju wol. Namun demikian, dalam tataran realitas, tashawuf tidak berkaitan dengan penampilan, mode dan formalitas. Kata tashawuf, yang semula membawa arti penampilan, mode dan formalitas, yaitu memakai baju wol, kini telah mengalami perkembangan dan perubahan, sebagai nama bagi sebuah prinsip kehidupan yang menjauhkan diri dari keduniaan. Tashawuf telah menjadi tanda bagi mereka yang menekuni kezuhudan dan ibadah. Tashawuf telah menjadi nama bagi mereka yang menjauhkan dirinya dari gemerlapnya duniawi.
Secara terminologis, ada sekitar 1000 macam definisi tashawuf yang berlaku di dunia shufi. Akan tetapi dari sekian banyak definisi, hanya beberapa definisi saja yang dapat mewakili definisi tashawuf secara utuh. Di antaranya adalah definisi Abu Sa’id Al-Kharraz (w. 268 H/980 M). Ketika ditanya tentang definisi seorang shufi, ia menjawab: “Orang yang disucikan hatinya oleh Allah, sehingga hatinya penuh dengan cahaya, dan orang yang memasuki hakikat kelezatan dengan berzikir kepada Allah.”
Dan apabila diperhatikan, beberapa pandangan para ahli substansi dari semua pandangan para ahli tersebut konotasinya mengarah terhadap sarana (wasilah), yang pada akhirnya akan membawa pada kesucian (shafa’). Dan apabila kesucian telah berada pada diri seseorang, maka berarti ia telah memiliki kesiapan sempurna untuk menerima musyahadah, sehingga kemurahan Allah-lah nantinya yang akan menentukan, memberi atau tidak. Dan musyahadah ini adalah derajat makrifat paling tinggi. Puncak tertinggi yang dicari oleh mereka yang memiliki kesadaran luar biasa, memiliki fitrah malaikati dan kepribadian rabbani. Dengan demikian, tashawuf adalah makrifat. Dan makrifat tertinggi di bawah derajat kenabian adalah musyahadah. Dan tashawuf adalah jalan menuju musyahadah.[1]

B. Istilah Shufi
Menurut sejarawan Ibn Khaldun (732-784 H/1332-1382 M), istilah shufi dan tashawuf belum dikenal secara luas di kalangan masyarakat pada abad pertama H. Istilah shufi dan tashawuf baru dikenal secara luas sejak abad ke-2 H.[2] Pada masa Rasulullah saw. sendiri tidak seorang pun dari sahabat beliau yang menyandang gelar shufi. Nama shufi memang tidak menjadi julukan seorang pun dari sahabat. Karena persahabatan dengan Rasulullah saw. memiliki kehormatan yang istimewa. Karenanya tidak boleh memberi suatu gelar kepada mereka yang kesannya lebih istimewa daripada gelar sahabat. Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa para sahabat adalah teladan kaum shufi dalam hal kezuhudan, ibadah, tawakal, fakir, rida, kesabaran dan ketaatan kepada Allah. Mereka memperoleh semua itu karena barokah persahabatan mereka dengan Rasul saw.
Namun demikian, bukan berarti istilah shufi belum pernah dikenal sejak permulaan Islam. Bahkan ada indikasi bahwa istilah shufi telah dikenal sejak paruh kedua abad pertama H. Pada masa Al-Hasan Al-Bashri (21-110 H/642-729 M), istilah shufi telah dikenal di kalangan masyarakat. Al-Hasan Al-Bashri telah mengikuti masa sekian banyak sahabat Nabi saw. Dalam satu riwayat, Al-Hasan berkata: “Aku pernah melihat seorang shufi bertawaf di Baitullah. Lalu aku memberinya sesuatu, tetapi ia menolak untuk mengambilnya dan berkata: “Aku memiliki 4 Daniq, yang cukup buat keperluanku.”[3]
Bahkan dalam riwayat lain, ada indikasi bahwa istilah shufi telah dikenal sejak paruh pertama abad pertama H. Sejarawan Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya Al-Kufi telah meriwayatkan dari Urwah ibn Al-Zubair (13-94 H/634-713 M), bahwa seorang lelaki dari suku Udzrah telah mengajukan pengaduan kepada Khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, tentang ulah Gubernurnya, Ibn Ummi Al-Hakam, yang memaksa lelaki itu untuk menceraikan istrinya. Sang Gubernur, Ibn Ummi Al-Hakam, tertarik untuk menikahi istri lelaki itu, karena parasnya yang cantik. Lalu Mu’awiyah mengirim surat teguran kepada Ibn Ummi Al-Hakam, yang di antara isinya berupa bait syait: Engkau tak ubahnya seorang shufi yang memiliki banyak ajaranDari sekian kewajiban atau ayat-ayat Al-Qur’an[4]
Dalam konteks keilmuan, istilah shufi telah digunakan oleh kalangan shufi sejak paruh pertama abad ke-2 H. Hal ini setidaknya dapat diketahui dengan memperhatikan riwayat Al-Hafizh Abu Nu’aim Al-Ashfahani (336-430 H/948-1038 M) dari Imam Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/699-765 M) – radhiyallahu ‘anhu – yang pernah berkata: “Barangsiapa menjalani kehidupan Rasul saw. secara lahir, maka ia seorang sunni. Dan barangsiapa menjalani kehidupan Rasul saw. secara batin, maka ia seorang shufi.”[5]
Al-Sarraj juga meriwayatkan dari seorang tokoh shufi, murid Al-Hasan Al-Bashri, yaitu Abdul Wahid ibn Zaid (w. 177 H/793 M), yang pernah ditanya: “Siapakah shufi itu menurut Anda?” Ia menjawab: “Orang yang memfungsikan akal untuk cita-cita, menekuni cita-cita dengan hati, dan berlindung kepada Tuhan dari keburukan hawa nafsu.”[6]

C. Bid’ah Tashawuf
Berbagai pertanyaan, yang pada hakikatnya gugatan, terhadap dunia shufi dan tashawuf hingga kini masih terus berlangsung, dan agaknya tidak akan berhenti. Di antara pertanyaan yang seringkali diarahkan terhadap tashawuf adalah: “Bukankah dalam ajaran Al-Quran, hadits-hadits dan sirah Rasul saw. sendiri, terdapat sekian banyak macam pendidikan dan aneka ragam ibadah yang dapat menyucikan jiwa, membersihkan hati, memperbaiki akhlak, mengantarkan hamba kepada Tuhan dan memberi rasa kesejukan (uns) bersama Tuhan, lalu mengapa masih membutuhkan ilmu tashawuf, bukankah dengan demikian tashawuf adalah sisipan (bid’ah) terhadap Islam dan bukan termasuk bagian dari Islam?” Demikian gugatan yang tidak jarang kita dengar dari sementara kalangan.
Sebenarnya apabila gugatan di atas ini dibenarkan, maka gugatan yang sama haruslah diarahkan terhadap seluruh bidang studi ilmu keislaman termasuk ilmu Al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih dan lain-lain. Bukankah pada masa Rasulullah saw. dan masa sahabat belum pernah dikenal istilah nasikh, mansukh, muhkam, mutasyabih dan lain-lain yang menjadi istilah dalam ilmu tafsir Al-Quran. Belum pernah pula dikenal istilah qiyas, istihsan, mu’aradhah, munaqadhah, thardu, syarath, sabab, ‘illat dan lain-lain yang menjadi istilah dalam ilmu fiqih. Belum pernah pula dikenal istilah jarh, ta’dil, ahad, mutawatir, masyhur, shahih, hasan, dha’if, gharib dan lain-lain yang menjadi istilah dalam ilmu hadits. Belum pernah pula dikenal jenjang pendidikan tingkat dasar, tingkat menengah, tingkat atas dan perguruan tinggi, berikut gelar-gelar kesarjanaan seperti lc., magister dan doctor. Belum pernah dikenal pula ujian dengan pengajuan paper, skripsi, tesis dan disertasi. Apakah dengan demikian semua ini harus ditolak dan kita anggap sebagai bid’ah dhalalah? Pertanyaan ini kita jawab dengan tegas, bahwa semuanya bukan
termasuk bid’ah dhalalah, termasuk pula ilmu tashawuf.
 “Ilmu tashawuf dan isyarat serta hakikat-hakikat dan hal-hal yang mendetail yang dimiliki oleh Ahlussunnah Wal-Jama’ah, tidak dimiliki sedikit pun oleh kalangan Ahlulbid’ah. Kalangan Ahlulbid’ah terhalang dari menerima faedah tashawuf seperti ketenangan, halawah, sakinah, dan thuma’ninah.
Abu Abdirrahman Al-Sulami telah menyebutkan di antara guru-guru kaum shufi hampir seribu orang. Ia telah menghimpun isyarat-isyarat dan hadits-hadits mereka. Secara umum di kalangan mereka tidak ditemukan seorang yang dinisbahkan terhadap bagian dari kelompok Qadariyah, Rafidhah dan Khawarij.”[7]

D. Tashawuf Dan Kehidupan
Allah menciptakan manusia untuk memikul tugas kekhalifahan di bumi. Tugas kekhalifahan yang harus disertai dengan nilai-nilai penghambaan (‘ubudiyyah) diri kepada Allah, sehingga dapat mengantarkan dirinya kepada-Nya. Dan manusia tidak akan dapat sampai kepada Allah tanpa penghambaan diri yang murni dan tulus kepada Allah.
Rasulullah saw. telah merealisasikan penghambaan dirinya kepada Allah secara sempurna dan paripurna. Ia telah merealisasikannya pada puncak yang tidak dapat dilakukan oleh selainnya, sehingga shalatnya, ibadahnya, hidup dan matinya, hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. “Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am : 162). Rasulullah saw. telah merealisasikan penghambaan dirinya kepada Allah dengan memadai dan sempurna, sehingga Allah memberinya kemuliaan duniawi dan ukhrawi.
Dan apabila diamati, kehidupan kaum shufi hanya berusaha mengikuti dan meneladani Rasulullah saw. dalam langkah dan perjalanan hidupnya semaksimal mungkin. Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (539-632 H/1144-1234 M) memberikan penjelasan tentang hakikat shufi dan tashawuf:
“Shufi adalah orang yang selalu membersihkan diri. Ia selalu membersikan waktunya dari campuran noda dengan membersihkan hati dari tipu daya hawa nafsu. Dalam membersihkan diri, ia akan dibantu oleh kefakirannya yang terus menerus kepada Allah. Dengan kefakirannya yang terus menerus kepada Allah, ia akan bersih dari noda. Dan setiap kali hawa nafsunya bergerak dan tampil dengan salah satu sifatnya, ia akan dapat menangkapnya dengan pandangan hatinya (bashirah) yang tembus dan ia akan segera lari kepada Tuhannya.
Kaum shufi telah mengikat dirinya dengan meneladani Rasulullah saw., baik dalam hal yang kecil maupun dalam hal yang besar.[8] Beberapa bahasan berikut ini akan menguraikan mujahadah kaum shufi dalam meneladani Rasulullah saw. dalam segala hal.

E. Tashawuf Dan Ilmu Pengetahuan
Membicarakan ilmu pengetahuan dan kaum shufi, berarti membicarakan tokoh-tokoh puncak dalam dunia ilmu pengetahuan. Kaum shufi telah memberikan kontribusi yang paling besar dalam dunia ilmu pengetahuan Islam, dalam pelbagai cabang disiplin ilmu agama; ilmu fiqih, tafsir, hadits, akhlak dan lain-lainnya. Misalnya kita perhatikan tokoh pertama dalam dunia shufi yang diakui oleh seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yaitu Al-Junaid Al-Baghdadi, yang memiliki penguasaan cemerlang terhadap seluruh bidang studi ilmu keislaman, berdasarkan kesaksian Al-Hafizh Ibn Katsir, pakar tafsir, hadits dan sejarah. Dalam tarikhnya, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Ibn Katsir berkata:
“Al-Junaid ibn Muhammad, dilahirkan dan tumbuh di kota Baghdad. Ia belajar hadits kepada Husain ibn ‘Arafah, dan menekuni bidang studi fiqih kepada Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid Al-Kalbi (w. 240 H/854 M), dan ia telah mampu berfatwa di hadapan Abu Tsaur dalam usianya yang masih 20 tahun. Ia dikenal belajar kepada Al-Harits Al-Muhasibi (165-243 H/781-856 M) dan Sari Al-Saqathi (w. 253 H/867 M) – pamannya dari pihak ibu. Ia menekuni ibadah sehingga dengan sebab itu Allah membukakan kepadanya sekian banyak macam ilmu pengetahuan. Dan ia berbicara tentang ilmu kaum shufi. Selama 40 tahun ia tidak pernah tidur karena beribadah, sehingga Allah membukakan kepadanya sekian banyak ilmu dan amal saleh yang belum pernah dicapai oleh selainnya. Ia menguasai semua bidang studi ilmu pengetahuan. Dan apabila ia membicarakan satu bidang studi ilmu pengetahuan, ia tidak pernah terputus dan tergelincir dalam pembicaraan. Dan terkadang dalam satu masalah, ia dapat memaparkan sekian banyak pandangan yang belum pernah terlintas dalam pikiran para ulama.”[9]
Sekarang kita beralih kepada tokoh kedua dalam dunia shufi kaum sunni, yaitu Hujjatul-Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Imam Muhyiddin Ibn ‘Arabi Al-Hatimi Al-Tha`i (570-638 H/1165-1240 M), seringkali memuji keluasan ilmu Hujjatul-Islam Al-Ghazali, yang dalam karyanya, Ihya’ ‘Ulum Al-Din, menghimpun 40 bagian. Masing-masing bagian memiliki independensi dan obyektifitasnya sendiri, dan dari kesemuanya tersusun dengan rapi dan sempurna, karya paling monumental dalam bidang tashawuf, Ihya’ ‘Ulum Al-Din.
Dan di bawah pena Al-Ghazali, para pemikir filsafat kenamaan, runtuh dengan sangat mudah dan gampang. Mereka berjatuhan dan runtuh tidak berdaya di bawah serangan karya Al-Ghazali yang monumental, Tahafut Al-Falasifah (keruntuhan para filosof). Al-Ghazali telah berhasil memadamkan bid’ah filsafat yang mempermainkan Islam di Timur.[10]
Sementara karya Al-Ghazali dalam bidang ushul fiqih, yang berjudul Al-Mustashfa fi ‘Ilm Al-Ushul, telah menjadi rujukan utama para pakar ushul fiqih dalam tiga mazhab: Syafi’i, Maliki dan Hanbali. Karenanya, ketika Syaikh Abdul Qadir Badran Al-Hanbali – faqih Hanbali kontemporer dari Syria – diminta untuk menulis syarh (komentar) terhadap kitab Rawdhat Al-Nazhir, karya ushul fiqih Hanbali dalam bentuk prosa yang ditulis oleh Ibn Qudamah Al-Maqdisi, Abdul Qadir Badran merasa kesulitan untuk memenuhinya. Ia baru dapat menulis syarh terhadap kitab tersebut dengan mudah, setelah memperoleh kitab Al-Mustashfa, sumber asli dari kitab Rawdhat Al-Nazhir.
Kiranya pakar hadits di atas, cukup sebagai bukti bahwa dalam bidang studi ilmu hadits, kaum shufi memiliki peran yang sangat penting. Dan apabila kita membaca lebih banyak lagi biografi para hafizh, yang dicatat oleh Al-Hafizh Al-Dzahabi dan Al-Hafizh Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa Al-Nihayah, kita akan mendapati sekian banyak hafizh dan muhaddits yang berlatar belakang shufi dan telah berperan besar dalam melahirkan para hafizh terkemuka seperti Al-Hakim, Al-Daraquthni, Abu Nu’aim, Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Baihaqi dan lain-lain.

F. Tashawuf Dan Penyebaran Islam
Dalam hal penyebaran Islam, jasa-jasa kaum shufi sangatlah besar. Mereka telah menyiarkan dakwah Islam ke berbagai penjuru dunia. Dalam rangka menyebarkan dakwah Islam, kaum shufi dengan suka rela meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka dan pergi ke daerah-daerah yang jauh di Timur dan di Barat. Bermodalkan akhlak yang luhur dan kekeramatan yang cemerlang, kaum shufi berhasil membuka pintu hati manusia, sehingga mereka masuk ke dalam naungan Islam dengan berbondong-bondong.
Di antara tokoh shufi yang diakui perannya dalam penyebaran Islam ke seantero dunia adalah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, pendiri tarikat Qadiriyah yang menyandang gelar Sulthan Al-Awliya’. Melalui murid-muridnya dan generasi penerus mereka yang tergabung dalam keluarga besar tarikat Qadiriyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani telah berperan besar dalam memelihara ruh Islam, menjaga nyala api iman dan semangat dakwah dan jihad di jalan Allah. Pengikut Qadiriyah telah berperan besar dalam penyebaran Islam ke daerah-daerah yang jauh, yang belum pernah dijamah oleh ekspansi militer kaum Muslimin dan belum mampu ditundukkan ke dalam pemerintahan Islam. Melalui mereka, Islam tersebar luas di kalangan kulit hitam Afrika, Indonesia, Cina dan India.[11]
Syaikh Muhammad Abu Zahrah (1316-1394 H/1898-1974 M) berkata: “Demikian pula tashawuf, sebagaimana dikatakan oleh Ustadz Faudah, pada generasi belakangan ini memiliki sekian banyak keistimewaan dan jasa-jasa yang kelihatan. Keimanan kaum Muslimin di Afrika Barat, Afrika Tengah dan Afrika Selatan adalah salah satu dari buah tashawuf.”[12]

G. Tashawuf  dan Jihad
Jihad di jalan Allah, melawan orang-orang kafir dan politeis, termasuk amal ibadah paling utama menurut kaum shufi. Karenanya dari waktu ke waktu kaum shufi selalu berada di barisan terdepan di medan jihad. Biografi para shufi penuh dengan kisah-kisah pengorbanan, heroisme dan keberanian dalam berjihad.
Di antara tokoh shufi yang terjun ke medan jihad di abad modern adalah Amir Abdul Qadir Al-Jazairi. Ia termasuk tokoh besar shufi dan seorang panglima perang. Ia telah berjihad menghadapi koloni Perancis di negerinya, Al-Jazair. Dengan keimanannya yang kokoh dan keshufiannya yang mendalam, ia mampu melakukan hal-hal yang mengagumkan dalam keberanian dan penyerangan. Peperangannya dimulai dengan beberapa orang anggota pasukan. Akan tetapi keimanan dan keberanian mengalir deras pada diri mereka, sehingga keberanian mereka tampil dalam fenomena yang paling baik. Akhirnya jumlah mereka hari demi hari bertambah sedikit demi sedikit. Persenjataan yang mereka gunakan, adalah hasil rampasan dari pihak musuh.[13]
Dan apabila kita menengok ke India, akan ditemukan tokoh-tokoh shufi yang menjadi pemimpin jihad. Di antara mereka terdapat pemimpin kaum shufi, Sayid Ahmad Al-Syahid yang gugur sebagai syahid pada tahuan 1831 di pertempuran Balakut, India. Ketika ia menyerukan kaum Muslimin India untuk berjihad melawan koloni Inggris, masyarakat dari berbagai lapisan memenuhi seruannya untuk berjihad dengan bersemangat. Para petani meninggalkan ladangnya, para pedagang menutup tokonya, dan dengan suka rela mereka meninggalkan kampung halaman, dan mengasingkan diri dalam berjihad. Hingga akhirnya mereka gugur sebagai syahid di lembah Balakut dalam pertempuran. Dan sisanya kembali ke puncak-puncak gunung, membuat benteng pertahanan untuk melanjutkan jihad.[14]
Pada tahun 1857, pemimpin kaum shufi, Al-Haj Imdadullah dan murid-muridnya seperti Imam Al-Nanuti, Imam Al-Kunkuhi, Al-Hafizh Dhamin Al-Syahid dan lain-lain mempermaklumkan jihad melawan koloni Inggris. Mereka berjuang dan berjihad di jalan Allah. Akan tetapi pada akhir pertempuran, mereka mengalami kekalahan sebab persenjataan mereka yang tidak memadai dan akibat pengkhianatan orang-orang Hindu dan Budha. Dalam pertempuran tersebut, sekitar 18.000 ulama shufi dibunuh dan digantung di atas tiang-tiang listrik dan pohon-pohon yang tinggi oleh Inggris dengan bantuan orang-orang Hindu.
Selanjutnya kita menengok ke bagian Barat Islam. Bagaimana peran para pengikut tarikat Syadziliyah dalam berjihad. Amir Syakib Arsalan berkata: “Tarikat Syadziliyah dinisbahkan terhadap Abu Al-Hasan Al-Syadzili. Ia termasuk tarikat pertama yang memasukkan tashawuf ke Maroko. Dan pusatnya di Marrakusy. Di antara tokohnya adalah Sayyidi Al-‘Arabi Al-Darqawi (w. 1823 M), - [pemimpin tarikat Darqawiyah, cabang dari tarikat Syadziliyah] – yang berhasil menciptakan semangat keagamaan terhadap murid-muridnya sampai ke Maroko Tengah. Pengikut tarikat Darqawiyah memiliki peran yang efektif dalam melakukan perlawanan terhadap koloni Perancis.”[15]
Dan agaknya perlu juga dikemukakan di sini, bahwa di antara jasa-jasa kaum shufi yang layak diabadikan dengan tinta emas, adalah pengabdian mereka selama 70 tahun dalam memelihara akidah kaum Muslimin di Asia tengah,  di bawah tekanan pemerintahan komunis dan ateis, Uni Soviet. Kaum shufi telah memberikan berbagai pengorbanan dalam upaya memelihara agama Islam di negeri-negeri Muslim yang kelam itu. Puluhan ribu para dai telah dibantai dan disiksa oleh pemerintahan komunis. Sementara para guru kaum shufi menggunakan strategi bersembunyi di siang hari dari intaian para intel, dan mendirikan pusat-pusat rahasia di dalam rumah-rumah untuk menyiarkan ajaran Islam. Dengan demikian mereka berhasil dalam memelihara percikan cahaya Islam dan menjaga nyala api iman di hati ratusan juta kaum Muslimin di Asia Tengah.[16]

H. Tashawuf dan Syari’ah
Dalam kaitannya dengan syari’ah, tidak sedikit di antara kalangan yang berupaya menyudutkan kaum shufi dan tashawuf karena dinilai banyak melakukan penyimpangan dari syari’ah. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan fungsi tashawuf sebagai jalan menuju makrifat kepada Allah, yang harus dilandasi oleh konsistensi secara total terhadap syari’ah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengatakan:
“Jalan menuju makrifat, adalah mendahulukan mujahadah, atau menghapus sifat-sifat yang tercela, memutus semua ikatan-ikatan hati dan menghadap dengan hakikat cita-cita kepada Allah SWT. Dan apabila hal itu telah berhasil, maka Allah-lah yang akan menjadi penjaga hati hamba-Nya dan yang menjamin meneranginya dengan cahaya-cahaya ilmu (makrifat). Dan apabila Allah telah menjaga urusan hati, maka rahmat Allah akan meluap kepadanya, cahaya akan menerangi hati, dada menjadi lapang, rahasia kerajaan alam malakut menjadi tersingkap kepadanya, tirai kelalaian akan lenyap dari layar hati dengan percikan rahmat-Nya, dan hakikat-hakikat perkara ilahi akan terang benderang di dalamnya. Seorang hamba hanya berkeharusan menyiapkan diri, dengan membersihkan diri secara murni, menghadirkan cita-cita yang disertai dengan kemauan yang benar, kehausan yang sempurna dan menunggu tanpa henti terhadap rahmat Allah yang akan dibukakan kepadanya.”
Sedangkan berkaitan dengan konsistensi terhadap syari’ah, kaum shufi telah memberikan keputusan yang tegas, bahwa syari’ah harus menjadi acuan kaum shufi dalam setiap langkah yang mereka jalani. Abu Al-Hasan Al-Syadzili mengatakan: “Barangsiapa mengajak ke jalan Allah, dengan selain apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw., pasti dia pengikut bid’ah.”[17]
Selanjutnya, apabila kita perhatikan pernyataan tokoh-tokoh shufi lain, kita dapati seperti apa yang telah dikemukakan oleh Al-Syadzili tentang keharusan konsistensi terhadap syari’ah. Tuan Guru kaum shufi, Al-Junaid Al-Baghdadi berkata: “Semua jalan menuju Allah tertutup bagi makhluk-Nya, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasul saw.” Ia juga berkata: “Barangsiapa yang belum menghapal Al-Quran dan belum menulis hadits, maka ia tidak dapat dijadikan teladan dalam bidang tashawuf, karena ilmu kami ini terikat dengan Al-Quran dan Al-Sunnah.”
Abu Yazid Al-Bisthami (188-261 H/804-874 M) berkata: “Apabila kalian melihat seseorang yang diberi sekian kekeramatan sehingga dapat terbang di udara, maka janganlah tertipu dengannya, sehingga kalian melihat terlebih dahulu bagaimana sikapnya terhadap perintah dan larangan Allah, memelihara batasan-batasan dan menunaikan syari’ah.”[18]
Dari beberapa keterangan ini, kiranya dapat disimpulkan bahwa tashawuf tidaklah menggugurkan seseorang dari kewajiban syari’ah. Bahkan sebaliknya, tashawuf menolak dengan keras terhadap pandangan yang menyatakan gugurnya kewajiban syari’ah bagi seseorang yang telah mencapai derajat tertentu.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M), pendiri tarikat Qadiriyah berkata: “Setiap hakikat yang tidak dilandasi Al-Sunnah, adalah kezindikan. Terbanglah menuju Al-Haqq dengan dua sayap; Al-Quran dan Al-Sunnah, dan masuklah kepada Al-Haqq, sedang tangganmu dituntun oleh Rasul saw.” Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani juga menolak terhadap mereka yang meyakini gugurnya kewajiban syari’ah terhadap seorang salik apabila sudah mencapai ahwal tertentu. Dalam hal ini beliau berkata: “Meninggalkan ibadah wajib adalah kezindikan. Mengerjakan larangan adalah kemaksiatan. Kewajiban agama tidak akan gugur terhadap seseorang dalam kondisi apa pun.”[19]
Dalam konteks yang sama Al-Ghazali juga menegaskan: “Sesungguhnya kalangan shufi yang telah mencapai derajat hakikat berkata: “Apabila kamu melihat seseorang yang terbang di udara dan berjalan di atas air, padahal ia seringkali melakukan pelanggaran terhadap syari’ah, maka sesungguhnya ia adalah setan.”
Dengan demikian jelaslah bahwa jalan menuju ma’rifat kepada Allah adalah merealisikan penghambaan diri kepada Allah secara murni yang termanifestasikan dalam konsistensi terhadap syari’ah secara paripurna. Dan kaum shufi telah berusaha secara maksimal untuk mengikuti jalan ini, sehingga mereka memetik sekian banyak buah yang sangat positif, seperti semangat membaja dalam jihad, peran yang besar dalam penyebaran ilmu agama dan jasa-jasa cemerlang dalam dakwah dan penyebaran Islam.[20]

I. Tashawuf Dan Kemunduran Umat Islam
Berdasarkan pemaparan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kaum shufi telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam rangka penyebaran Islam ke seluruh dunia, juga dalam melakukan jihad dan menjaga perbatasan negara Islam dari serangan pihak luar. Akan tetapi, dari waktu ke waktu tidak jarang kita dengar, pandangan yang mengatakan bahwa tashawuflah sebenarnya penyebab utama kemunduran umat Islam hingga menjadi umat yang terbelakang di dunia dewasa ini. Di sini kita perlu mempertanyakan: “Benarkah pandangan tersebut?” Agaknya sulit sekali untuk menemukan bukti kesejarahan yang dapat membenarkan anggapan tadi.
Dalam sejarah kekalahan kaum Muslimin yang diklaim sebagai implikasi dari kemunduran umat Islam, sehingga berakibat pada penempatan umat Islam dalam posisi bangsa-bangsa yang terbelakang di dunia dewasa ini, setidaknya didapati tiga episode kekalahan besar: (1) jatuhnya Qudus (Palestina) ke tangan kaum Salibis pada abad ke-5 H; (2) jatuhnya negara-negara Muslim ke dalam cengkeraman penguasa Tartar pada abad ke-7 H; dan (3) hancurnya khilafah Islamiyah di Turki dan jatuhnya negara-negera Muslim ke dalam cengkeraman imperialisme Barat menjelang abad modern.
Apabila kita amati sebab-sebab terjadinya kekalahan kaum Muslimin pada episode pertama sehingga mengantarkan pada jatuhnya Qudus ke tangan kaum Salibis, maka akan didapati bahwa kekalahan ini berawal dari terjadinya perpecahan kalangan keluarga penguasa Bani Saljuq. Di sisi lain, di antara kerajaan-kerajaan Islam sendiri pada saat itu sedang terjadi konflik militer dan persaingan yang keras dan berdarah untuk mendominasi kursi khilafah Islamiyah di Baghdad. Konflik dan persaingan ini sebagai akibat dari kepentingan etnis, fanatisme jahiliah dan ambisi untuk menancapkan hegemoni, sehingga akhirnya meratakan jalan bagi jatuhnya Qudus ke tangan asing.
Sebagian sejarawan meriwayatkan, bahwa penguasa ‘Alawiyin yang beraliran Syi’ah Isma’iliyah di Mesir yang bertanggung jawab atas jatuhnya Qudus ke tangan asing. Karena pada saat ‘Alawiyin di Mesir ketakutan menghadapi ancaman agresi militer Bani Saljuq di Timur yang telah berhasil menguasai Syam, maka ‘Alawiyin mengundang negara-negara Eropa untuk menyerang Qudus, agar dapat menghalau agresi Bani Saljuq ke Mesir, sehingga jatuhlah Qudus ke tangan Salibis pada tahun 492 H/1095 M.[21]
Sementara pada episode kedua, di antara raja-raja Muslim sendiri terjadi peperangan saudara, sebagai akibat dari ambisi dan kepentingan ekspansi wilayah kekuasaan sehingga membuka pintu kehancuran dan agresi Tartar terhadap negara-negara Muslim. Ketika peperangan berdarah dan eskalasi permusuhan yang keras kian memuncak, antara Khalifah Al-Nashir (553-622 H/1158-1225 M) di Baghdad dan Sultan Khawarizm-Syah di Timur yang berambisi melakukan agresi militer ke Baghdad, maka Khalifah Al-Nashir tidak segan-segan memprovokasi Tartar untuk melakukan aksi militer terhadap kerajaan Khawarizm-Syah, agar dapat menggagalkan serangan mereka ke Baghdad. Di sisi lain, tindakan ceroboh sebagian pembantu Khawarizm-Syah, juga memberi kontribusi dalam menarik serangan Tartar ke negerinya.
Pada saat Tartar memerangi negeri-negeri Muslim sehingga berhasil menguasai wilayah besar dalam peta dunia Islam, Khalifah Al-Nashir di Baghdad justru diam seribu bahasa dan tenggelam dalam nafsu syahwat dan nikmatnya para selir. Pada akhirnya, Baghdad jatuh dari tangan kaum Muslimin, ke tangan Tartar sebagai akibat dari pengkhianatan Perdana Menteri Syi’ah, Ibn Al-‘Alqami pada masa Khalifah Al-Musta’shim, tahun 656 H/1258 M.[22]
Selanjutnya, pada episode ketiga, raja-raja Muslim telah mulai melepaskan nilai-nilai keagamaan yang menjadi sumber kekuatan mereka. Budi pekerti mereka telah rusak dan mereka tenggelam dalam syahwat dan nikmatnya para selir. Sementara darah para Gubernur dan suku-suku Arab telah dialiri fanatisme jahiliah. Mayoritas umat Islam tenggelam dalam kelezatan yang dilarang oleh agama dan persaingan dalam urusan dunia, sesuai dengan hadits Rasulullah saw.: “Suatu saat nanti kamu diserang oleh para musuh dari segala penjuru, sebagaimana beberapa orang yang makan menyerang makanan dalam satu piring.” Kami bertanya: “Apakah karena sedikitnya kelompok kami ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kamu pada saat itu banyak, akan tetapi seperti buih di lautan. Allah mencabut rasa gentar dari hati musuh-musuh kamu, dan mencampakkan wahan pada hati kamu.” Kami bertanya: “Apakah wahan itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Senang dunia dan benci kematian.”[23]
Kemudian malapetaka nasionalisme hadir di kalangan masyarakat Arab. Lorans, seorang Yahudi mendatangi para Gubernur dan kepala suku Arab dengan berkata: “Mengapa kalian bangsa Arab, rela menerima Khalifah dari bangsa Ajam (Utsmaniyah di Turki)? Kenapa bangsa asing yang menguasai negeri kalian?” Jiwa nasionalisme mulai bangkit di kalangan masyarakat Arab pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX. Mula-mula muncul di daerah Syria, yang meratakan jalan bagi pengusiran terhadap pemerintahan asing (Turki). Dan anehnya, gerakan ini dipimpin oleh sebagian orang-orang Kristen yang tidak memiliki ikatan akidah dan agama dengan penguasa Turki yang Muslim. Mereka telah terdidik dengan pendidikan Barat yang mengagungkan nasionalisme.
Kemudian terjadilah Perang Dunia I (1914-1918), yang memberi peluang bagi beberapa daerah Arab untuk melepaskan diri dari Imperium Utsmani. Pasukan sekutu tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mereka meniupkan terompet nasionalisme Arab. Lorans yang cerdik melakukan aksinya dengan menyalakan semangat nasionalisme Arab dan memprovokasi Arab untuk mengadakan perlawanan terhadap Turki. Lalu bangkitlah Syarif Husein di Hijaz dan penduduk Syria di Syria. Mereka lebih mengutamakan bergabung di bawah bendera sekutu yang dipimpin Inggris.
Pada saat penguasa negara-negara Barat menyaksikan negeri-negeri Islam telah terpecah belah sebagai implikasi dari lahirnya jiwa nasionalisme di dunia Islam, mereka juga tidak memiliki persenjataan modern yang berat, dan tenggelam dalam perang saudara yang melemahkan pemerintahan pusat di Istanbul, maka negara-negara Barat menetapkan untuk melakukan agresi militer secara sistematis dan dalam skala yang luas terhadap negeri-negeri Muslim dari segala penjuru sebagaimana diisyaratkan dalam hadits di atas.[24] Dan pada akhirnya, jatuhlah negri-negri Muslim dalam cengkeramaan imperialisme Barat.
Dengan pemaparan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa : ”kemunduran umat Islam bukanlah disebabkan oleh ajaran tashawuf yang selalu menekankan pengorbanan jiwa dan raga dalam mendekatkan diri kepada Allah serta mengajarkan senantiasa mendahulukan kepentingan agama dan meningkatkan kezuhudan dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sebaliknya, kemunduran umat Islam tersebut disebabkan oleh sikap kaum Muslimin yang telah menjauhi nilai-nilai sentral dalam ajaran Islam, yaitu nilai-nilai yang diajarkan dalam tashawuf seperti kezuhudan dan kemudahan mengorbankan jiwa dan raga dalam menegakkan agama”.


Daftar Rujukan

Abdullathif, Nuruddin Muslim, Al-Tashawwuf wa Hajat Al-Mujtama’ Ilaihi, tp., tt.
Abu Al-Syabab, Dr. Ahmad ‘Awadh, Al-Khawarij Tarikhuhum Firaquhum wa ‘Aqa’iduhum, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2005.
Abu Hamid ibn Marzuq, Al-Tawassul bi Al-Nabiy wa bi Al-Shalihin, Hakikat Kitabevi, Istanbul, 1993.
Al-‘Azhimabadi, Abu Al-Thayyib Muhammad Syamsuddin Al-Haqq, ‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Dar El-Fikr, Beirut, 1979.
Al-Alusi, Sayid Syihabuddin Abu Al-Tsana’ Mahmud ibn Abdullah Al-Husaini, Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim wa Al-Sab’i Al-Matsani, Dar El-Fikr, Beirut 1992.
Al-Asfarayini, Al-Tabshir fi Al-Din wa Tamyiz Al-Firqah Al-Najiyah ‘an Al-Firaq Al-Halikin, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1988.
Al-Ashbahi, Al-Mujtahid Abu Abdillah Malik ibn Anas, Al-Muwaththa’, di-tahqiq oleh Muhammad Fu`ad Abdul Baqi, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2000.
Al-Ashfahani, Al-Hafizh Abu Nu’aim Ahmad ibn Abdullah, Hilyat Al-Auliya’ wa Thabaqat Al-Ashfiya’, Dar El-Fikr, Beirut, tt.
Al-Asy’ari, Abu Al-Hasan Ali ibn Isma’il, Risalah Istihsan Al-Khaudh fi ‘Ilm Al-Kalam, di-tahqiq oleh Muhammad Al-Wali, Dar Al-Masyari’, Beirut, 1995.
Al-Baghdadi, Isma’il Pasha ibn Muhammad Amin, Idhah Al-Maknun fi Al-Dzail ‘ala Kasyf Al-Zhunun ‘an Asami Al-Kutub wa Al-Funun, Dar El-Fikr, Beirut, 1982.
Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Fiqh Al-Sirah, Dar El-Fikr, Beirut, 1990.
Al-Dahlawi, Waliyullah Ahmad ibn Abdurrahim, Al-Inshaf fi Bayan Sabab Al-Ikhtilaf, Hakikat Kitabevi, Istanbul, 2005.
Al-Darimi, Abu Muhammad Abdullah ibn ‘Abdurrahman, Sunan Al-Darimi, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1987.
Al-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad, Tadzikrat Al-Huffazh, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, tt.
--------, Tarikh Al-Islam wa Thabaqat Al-Masyahir wa Al-A’lam, Beirut.
Al-Ghazali, Hujjatul-Islam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad, Ihya’ ‘Ulum Al-Din, Dar El-Fikr, Beirut, 1991.
--------, Al-Muqidz min Al-Dhalal, di-tahqiq oleh Abdul Halim Mahmud, Dar Al-Ma’arif, Kairo, 1998.
Al-Hasyimi, Abdul Mun’im, Al-Imam Abu Hanifah, Dar Ibn Katsir, Damaskus, 1996.
Al-Maliki, Muhammad ibn ‘Alwi, Al-Risalat Al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha, Sahar, Jeddah, 1990.
Al-Maturidi, Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud, Al-Tauhid, di-tahqiq oleh Dr. Fathullah Khulaif, Maktabah Islamiyah, Istanbul.
Al-Nabhani, Yusuf ibn Isma’il, Hujjatullah ‘Ala Al-‘Alamin fi Mu’jizat Sayyid Al-Mursalin, Dar El-Fikr, Beirut, tt.
Al-Nadwi, Sayid Abu Al-Hasan ‘Ali Al-Hasani, Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Dar Al-Syuruq, Beirut, 1984.
Al-Nasa`i, Abu ‘Abdirrahman Ahmad ibn Syu’aib, Sunan Al-Nasa`i, di-syarh oleh Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, di-hasyiyah oleh Muhammad Hayat Al-Sindi, Dar El-Fikr, Beirut, 1930.
Al-Nawawi, Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf, Syarh Shahih Muslim, Dar El-Fikr, Beirut.
Al-Qari, Mulla ‘Ali ibn Sulthan Muhammad, Mirqat Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashabih, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2001.
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad, Al-Jami’ li-Ahkam Al-Qur’an, Dar El-Fikr, Beirut.
Al-Sa’id, Walid, Tabyin Dhalalat Al-Albani Syaikh Al-Wahhabiyyah Al-Mutamahdits, Dar Al-Masyari’, Beirut, 2000.
Al-Sarraj, Abu Nashr Abdullah ibn ‘Ali Al-Thusi, Al-Luma’ fi Tarikh Al-Tashwwuf Al-Islami, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2001.
Al-Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurrahman ibn Abi Bakar, Al-Durr Al-Mantsur fi Al-Tafsir bi Al-Ma’tsur, Dar El-Fikr, Beirut.
--------, Al-Jami’ Al-Shaghir fi Ahadits Al-Basyir Al-Nadzir, Al-Hidayah, Surabaya, tt.
--------, Tarikh Al-Khulafa’, Dar El-Fikr, Beirut, tt.
Ibn Al-Atsir, ‘Izzuddin Abu Al-Hasan Muhammad ibn Muhammad Al-Jazari, Al-Kamil fi Al-Tarikh, Dar Shadir, Beirut, 1965.
--------, Usd Al-Ghabah fi Ma’rifat Al-Shahabah, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut.
Ibn Al-Jauzi, Abu Al-Faraj ‘Abdurrahman ibn ‘Ali, Talbis Iblis, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2002.
--------, Zad Al-Masir fi ‘Ilm Al-Tafsir, Dar El-Fikr, Beirut, 1992.
--------, Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa Al-Umam, Dar Shadir, Beirut.
--------, Shifat Al-Shafawah, Dar Al-Wa’y, Halab, 1969.
Ibn Hajar, Abu Al-Fahdl Ahmad ibn ‘Ali Al-’Asqalani, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Dar El-Fikr, Beirut, 1993.
--------, Al-Ishabah fi Tamyiz Al-Shahabah, Al-Sa’adah, Kairo, 1328.
Ibn Hazm, Abu Muhammad Ali ibn Ahmad Al-Andalusi, Al-Fishal fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa Al-Nihal, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1983.
Ibn Katsir, Abu Al-Fida’ Isma’il ibn ‘Umar, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Maktabah Al-Ma’arif, Beirut, 1985.
--------, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi, Beirut, tt.
Ibn Majah, Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, di-tahqiq oleh Muhammad Fu`ad Abdul Baqi, Dar El-Fikr, Beirut, tt.
Ibn Rajab, Abu Al-Faraj ‘Abdurrahman ibn Ahmad Al-Hanbali, Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam fi Syarh Khamsin Haditsan min Jawami’ Al-Kalim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut.
Jali, Dr. Ahmad Muhammad Ahmad, Dirasat ‘an Al-Firaq fi Tarikh Al-Muslimin Al-Khawarij wa Al-Syi’ah, Markaz Al-Malik Faishal, Riyadh, 1988.




[1]   Ibid, hal. 38-44.
[2]   Ibid, hal. 113.
[3]   Abu Nashr Abdullah ibn Ali Al-Sarraj Al-Thusi, Al-Luma’ fi Tarikh Al-Tashawwuf Al-Islami, hal. 24-25.
[4]   Nuruddin Muslim Abdullathif, Al-Tashawwuf wa Hajat Al-Mujtama’ Ilaih, hal. 20.
[5]   Al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyat Al-Auliya’, juz I, hal. 20.
[6]   Al-Sarraj Al-Thusi, Al-Luma’ fi Tarikh Al-Tashawwuf Al-Islami, hal. 27.
[7]   Abu Al-Muzhaffar Al-Asfarayini, Al-Tabshir fi Al-Din, hal. 117.
[8]   Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat Al-Tashawwuf, hal. 7-10.
[9]   Al-Hafizh Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, juz XI, hal. 113-114.
[10]             Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat Al-Tashawwuf, hal. 17-18.
[11]             Sayid Abu Al-Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi, Rijal Al-Fikr wa Al-Da’wah, juz I, hal. 281-283.
[12]             Ibid, juz II, hal. 853.
[13]             Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat Al-Tashawwuf, hal. 14-15.
[14]             Abu Al-Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi, Madza Khasira Al-‘Alam bi Inhithath Al-Muslimin, hal. 340.
[15]             Abdullah Nashih ‘Alwan, Tarbiyat Al-Aulad fi Al-Islam, juz II, hal. 857-858.
[16]             Sayid Nur Sayid Ali, Al-Tashawwuf Al-Syar’iy, hal. 52.
[17]             Abdul Wahhab Al-Sya’rani, Al-Thabaqat Al-Kubra, juz II, hal. 5.
[18]             Al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyat Al-Auliya’, juz X, hal. 40 dan Sayid Nur Sayid Ali, Al-Tashwwuf Al-Syar’iy, hal. 34-35.
[19]             Abu Al-Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi, Rijal Al-Fikr wa Al-Da’wah, juz I, hal. 259.
[20]             Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud, Qadhiyyat Al-Tashawwuf, hal. 16.
[21]             Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’, hal. 393.
[22]             Ibid, hal. 429.
[23]             Musnad Ahmad, hadits nomor 8356.
[24]             Sayid Nur Sayid Ali, Al-Tashawwuf Al-Syar’iy, hal. 57-59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar