Jumat, 08 Juni 2012

KONSEP DASAR ILMU FIQIH NAHDLIYAH


Konsep Dasar

Ilmu Fiqih Nahdliyah



A. Urgensitas Ilmu Fiqih
Unsur pertama yang menjadi pilar ajaran Islam adalah fiqih. Urgensitas ilmu fiqih dalam Islam tidak diragukan lagi. Ia adalah sistem kehidupan yang memiliki kesempurnaan, keabadian dan sekian banyak keistimewaan. Ia menjadi penghimpun dan perajut tali persatuan umat Islam. Ia menjadi sumber kehidupan mereka. Umat Islam akan hidup selama hukum-hukum fiqih masih direalisasikan. Dan mereka akan mati apabila pengamalan fiqih telah sirna dari muka bumi. Fiqih juga bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kehidupan mereka di mana pun mereka berada. Ia menjadi salah satu kebanggaan terbesar umat Islam yang membedakannya dengan undang-undang positif produk pemikiran manusia.
Pertama, fiqih memiliki fondasi wahyu ilahi. Karakter fiqih yang pertama adalah sumbernya yang jelas yaitu berasal dari wahyu Ilahi yang termaktub dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Sehingga, setiap mujtahid yang menelusuri (istinbath) hukum-hukum fiqih dibatasi dengan teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah, dalil-dalil yang menjadi cabangnya secara langsung, petunjuk-petunjuk yang menjadi jiwa syari’ah, tujuan-tujuan umum syari’ah (maqashid ‘ammah), kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip syari’ah yang bersifat universal (kulli). Oleh sebab itu, fiqih lahir ke dunia dengan pertumbuhan yang sempurna, struktur yang benar dan dasar yang kokoh, karena prinsip-prinsip, kaedah-kaedah dan pokok-pokoknya telah sempurna dan ditanamkan pada masa turunnya wahyu kepada Rasulullah saw.
Kedua, fiqih bersifat universal. Karakter fiqih yang kedua adalah cakupannya terhadap semua tuntutan kehidupan. Dalam hal ini fiqih menjamah tiga aspek dalam hubungan manusia: hubungannya dengan Tuhan; hubungannya dengan dirinya dan; hubungannya dengan sosial. Dari sini, fiqih memiliki fungsi duniawi dan ukhrawi. Fungsi dalam agama dan negara, memiliki sifat universal bagi seluruh manusia dan abadi hingga akhir masa. Hukum-hukumnya saling ditopang oleh keempat bagiannya yang menjadi unsur-unsurnya yaitu akidah, ibadah, akhlak dan keserasian hubungan (mu’amalah). Dengan demikian, dengan penuh kesadaran dan perasaan bertanggung jawab dalam mengamalkan fiqih, akan tercipta kedamaian, ketenangan, ketenteraman, keimanan, kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia.
Keitga, fiqih berkaitan dengan etika. Karakter fiqih yang ketiga adalah eksistensi hukum-hukumnya yang dipengaruhi oleh kaedah-kaedah etika. Bahkan fiqih berfungsi sebagai penyempurna dan penopang terhadap etika. Hal ini berbeda dengan undang-undang positif yang targetnya hanya bersifat personal yaitu upaya menjaga sistem dan memelihara stabilitas keamanan sosial, walaupun tidak jarang dengan mencampakkan sebagian prinsip-prinsip agama dan etika.
Apabila agama dan etika saling menopang dalam iklim interaksi yang harmonis, maka akan termanifestasi kesejahteraan dan kebahagiaan individu dan sosial serta akan tercipta jalan menuju keabadian dalam kenikmatan di akhirat nanti. Dan diakui bahwa keabadian adalah impian manusia sejak dulu. Sehingga dengan demikian target fiqih adalah kebaikan manusia itu sendiri di masa sekarang dan yang akan datang dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Dari sini, fiqih diakui sebagai sistem universal bagi umat manusia, bukan bagi umat Islam saja. Hukum-hukumnya yang sempurna sehingga tidak membiarkan satu persoalan pun luput dari sorotan hukum fiqih, menjadikannya sebagai undang-undang dasar bagi negara Islam dan umat Islam secara keseluruhan.[1]

B. Biografi Empat Imam Mazhab
Kaum Muslimin senantiasa menjadi dewan legislatif bagi dirinya sendiri dan bagi umat lain, sebagaimana diakui oleh Wells dalam bukunya A Short History of the World yang mengatakan: “Sesungguhnya Eropa ibarat sebuah kota bagi Islam, karena unsur terbesar dari undang-undang pemerintahan dan perdagangannya mengambil dari fiqih Islam.”[2]
Dalam dinamika perkembangan fiqih Islam melalui aktifitas ijtihad, ada empat Imam mazhab fiqih yang populer dalam dunia Islam hingga kini. Dan dalam tataran riil, dalam perjalanan sejarah umat Islam, mazhab fiqih yang dibangun oleh keempat Imam mazhab tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Keempat Imam mazhab tersebut adalah:
1. Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha Al-Kufi. Ia lahir pada tahun 80 H/699 M di Anbar, kota yang termasuk bagian dari propinsi Kufah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia. Kakeknya, Zutha berasal dari Kabul, Afganistan yang sebelumnya masuk bagian wilayah Persia. Ketika Tsabit masih dalam kandungan, ia dibawa ke Kufah dan menetap di sini hingga Abu Hanifah lahir. Konon ketika Zutha bersama anaknya Tsabit berkunjung kepada Ali ibn Abi Thalib, dengan serta merta kedua orang ini didoakan agar mendapat keturunan yang luhur dan mulia.
Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Di kota ini ia mulai belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Selain pernah melakukan pengembaraan ke Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya. Di antara guru-guru yang ditemuinya adalah Hammad ibn Abu Sulaiman Al-Asy’ari (w. 120 H/738 M) faqih kota Kufah, ‘Atha’ ibn Abi Rabah (w. 114 H/732 M) faqih kota Makkah, ‘Ikrimah (w. 104 H/723 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Abbas, Nafi’ (w. 117 H/735 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Umar dan lain-lain. Ia juga belajar kepada ulama Ahlul-Bait seperti Zaid ibn Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir (57-114 H/676-732 M), Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/699-765 M) dan Abdullah ibn Al-Hasan. Ia juga pernah bertemu dengan beberapa orang sahabat seperti Anas ibn Malik (10 SH-93 H/612-712 M), Abdullah ibn Abi Aufa (w. 85 H/704 M) di Kufah, Sahal ibn Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/614-697 M) di Madinah dan Abu Al-Thufail Amir ibn Watsilah (w. 110 H/729 M) di Makkah.
Akan tetapi dari sekian banyak guru yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakter intelektual dan corak mazhab Abu Hanifah adalah Hammad ibn Abi Sulaiman. Ia belajar kepada Hammad selama 18 tahun sampai Hammad wafat. Dan setelah itu ia mengganti kedudukan Hammad mengajar di majlis ilmu fiqih di Kufah dengan gelar imam ahl al-ra’y (Pemimpin ulama ahlu al-ra’y). Dalam hal ini ia berkata: “Aku tidak menunaikan shalat kecuali mendoakan guruku Hammad dan setiap orang yang pernah mengajariku atau belajar kepadaku.”
Karya-karya Abu Hanifah yang sampai kepada kita adalah Kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Fiqh Al-Absath, Kitab Al-Risalah, Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim dan Kitab Al-Washiyyah. Dalam bidang fiqih, Abu Hanifah tidak menulis karangan. Akan tetapi, murid-muridnya telah merekam semua pandangan dan hasil ijtihad Abu Hanifah secara lengkap sehingga menjadi mazhab yang diikuti oleh kaum Muslimin. Di antara murid-muridnya adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Muhammad Al-Anshari (113-182 H/731-797 M), Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-805 M), Zufar ibn Al-Hudzail (110-157 H/729-774 M) dan Hasan ibn Ziyad Al-Lu’lu`i (w. 204 H/819 M).
Abu Hanifah diakui sebagai ulama besar dengan keluasan ilmu pengetahuannya dalam segala bidang studi keislaman sehingga ia merupakan imam mujtahid besar (al-imam al-a’zham) yang menjadi panutan kaum Muslimin sepanjang masa. Muhammad ibn Maslamah berkata: “Ilmu agama diturunkan oleh Allah kepada Nabi saw. Kemudian diturunkan kepada para sahabat. Kemudian diturunkan kepada tabi’in. Kemudian diturunkan kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya.”[3]
Imam Al-Syafi’i berkata: “Barangsiapa hendak mengetahui ilmu fiqih, maka belajarlah kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya. Karena manusia dalam bidang fiqih membutuhkan Abu Hanifah.”
Sufyan ibn ‘Uyainah, salah satu fuqaha Kufah berkata: “Ada dua perkara yang tidak aku sangka akan melampaui jembatan Kufah, qira’ah-nya Hamzah dan pandangan fiqih Abu Hanifah.”
Abu Hanifah membangun mazhabnya di atas fondasi Al-Kitab, Al-Sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Dewasa ini mazhab Hanafi diikuti oleh penduduk Turki dan negara-negara sekitarnya, negera-negara Asia Tengah bekas jajahan Rusia, Pakistan, Afganistan, India, Bangladesh dan sebagian penduduk Afrika dan Timur Tengah.
Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M.

2. Imam Malik Ibn Anas
Nama lengkapnya Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Abi ‘Amir Al-Ashbahi Al-‘Arabi. Lahir di kota Madinah pada tahun 95 H/713 M dan dibesarkan di daerah ini sampai meninggal pada tahun 179 H/795 M.
Kakeknya berasal dari Yaman kemudian pindah dan menetap di Madinah dan termasuk jajaran sahabat Rasulullah saw.
Ia termasuk ulama yang amat mencintai Madinah, sehingga seumur-umurnya belum pernah meninggalkan kota Madinah. Karenanya ia mempelajari ilmu-ilmu keislaman pada ulama-ulama yang berada di Madinah. Ia telah mengumpulkan ilmunya dari lebih 900 guru, 300 di antaranya berasal dari tabi’in. Akan tetapi dari sekian banyak guru yang ada, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter dan corak keilmuan Imam Malik adalah Rabi’ah ibn Abi Abdirrahman Al-Ra`y (w. 136 H/754 M) dalam bidang fiqih, Nafi’ maula Ibn Umar, Ibn Syihab Al-Zuhri (w. 124 H/742 M), Abu Al-Zanad (w. 131 H/749 M) dan Yahya ibn Sa’id Al-Anshari (w. 144 H/761 M) dalam bidang hadits.
Dalam menuntut ilmu, Imam Malik tergolong seorang yang sangat rajin, disamping kecerdasannya yang luar biasa, serta daya ingatnya yang sangat hebat, sehingga mengantarnya menjadi mujtahid besar dan pendiri mazhab Maliki. Dalam usianya yang masih belasan tahun, tujuh puluh ulama Madinah telah bersaksi bahwa Malik telah layak mengeluarkan fatwa. Dalam hal ini, Malik berkata: “Aku tidaklah mengeluarkan fatwa, sehingga tujuh puluh ulama bersaksi bahwa aku memang pantas untuk mengeluarkan fatwa.”
Keilmuan Imam Malik dalam bidang hadits mencapai puncak. Kitabnya Al-Muwaththa’ dinilai sebagai kodifikasi hadits sahih yang pertama kali. Sementara dalam ilmu fiqih, ia juga mencapai posisi yang menempatkannya sebagai satu-satunya faqih terhebat di Hijaz. Berbagai pujian dan penghargaan kepadanya mengalir dari ulama berbagai kalangan. Para fuqaha ahlu al-ra’y memujinya. Demikian pula para ulama ahli hadits memujinya. Malik dianggap sebagai tokoh utama oleh kedua golongan.
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah dan rekan Imam Malik berkata: “Aku tidak melihat seorang yang lebih alim daripada tiga orang: Malik ibn Anas, Ibn Abi Laila dan Abu Hanifah.”
Al-Syafi’i berkata: “Apabila hadits datang kepadamu dari Malik, maka peganglah kuat-kuat. Apabila hadits datang, maka Malik bintangnya. Apabila para ulama disebutkan, maka Malik bintangnya. Belum pernah seseorang mencapai kehebatan ilmu Malik.”
Ahmad ibn Hanbal berkata: “Malik termasuk salah satu penghulu ahli ilmu. Ia penghulu dalam fiqih dan hadits. Adakah orang seperti dia, mengikuti Al-Sunnah generasi terdahulu dengan akal yang sempurna dan adab yang bagus.”
Imam Malik membangun mazhabnya di atas fondasi Al-Kitab, Al-Sunnah, ijma’, qiyas, mashalih mursalah dan pengamalan penduduk Madinah. Dewasa ini mazhab Maliki diikuti oleh sebagian masyarakat Timur Tengah dan mayoritas penduduk Afrika Utara.
Para ulama menganggap bahwa munculnya Imam Malik ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadits: “Hampir datang suatu masa, orang-orang bepergian dengan cepat dari negeri-negeri yang jauh untuk mencari ilmu, lalu mereka tidak menemukan seorang yang lebih alim daripada seorang alim di Madinah.”[4] Sufyan ibn ‘Uyainah berkata, bahwa maksud seorang alim di Madinah dalam hadits tersebut adalah Malik ibn Anas.

3. Imam Al-Syafi’i
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn Al-Sa`ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abdi Yazid ibn Hasyim ibn Al-Muththalib ibn ‘Abdi Manaf ibn Qushay ibn Kilab Al-Qurasyi Al-Muththalibi Al-Syafi’i Al-Makki. Ia dilahirkan pada tahun 150 H/767 M di Gaza Palestina. Kakeknya yang keempat, Al-Sa`ib ibn ‘Ubaid termasuk jajaran sahabat Nabi saw. yang masuk Islam pada waktu peperangan Badar. Sedangkan anaknya Syafi’ ibn Al-Sa`ib termasuk jajaran sahabat generasi yunior.
Al-Syafi’i hidup dalam keadaan yatim. Ayahnya wafat sebelum Al-Syafi’i berusia dua tahun. Setelah ia berusia dua tahun, ibunya membawanya ke Makkah. Sehingga pendidikan Al-Syafi’i dimulainya di kota ini.
Ia memiliki kecerdasan dan daya hafal yang luar biasa. Sehingga ia telah hafal Al-Quran ketika berusia tujuh tahun dan hafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik ketika berusia sepuluh tahun. Setelah berusia lima belas tahun, ia telah mengeluarkan fatwa berdasarkan mandat dari gurunya Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H/813 M) dan Muslim ibn Khalid Al-Zanji (w. 179 H/795 M).
Setelah mencapai derajat mufti dalam bidang fiqih, Al-Syafi’i memperdalam bahasa dan sastra Arab ke pedalaman daerah suku Hudzail. Ia tinggal bersama mereka selama beberapa tahun. Kemudian setelah itu ia berangkat ke Madinah untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru kepada Imam Malik pengarang kitab Al-Muwaththa’. Di Madinah, selain berguru dan menjadi asisten tetap Imam Malik, Al-Syafi’i juga menimba ilmu dari para ulama Madinah yang lain seperti Ibrahim ibn Sa’ad Al-Anshari (w. 183 H/798 M), Abdul Aziz ibn Muhammad Al-Darawardi (w. 186 H/802 M) dan lain-lain.
Setelah Imam Malik wafat, selanjutnya Al-Syafi’i pergi ke Yaman dan menjadi kepala pemerintahan di Najran. Selanjutnya beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Iraq. Kemudian setelah sebentar di Iraq, ia pergi ke Makkah dengan menjalani aktifitas mengajar di Masjid Al-Haram selama sepuluh tahun. Di Makkah ia memperoleh gelar Al-Mufti Al-Makki dan Al-‘Alim Al-Makki, seorang mufti dan alim dari Makkah. Dalam sebagian riwayat diceritakan bahwa Al-Syafi’i menulis kitabnya Al-Risalah ketika mengajar di Makkah tersebut atas permintaan dari seorang ulama Iraq Imam Abdurrahman ibn Mahdi (135-198 H/752-813 M).
Setelah sepuluh tahun tinggal di Makkah, sekitar tahun 195 H akhirnya ia pergi ke Iraq yang kedua kalinya. Di sini, ia mulai membangun mazhabnya. Selama di Iraq, Al-Syafi’i banyak melakukan diskusi dan tukar pikiran dengan kalangan fuqaha ahlu al-ra’y yang mayoritas mereka adalah murid-murid Abu Hanifah. Dari berbagai diskusi ini, ia mendapat gelar nashir al-sunnah (pembela Al-Sunnah), karena dapat mengangkat derajat ahlu al-hadits di mata masyarakat yang sebelumnya selalu menjadi bulan-bulanan ahlu al-ra’y. Di Iraq ia menulis bukunya, Al-Hujjah yang menjadi sumber rujukan qaul qadim dalam mazhab Al-Syafi’i.
Beberapa saat kemudian tepatnya pada tahun 200 H, Al-Syafi’i memutuskan untuk meninggalkan Iraq dan berpindah ke Mesir. Di Mesir ia melakukan kaji ulang terhadap pendapat-pendapatnya ketika di Iraq, sehingga lahirlah pendapat-pendapat beliau yang baru yang disebut dengan qaul jadid. Al-Syafi’i wafat pada malam Kamis akhir bulan Rajab tahun 204 H/819 M dalam usia 55 tahun.
Al-Syafi’i adalah sosok mujtahid yang tiada tandingannya. Ia disepakati sebagai pendiri ilmu ushul fiqih yang dijadikan metode kajian dalam penggalian hukum Islam oleh berbagai mazhab fiqih. Mazhabnya diikuti oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Dan ia telah merekonsiliasikan antara mazhab ahlu al-hadits dengan mazhab ahlu al-ra’y sehingga melahirkan mazhab fiqih yang lebih moderat.
Kepakaran Al-Syafi’i diakui oleh semua ulama terkemuka baik oleh guru-gurunya maupun oleh murid-muridnya. Bahkan menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, Al-Syafi’i-lah yang dimaksud dengan hadits Rasulullah saw.: “Seorang alim dari suku Quraisy, ilmunya akan menyebar ke berbagai tempat di bumi.” Menurut para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Al-Hafizh Al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M), Al-Hafizh Al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) dan lain-lain: “Maksud seorang alim dari suku Quraisy dalam hadits tersebut adalah Al-Syafi’i. Karena belum pernah seorang alim dari suku Quraisy memiliki popularitas melebihi Al-Syafi’i. Sehingga hadits tersebut hanya tepat bagi Al-Syafi’i.”



4. Imam Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal Al-Syaibani. Orang tuanya berasal dari Marwa, bagian dari propinsi Khurasan. Dan ketika Ahmad masih dalam kandungan, orang tuanya pindah ke kota Baghdad, sehingga Ahmad lahir di sana pada Rabi’ul Awal tahun 164 H/781 M.
Ahmad ibn Hanbal adalah ulama yang berdiri di persimpangan jalan. Ia dianggap sebagai imam dalam berbagai ilmu keislaman seperti ilmu hadits, fiqih, Al-Sunnah, wara’, zuhud, tashawuf, ilmu kalam dan lain-lain. Ia mulai belajar ilmu-ilmu keislaman seperti Al-Quran, hadits, sejarah, bahasa Arab dan sebagaimanya melalui ulama-ulama yang ada di Baghdad.
Setelah berusia 16 tahun, ia mulai melakukan pengembaraan dalam rangka mencari ilmu ke pusat-pusat ilmu keislaman di Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Makkah dan Madinah. Kajian yang menjadi perhatiannya adalah hadits dan fiqih tanpa mengabaikan ilmu-ilmu lainnya seperti kalam, tashawuf dan ilmu-ilmu Al-Quran.
Sumber-sumber ilmu yang ia dapatkan antara lain berasal dari Husyaim ibn Basyir ibn Abi Khazim (104-183 H/723-799 M), Sufyan ibn ‘Uyainah, Ibrahim ibn Sa’ad, Yahya Al-Qaththan, Mu’tamar ibn Sulaiman, Isma’il ibn ‘Ulayyah, Waki’ ibn Al-Jarrah (127-197 H/745-812 M), Abdurrahman ibn Mahdi, ‘Abdurrazzaq ibn Hammam, Yahya ibn Adam, Walid ibn Hisyam Al-Thayalisi, Abu Yusuf, Al-Syafi’i dan lain-lain. Akan tetapi dari sekian banyak guru yang pernah ditemuinya, ada dua orang yang sangat berpengaruh dalam membentuk karakter intelektual Imam Ahmad ibn Hanbal. Yaitu Husyaim ibn Basyir yang pertama kali mengarahkan orientasi Ahmad untuk menekuni Al-Sunnah sehingga menjadi pakar hadits terkemuka pada masanya. Dan kedua adalah Imam Al-Syafi’i yang mengarahkan orientasinya kepada fiqih sehingga menjadi mujtahid dan pendiri mazhab fiqih Hanbali yang diikuti oleh umat Islam hingga kini.
Imam Ahmad ibn Hanbal adalah ulama hadits terkemuka, juga seorang faqih panutan umat. Kepakarannya dalam bidang fiqih telah disaksikan oleh para ulama terkemuka, baik oleh guru-gurunya maupun rekan sejawatnya. Imam Al-Syafi’i berkata: “Aku keluar dari Baghdad, dan aku tidak meninggalkan di sana seorang yang lebih faqih, lebih zuhud dan lebih wara’ daripada Ahmad ibn Hanbal.”
Al-Hafizh Ibn Hibban berkata: “Ahmad seorang hafizh yang sempurna, faqih dan menetapi kewara’an yang disembunyikannya.”
Sementara dalam bidang hadits, Ahmad diakui sebagai muhaddits dan faqih yang paling banyak hafalan haditsnya. Ia telah hafal satu juta hadits. Abbas ibn Al-Walid ibn Mazid berkata: “Aku bertanya kepada Imam Abu Mishar: “Tahukah Anda seorang yang menghafal seluruh hadits umat ini? Abu Mishar menjawab: “Aku tidak tahu. Kecuali seorang pemuda di daerah Timur, Ahmad ibn Hanbal.”
Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada awal Rabi’ul Awal tahun 241 H/855 M.

C. Ijtihad dan Taklid
Pembicaraan tentang fiqih Islam tidak akan sempurna tanpa membicarakan ijtihad dan taklid. Ijtihad dan taklid adalah dua unsur utama yang menjadi bagian dari dinamika sejarah fiqih Islam. Fiqih Islam dapat berkembang dengan pesat tidak lepas dari peran para ulama yang melakukan ijtihad dan peran umat Islam yang bertaklid terhadap hasil ijtihad mereka. Persoalannya sekarang adalah: “Adakah dalil-dalil agama yang melandasi eksistensi ijtihad dan taklid dalam koridor fiqih atau syari’ah Islam?” Tulisan berikut ini akan mengemukakan beberapa hadits dan bukti-bukti kesejarahan yang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut secara ilmiah.

1. Hadits Zaid ibn Tsabit
Dalam hadits Zaid ibn Tsabit, Rasulullah saw. bersabda: “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti ia pernah mendengarnya. Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits dariku tidak dapat memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak sedikit orang yang memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami daripada orang yang mendengar hadits itu secara langsung dariku.”[5]
Dalam hadits Nabi saw.: “Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka baginya satu pahala.”

2. Hadits Abu Hurairah dan Zaid Al-Juhani
Abu Hurairah dan Zaid ibn Khalid Al-Juhani (w. 68 H/688 M) berkata: “Ada seorang laki-laki bekerja sebagai buruh kepada seorang majikan. Lalu laki-laki itu berzina dengan istri majikannya. Lalu ayah laki-laki itu bertanya kepada orang-orang, prihal perbuatan anaknya. Lalu mereka memberi jawaban, bahwa anakmu harus menebus perbuatannya dengan membayar seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan pada majikannya. Lalu ayah itu membayar tebusan anaknya kepada majikan itu dengan seratus ekor kambing dan dan seorang budak perempuan. Lalu ayah laki-laki itu bertanya kepada para ulama sahabat, prihal perbuatan anaknya. Lalu mereka memberi jawaban, bahwa anakmu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Kemudian ayah itu beserta majikan anaknya menghadap kepada Rasulullah saw. dan melaporkan kejadian mereka kepada beliau. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Aku akan memutuskan antara kamu berdua berdasarkan kitab Allah. Adapun budak perempuan dan seratus ekor kambing itu, dikembalikan kepadamu. Dan atas anakmu berlaku hukuman cambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.”[6]
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak semua orang yang mendengar langsung hadits-hadits dari Rasul saw. dapat melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum. Ijtihad hanya boleh dan dapat dilakukan oleh para ulama tertentu yang memiliki ilmu pengetahuan yang memadai.

3. Bukti Kesejarahan
Dalam pemaparan berdasarkan beberapa hadits di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi saw. yang memiliki penguasaan mendalam terhadap susunan bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Quran Al-Karim dan Al-Sunnah dapat mengeluarkan fatwa. Dan kesimpulan ini akan semakin kelihatan dengan jelas, apabila kita perhatikan kitab-kitab mushthalah al-hadits yang disusun oleh para hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang studi ilmu hadits). Di sana akan kita dapati bahwa para mufti dari kalangan sahabat Nabi saw. tidak sampai sepuluh orang. Ada yang mengatakan hanya enam orang. Tetapi sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sekitar dua ratus orang sahabat Nabi saw. telah mencapai derajat mujtahid.[7]
Bahkan apabila kita mencermati buku-buku sejarah, akan kita dapati bahwa mayoritas umat Islam pada masa salaf (generasi abad I sampai abad III H) bukan mujtahid. Mereka menjadi muqallid (yang bertaklid) terhadap para mujtahid yang ada pada masa itu.
Berdasarkan pemaparan di atas kiranya dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ijtihad dan taklid termasuk fenomena keagamaan umat Islam yang eksistensinya diakui oleh agama dan dibuktikan oleh sejarah. Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Ijtihad hanya dapat dilakukan oleh sebagian kecil ulama terkemuka saja yang telah memenuhi sekian banyak persyaratan dalam hal keilmuan dan keagamaan.

D. Praktek Bermazhab
Menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dalam bidang fiqih, mereka mengikuti salah satu dari mazhab yang empat yaitu mazhab yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal. Dari sini lahir satu pertanyaan: “Apakah yang melandasi fiqih Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam bermazhab dengan mengikuti salah satu mazhab yang empat?” Tulisan ini berupaya memberikan jawaban ilmiah dan logis terhadap pertanyaan tersebut. Akan tetapi sebelum memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut, ada baiknya di sini dikemukakan terlebih dahulu tentang sejarah bermazhab dalam Islam dan urgensitas mengikuti salah satu mazhab yang empat, sehingga jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat disajikan lebih sistematis.

1. Sejarah Bermazhab
Menurut Waliyullah Al-Dahlawi (w. 1176/1762 M) – muhaddits dan faqih bermazhab Hanafi dari India -, pada abad pertama dan kedua Hijriah, masyarakat belum secara keseluruhan melakukan taklid terhadap satu mazhab fiqih tertentu. Abu Thalib Al-Makki (w. 386 H/996 M) dalam Qut Al-Qulub mengatakan: “Kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan pendapat para ulama adalah hal baru dalam Islam. Mengikuti pendapat para ulama, berfatwa sesuai dengan mazhab seorang ulama tertentu, mengambil pendapatnya, menceritakannya dalam setiap persoalan yang dihadapi dan mempercayai mazhabnya bukan hal yang populer pada abad pertama dan kedua Hijriah.” Dalam hukum-hukum yang menjadi kesepakatan kaum Muslimin dan para mujtahid, masyarakat pada waktu itu hanya mengikuti pemilik syari’ah. Sedangkan berkaitan dengan kewajiban sehari-hari seperti tata cara berwudhu, mandi, hukum-hukum shalat, zakat dan lain-lain, mereka belajar kepada orang tua dan guru-guru agama setempat secara turun temurun. Dan jika terjadi persoalan asing yang perlu penyelesaian hukum, mereka meminta fatwa kepada mufti yang mereka temui tanpa memandang mazhabnya secara khusus. Baru setelah abad kedua Hijriah, tradisi bermazhab dengan mengikuti mazhab-mazhab yang dibangun oleh para mujtahid, tersebar luas di kalangan masyarakat Muslim secara keseluruhan. Dan sedikit sekali pada waktu itu orang yang tidak bermazhab mengikuti mazhab mujtahid tertentu. Dan bermazhab inilah yang menjadi kewajiban mereka pada saat itu.[8]
Apabila kita perhatikan sejarah perkembangan mazhab fiqih yang ada, kita akan mendapati bahwa mazhab-mazhab tersebut berkembang dan diikuti oleh masyarakat sejak para imam mujtahid yang bersangkutan masih hidup. Berikut penjelasan singkat tentang perkembangan mazhab fiqih yang empat:
(a) Mazhab Hanafi adalah mazhab fiqih tertua yang berkembang hingga kini. Menurut para sejarawan, mazhab ini tersebar luas berkat jasa Imam Abu Yusuf (113-182 H/731-797 M), murid senior Imam Abu Hanifah, yang memangku jabatan hakim agung pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid (149-193 H/766-809 M) dan dua Khalifah sebelumnya. Al-Hafizh Al-Khathib Al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) berkata: “Abu Yusuf, adalah murid Abu Hanifah, faqih terhebat pada masanya, orang pertama yang menulis kitab-kitab ushul fiqih berdasarkan mazhab Abu Hanifah, mendiktekan dan menyebarkan sekian banyak masalah fiqih, dan menyebarkan ilmu Abu Hanifah di banyak daerah.”[9]
(b) Mazhab Maliki diakui oleh para sejarawan sebagai mazhab fiqih yang berkembang dan tersebar luas pada masa Imam Malik, pendiri mazhab. Mazhab Maliki dapat mendominasi negeri Mesir pada masa Malik. Menurut sebagian sejarawan, orang pertama yang menyebarkan mazhab Imam Malik di Mesir adalah Abdurrahman ibn Al-Qasim (w. 191 H/764 M), dan ada pula yang mengatakan Utsman ibn Al-Hakam Al-Judzami (w. 163 H/869 M).[10] Sedangkan tersebarluasnya mazhab Maliki di Andalusia berkat jasa ‘Isa ibn Dinar Al-Andalusi (w. 212 H/827 M) dan Yahya ibn Yahya Al-Laitsi (161-234 H/778-849 M).[11]
(c) Mazhab Syafi’i adalah mazhab fiqih terbesar yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Mazhab ini tersebar pada masa Imam Al-Syafi’i, dengan banyaknya para ulama yang belajar kepada beliau dan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat. Al-Hafizh Muhammad ibn Abdurrahman Al-Sakhawi (w. 902 H/1492 M) berkata: “Sesungguhnya Al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Isa Al-Marwazi (w. 293 H/906 M) yang menyebarkan mazhab Al-Syafi’i di Marwa dan Khurasan setelah sebelumnya disebarkan oleh Ahmad ibn Sayyar (w. 268 H/980 M). Sedangkan Al-Hafizh Abu ‘Awanah (w. 316 H/929 M) adalah orang pertama yang membawa mazhab Al-Syafi’i dan karangan-karangannya ke Asfarayin.”[12]
(d) Mazhab Hanbali adalah mazhab fiqih yang paling sedikit pengikutnya. Sedikitnya pengikut mazhab Hanbali ini disebabkan lahirnya mazhab ini setelah mazhab-mazhab besar lainnya terutama Hanafi, Maliki dan Syafi’i membumi dan tersosialisasi secara luas di kalangan masyarakat. Namun demikian, melalui murid-murid Imam Ahmad yang setia menyebarkan mazhabnya, seperti Abu Bakar Al-Marwazi (w. 275 H/898 M), Abdul Malik Al-Maimuni (w. 274 H/897 M) Ibrahim ibn Ishaq Al-Harbi (198-285 H/813-898 M) dan lain-lain, mazhab Hanbali dapat berkembang dan eksis hingga kini.[13]
Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa tradisi bermazhab terhadap mazhab-mazhab fiqih yang ada telah berlangsung sejak generasi salaf, bahkan sejak para imam mujtahid yang bersangkutan masih hidup, sebagaimana dapat dibaca dalam sejarah perkembangan mazhab-mazhab fiqih di atas. Dan bahwa tradisi bermazhab bukanlah dibuat oleh kalangan awam yang melakukan taklid untuk diri mereka sebagaimana asumsi sebagian kalangan. Bahkan disamping sebagai keniscayaan dari kondisi sosial umat Islam yang secara faktual sebagian besar tidak dapat melakukan ijtihad, tradisi bermazhab juga disebarkan oleh para ulama besar yang juga telah mencapai derajat mujtahid dan berguru secara langsung kepada para imam mujtahid yang bersangkutan.

2. Urgensitas Mengikuti Mazhab Empat
Dalam bidang fiqih, Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti salah satu dari mazhab yang empat, dalam mengikuti mazhab yang empat ini terdapat kemaslahatan yang besar, dan berpaling darinya akan menimbulkan mafsadah yang besar pula. Hal ini dapat
diuraikan melalui beberapa alasan:
(1) Kesepakatan umat Islam untuk berpegangan kepada generasi salaf pendahulu mereka dalam upaya mengetahui syari’ah. Generasi tabi’in berpegangan kepada generasi sahabat. Generasi setelah tabi’in berpegangan kepada generasi tabi’in. Dan demikian pula dalam setiap generasi, selalu berpegangan kepada generasi sebelumnya. Dan secara faktual yang dapat memenuhi kriteria dalam kemungkinan pertama tadi hanya mazhab yang empat (al-madzahib al-arba’ah).
(2) Mengikuti mazhab yang empat tersebut berarti mengikuti sabda Rasulullah saw.: “Ikutilah kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zham).” Hal ini berangkat dari suatu realitas sosial umat Islam, di mana setelah mazhab-mazhab yang benar telah punah kecuali mazhab yang empat ini, maka mengikutinya berarti mengikuti kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zham), dan keluar darinya berarti keluar dari kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zham).
(3) Setelah masa generasi salaf - yang dikatakan sebagai sebaik-baik generasi - semakin jauh dari masa kita sekarang dan amanat telah banyak diabaikan, maka kita tidak dibolehkan berpegangan kepada pendapat para ulama yang jahat seperti para hakim yang curang dan para mufti yang mengikuti hawa nafsunya, kecuali apabila mereka menisbahkan apa yang mereka katakan kepada sebagian ulama salaf yang dikenal jujur, agamis dan amanat, baik penisbahan itu secara eksplisit maupun secara implisit. Demikian pula kita tidak boleh berpegangan pada pendapat orang yang tidak kita ketahui apakah ia telah memenuhi syarat-syarat melakukan ijtihad atau tidak.”[14]




3. Mengapa Mengikuti Mazhab Empat?
Setelah dikemukakan tentang urgensitas bermazhab dengan mengikuti mazhab yang empat tersebut, kini saatnya dikemukakan jawaban terhadap pertanyaan di atas, yaitu: “Apakah yang melandasi Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam mengikuti salah satu dari mazhab yang empat, yaitu mazhab yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik ibn Anas, Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal?” Terdapat sekian banyak alasan dan dalil-dalil agama yang melandasi Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti salah satu mazhab yang empat tadi. Alasan-alasan dan dalil-dalil agama tersebut adalah sebagai berikut: Para imam mujtahid yang empat telah mendapat rekomendasi (tazkiyah/pujian) dari Rasulullah saw. agar diikuti oleh kaum Muslimin. Sehingga dengan adanya rekomendasi ini, tidak memungkinkan kaum Muslimin terjerumus dalam kesesatan dengan mengikuti mazhab mereka. Rekomendasi ini sifatnya ada dua macam:
a) Rekomendasi ijmali. Yaitu rekomendasi yang bersifat umum dari Rasulullah saw. tentang para imam mazhab yang empat. Rekomendasi ijmali ini dapat dilihat dengan memperhatikan masa kehidupan para imam mazhab yang empat. Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H, Imam Malik ibn Anas wafat pada tahun 179 H, Imam Al-Syafi’i wafat pada tahun 204 H dan Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada tahun 241 H. Dengan memperhatikan tahun wafatnya para imam yang empat ini dapat kita lihat bahwa mereka hidup pada masa generasi salaf, yaitu generasi yang dinilai sebagai sebaik-baik generasi (khair al-qurun) dan sebaik-baik umat berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian mereka yang datang setelahnya, kemudian mereka yang datang setelahnya.”[15] Berdasarkan hadits ini, mengikuti mazhab yang dibangun oleh imam mujtahid yang empat tersebut berarti mengikuti generasi salaf yang dinilai sebagai sebaik-baik generasi dan sebaik-baik umat.
b) Rekomendasi tafshili. Yaitu rekomendasi yang bersifat terperinci dari Rasulullah saw. menyangkut para imam mujtahid. Para imam mujtahid yang empat selain mendapat rekomendasi ijmali, yang masuk dalam hadits-hadits sahih seperti di atas, juga mendapat rekomendasi khusus atau tafshili dari Rasulullah saw. Misalnya berkaitan dengan Imam Abu Hanifah, Rasulullah saw. bersabda: “Andaikan ilmu agama itu bergantung di bintang tujuh, niscaya akan dijamah oleh orang-orang dari putra Parsi.”[16] Menurut para ulama seperti Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lain-lain, hadits tersebut paling tepat sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari keturunan bangsa Parsi, hanya Imam Abu Hanifah yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh banyak umat dari dulu hingga kini.
Berkaitan dengan Imam Malik ibn Anas, Rasulullah saw. bersabda: “Hampir datang suatu masa, orang-orang bepergian dengan cepat dari negeri-negeri yang jauh dalam rangka mencari ilmu, lalu mereka tidak menemukan orang yang lebih alim daripada seorang alim di Madinah.”[17] Menurut para ulama seperti Imam Sufyan ibn ‘Uyainah, Imam Ahmad ibn Hanbal, Al-Hafizh Al-Tirmidzi dan lain-lain, hadits tersebut sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap Imam Malik ibn Anas, pendiri mazhab Maliki. Karena dari sekian banyak ulama Madinah, hanya Imam Malik yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi, dan mazhabnya menjadi panutan kaum Muslimin hingga dewasa ini.
Berkaitan dengan Imam Al-Syafi’i, Rasulullah saw. bersabda: “Seorang alim dari suku Quraisy, ilmunya akan menyebar ke berbagai tempat di bumi.”[18] Menurut para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Al-Hafizh Al-Baihaqi, Al-Hafizh Abu Nu’aim, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lain-lain, hadits tersebut sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap Imam Al-Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i. Karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari suku Quraisy, hanya Imam Al-Syafi’i yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh mayoritas umat hingga kini. Sehingga hadits tersebut hanya tepat bagi Al-Syafi’i.
Selanjutnya, Imam Ahmad ibn Hanbal, adalah mujtahid terakhir di antara mereka dengan keistimewaan memiliki hafalan hadits terbanyak. Di antara sekian banyak mujtahid yang ada, beliau disepakati memiliki hafalan hadits terbanyak, dengan hafal sebanyak satu juta hadits. Dalam satu riwayat, ketika Al-Syafi’i tinggal di Mesir di akhir hayatnya, ia menyuruh muridnya, Al-Rabi’ ibn Sulaiman Al-Muradi (174-270 H/790-883 M) untuk menyampaikan suratnya kepada Imam Ahmad ibn Hanbal di Iraq. Setelah membacanya, Imam Ahmad langsung menangis. Al-Rabi’ bertanya, mengapa ia menangis? Ahmad menjawab: “Al-Syafi’i menyampaikan dalam suratnya bahwa ia telah bermimpi Rasulullah saw. dan bersabda: “Kirimkan surat kepada Ahmad ibn Hanbal dan sampaikan salamku. Katakan padanya, bahwa kamu akan mendapat ujian tentang kemakhlukan Al-Quran, karenanya jangan kamu ikuti pendapat mereka. Kami akan meninggikan derajatmu hingga hari kiamat.”[19]
Disamping hal tersebut di atas mereka (para imam madhab empat) terbukti memiliki ketajaman analisa terhadap persolan-persoalan yang dihadapi dengan akurasi yang tidak diragukan. Dan mereka tidak memiliki sifat-sifat kepribadian tercela dalam hal ilmu, pengamalan dan akidah. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan sejarah kehidupan mereka.[20]
a)  Imam Abu Hanifah misalnya memperoleh ilmunya dari para ulama terkemuka generasi tabi’in. Di antara guru-gurunya adalah Hammad ibn Abi Sulaiman, ‘Atha’ ibn Abi Rabah, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas, Nafi’ maula Ibn Umar dan lain-lain. Para ulama juga menilai Abu Hanifah sebagai mujtahid besar yang sulit tandingannya. Imam Al-Syafi’i berkata: “Manusia dalam bidang fiqih, membutuhkan Abu Hanifah.”
b)  Imam Malik ibn Anas berguru kepada para tabi’in kota Madinah, yang menjadi pewaris ilmu para sahabat yang tinggal di kota itu. Ketika berusia tujuh belas tahun, tujuh puluh ulama Madinah telah memberinya rekomendasi untuk mengeluarkan fawa.
c)  Imam Al-Syafi’i berguru kepada para ulama kota Makkah. Kemudian berguru kepada Imam Malik dan ulama Madinah yang lain. Kemudian berguru kepada Muhammad ibn Al-Hasan, murid dan pewaris ilmu Imam Abu Hanifah. Ketika berusia lima belas tahun, ia telah mendapat rekomendasi untuk mengeluarkan fatwa dari gurunya, Imam Sufyan ibn ‘Uyainah dan Imam Muslim ibn Khalid Al-Zanji.
d)  Imam Ahmad ibn Hanbal berguru kepada ratusan ulama, yang di antaranya Imam Abu Yusuf, murid senior Abu Hanifah, Imam Al-Syafi’i dan lain-lain. Ia seorang mujtahid yang disepakati paling banyak hafalan haditsnya. Para ulama terkemuka menyaksikan bahwa ia satu-satunya ulama pada masanya yang memelihara dan menghafal urusan agama umat dan menjadi hujjah bagi kaum Muslimin.
Agaknya dari pemaparan di atas dapatlah dijawab pertanyaan: “Apakah yang mendasari Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam bermazhab dan mengikuti mazhab yang empat?” Ahlussunnah Wal-Jama’ah memilih untuk bermazhab dan mengikuti mazhab yang empat tersebut, adalah karena dilandasi oleh empat faktor; 1) perintah Al-Quran Al-Karim, 2) rekomendasi dari Rasulullah saw., 3) kesepakatan para ulama, dan 4) dalam faktor keilmuan, pengamalan dan akidah para imam mazhab yang empat tersebut tidak didapati sifat-sifat kepribadian yang tercela berdasarkan kesepakatan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah.



[1]   Muhammad ibn ‘Alwi Al-Maliki, Al-Risalat Al-Islamiyyah Kamaluha wa Khluduha wa ‘Alamiyyatuha, hal. 60-69.
[2]   Muhammad ibn ‘Alwi Al-Maliki, Muhammad SAW. Al-Insan Al-Kamil, hal. 303-305.
[3]   Al-Hafizh Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz XIII, hal. 336.
[4]   Sunan Al-Tirmidzi, hadits nomor 2604 dan Musnad Ahmad ibn Hanbal, hadits nomor 7639.
[5]   Sunan Al-Tirmidzi, hadits nomor 2580, 2581 dan 2583; Sunan Abi Dawud, hadits nomor 3175; Sunan Ibn Majah, hadits nomor 226 dan lain-lain.
[6]   Shahih Al-Bukhari, hadits nomor 6656; dan Shahih Muslim, hadits nomor 1353.
[7]   Al-Hafizh Taqiyyuddin Ibn Al-Shalah, ‘Ulum Al-Hadits, hal. 296-297 dan Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi Syarh Taqrib Al-Nawawi, juz II, hal. 218-219.
[8]   Waliyullah Al-Dahlawi, Al-Inshaf fi Bayan Sabab Al-Ikhtilaf, hal. 28-30 dengan disederhanakan.
[9]   Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz XIV, hal. 246.
[10]             Kamil Muhammad ‘Uwaidhah, Malik ibn Anas, hal. 122.
[11]             Muhammad Al-Khudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, hal. 235.
[12]             Prof. Dr. Faruq Abdul Mu’thi, Al-Imam Al-Syafi’i, hal. 154.
[13]             Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Al-Imam Ahmad ibn Hanbal, hal. 46.
[14]             Waliyullah Al-Dahlawi, ‘Iqd Al-Jid fi Ahkam Al-Ijtihad wa Al-Taqlid, hal. 56.
[15]             Shahih Al-Bukhari, hadits nomor 2457; Shahih Muslim, hadits nomor 4603 dan lain-lain.
[16]             Musnad Ahmad ibn Hanbal, hadits nomor 7609, 9071, 9095 dan 9677.
[17]             Sunan Al-Tirmidzi, hadits nomor 2604 dan Musnad Ahmad ibn Hanbal, hadits nomor 7639.
[18]             Al-Hafizh Al-Baihaqi, Manaqib Al-Imam Al-Syafi’i, juz I, hal. 54; Al-Hafizh Al-Munawi, Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami’ Al-Shaghir, juz II, hal. 105 dan Al-‘Ajluni, Kasyf Al-Khafa’ wa Muzil Al-Ilbas, hadits no. 1701.
[19]             Dawud ibn Sulaiman Al-Baghdadi, Asyadd Al-Jihad fi Ibthal Da’wa Al-Ijtihad, hal. 9.
[20]             Dawud ibn Sulaiman Al-Baghdadi, Asyadd Al-Jihad fi Ibthal Da’wa Al-Ijtihad, hal. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar