Konsep Dasar
Ilmu Fiqih Nahdliyah
A. Urgensitas
Ilmu Fiqih
Unsur pertama yang menjadi pilar ajaran Islam
adalah fiqih. Urgensitas ilmu fiqih dalam Islam tidak diragukan lagi. Ia adalah
sistem kehidupan yang memiliki kesempurnaan, keabadian dan sekian banyak
keistimewaan. Ia menjadi
penghimpun dan perajut tali persatuan umat Islam. Ia menjadi sumber kehidupan
mereka. Umat Islam akan hidup selama hukum-hukum fiqih masih direalisasikan.
Dan mereka akan mati apabila pengamalan fiqih telah sirna dari muka bumi. Fiqih
juga bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kehidupan mereka di mana pun
mereka berada. Ia menjadi salah satu kebanggaan terbesar umat Islam yang
membedakannya dengan undang-undang positif produk pemikiran manusia.
Pertama, fiqih memiliki fondasi wahyu ilahi. Karakter
fiqih yang pertama adalah sumbernya yang jelas yaitu berasal dari wahyu Ilahi
yang termaktub dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Sehingga, setiap mujtahid
yang menelusuri (istinbath) hukum-hukum fiqih dibatasi dengan teks-teks
Al-Quran dan Al-Sunnah, dalil-dalil yang menjadi cabangnya secara
langsung, petunjuk-petunjuk yang menjadi jiwa syari’ah, tujuan-tujuan umum
syari’ah (maqashid ‘ammah), kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip syari’ah
yang bersifat universal (kulli). Oleh sebab itu, fiqih lahir ke dunia
dengan pertumbuhan yang sempurna, struktur yang benar dan dasar yang kokoh,
karena prinsip-prinsip, kaedah-kaedah dan pokok-pokoknya telah sempurna dan
ditanamkan pada masa turunnya wahyu kepada Rasulullah saw.
Kedua, fiqih bersifat universal. Karakter fiqih yang
kedua adalah cakupannya terhadap semua tuntutan kehidupan. Dalam hal ini fiqih
menjamah tiga aspek dalam hubungan manusia: hubungannya dengan Tuhan;
hubungannya dengan dirinya dan; hubungannya dengan sosial. Dari sini, fiqih
memiliki fungsi duniawi dan ukhrawi. Fungsi dalam agama dan negara, memiliki
sifat universal bagi seluruh manusia dan abadi hingga akhir masa.
Hukum-hukumnya saling ditopang oleh keempat bagiannya yang menjadi
unsur-unsurnya yaitu akidah, ibadah, akhlak dan keserasian hubungan (mu’amalah).
Dengan demikian, dengan penuh kesadaran dan perasaan bertanggung jawab dalam
mengamalkan fiqih, akan tercipta kedamaian, ketenangan, ketenteraman, keimanan,
kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia.
Keitga, fiqih berkaitan dengan etika. Karakter fiqih
yang ketiga adalah eksistensi hukum-hukumnya yang dipengaruhi oleh
kaedah-kaedah etika. Bahkan fiqih berfungsi sebagai penyempurna dan penopang
terhadap etika. Hal ini berbeda dengan undang-undang positif yang targetnya
hanya bersifat personal yaitu upaya menjaga sistem dan memelihara stabilitas
keamanan sosial, walaupun tidak jarang dengan mencampakkan sebagian
prinsip-prinsip agama dan etika.
Apabila agama dan etika saling menopang dalam
iklim interaksi yang harmonis, maka akan termanifestasi kesejahteraan dan
kebahagiaan individu dan sosial serta akan tercipta jalan menuju keabadian
dalam kenikmatan di akhirat nanti. Dan diakui bahwa keabadian adalah impian
manusia sejak dulu. Sehingga dengan demikian target fiqih adalah kebaikan
manusia itu sendiri di masa sekarang dan yang akan datang dan kebahagiaan
mereka di dunia dan akhirat.
Dari sini, fiqih diakui sebagai sistem universal
bagi umat manusia, bukan bagi umat Islam saja. Hukum-hukumnya yang sempurna
sehingga tidak membiarkan satu persoalan pun luput dari sorotan hukum fiqih,
menjadikannya sebagai undang-undang dasar bagi negara Islam dan umat Islam
secara keseluruhan.[1]
B. Biografi
Empat Imam Mazhab
Kaum Muslimin senantiasa menjadi dewan legislatif
bagi dirinya sendiri dan bagi umat lain, sebagaimana diakui oleh Wells dalam
bukunya A Short History of the World yang mengatakan: “Sesungguhnya
Eropa ibarat sebuah kota bagi Islam, karena unsur terbesar dari undang-undang
pemerintahan dan perdagangannya mengambil dari fiqih Islam.”[2]
Dalam dinamika perkembangan fiqih Islam melalui
aktifitas ijtihad, ada empat Imam mazhab fiqih yang populer dalam dunia Islam
hingga kini. Dan dalam tataran riil, dalam perjalanan sejarah umat Islam,
mazhab fiqih yang dibangun oleh keempat Imam mazhab tersebut menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Keempat Imam mazhab tersebut
adalah:
1. Imam Abu
Hanifah
Nama lengkapnya Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit
ibn Zutha Al-Kufi. Ia lahir pada tahun 80 H/699 M di Anbar, kota yang termasuk
bagian dari propinsi Kufah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia. Kakeknya,
Zutha berasal dari Kabul, Afganistan yang sebelumnya masuk bagian wilayah
Persia. Ketika Tsabit masih dalam kandungan, ia dibawa ke Kufah dan menetap di
sini hingga Abu Hanifah lahir. Konon ketika Zutha bersama anaknya Tsabit
berkunjung kepada Ali ibn Abi Thalib, dengan serta merta kedua orang ini
didoakan agar mendapat keturunan yang luhur dan mulia.
Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Di kota ini ia
mulai belajar dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Selain pernah melakukan
pengembaraan ke Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan
dan memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya. Di antara guru-guru
yang ditemuinya adalah Hammad ibn Abu Sulaiman Al-Asy’ari (w. 120 H/738 M) faqih
kota Kufah, ‘Atha’ ibn Abi Rabah (w. 114 H/732 M) faqih kota Makkah,
‘Ikrimah (w. 104 H/723 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Abbas,
Nafi’ (w. 117 H/735 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah ibn Umar dan
lain-lain. Ia juga belajar kepada ulama Ahlul-Bait seperti Zaid ibn Ali
Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir (57-114 H/676-732 M),
Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/699-765 M) dan Abdullah ibn Al-Hasan.
Ia juga pernah bertemu dengan beberapa orang sahabat seperti Anas ibn Malik (10
SH-93 H/612-712 M), Abdullah ibn Abi Aufa (w. 85 H/704 M) di Kufah, Sahal ibn
Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/614-697 M) di Madinah dan Abu Al-Thufail Amir ibn
Watsilah (w. 110 H/729 M) di Makkah.
Akan tetapi dari sekian banyak guru yang paling
berpengaruh dalam pembentukan karakter intelektual dan corak mazhab Abu Hanifah
adalah Hammad ibn Abi Sulaiman. Ia belajar kepada Hammad selama 18 tahun sampai
Hammad wafat. Dan setelah itu ia mengganti kedudukan Hammad mengajar di majlis
ilmu fiqih di Kufah dengan gelar imam ahl al-ra’y (Pemimpin ulama ahlu
al-ra’y). Dalam hal ini ia berkata: “Aku tidak menunaikan shalat kecuali
mendoakan guruku Hammad dan setiap orang yang pernah mengajariku atau belajar
kepadaku.”
Karya-karya Abu Hanifah yang sampai kepada kita
adalah Kitab Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Al-Fiqh Al-Absath, Kitab Al-Risalah,
Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim dan Kitab Al-Washiyyah. Dalam bidang
fiqih, Abu Hanifah tidak menulis karangan. Akan tetapi, murid-muridnya telah
merekam semua pandangan dan hasil ijtihad Abu Hanifah secara lengkap sehingga
menjadi mazhab yang diikuti oleh kaum Muslimin. Di antara murid-muridnya adalah
Abu Yusuf Ya’qub ibn Muhammad Al-Anshari (113-182 H/731-797 M), Muhammad ibn
Al-Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-805 M), Zufar ibn Al-Hudzail (110-157
H/729-774 M) dan Hasan ibn Ziyad Al-Lu’lu`i (w. 204 H/819 M).
Abu Hanifah diakui sebagai ulama besar dengan
keluasan ilmu pengetahuannya dalam segala bidang studi keislaman sehingga ia
merupakan imam mujtahid besar (al-imam al-a’zham) yang menjadi panutan
kaum Muslimin sepanjang masa. Muhammad ibn Maslamah berkata: “Ilmu agama
diturunkan oleh Allah kepada Nabi saw. Kemudian diturunkan kepada para sahabat.
Kemudian diturunkan kepada tabi’in. Kemudian diturunkan kepada Abu Hanifah dan
murid-muridnya.”[3]
Imam Al-Syafi’i berkata: “Barangsiapa hendak
mengetahui ilmu fiqih, maka belajarlah kepada Abu Hanifah dan murid-muridnya.
Karena manusia dalam bidang fiqih membutuhkan Abu Hanifah.”
Sufyan ibn ‘Uyainah, salah satu fuqaha Kufah berkata:
“Ada dua perkara yang tidak aku sangka akan melampaui jembatan Kufah, qira’ah-nya
Hamzah dan pandangan fiqih Abu Hanifah.”
Abu Hanifah membangun mazhabnya di atas fondasi
Al-Kitab, Al-Sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Dewasa ini
mazhab Hanafi diikuti oleh penduduk Turki dan negara-negara sekitarnya,
negera-negara Asia Tengah bekas jajahan Rusia, Pakistan, Afganistan, India,
Bangladesh dan sebagian penduduk Afrika dan Timur Tengah.
Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M.
2. Imam Malik
Ibn Anas
Nama lengkapnya Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn
Abi ‘Amir Al-Ashbahi Al-‘Arabi. Lahir di kota Madinah pada tahun 95 H/713 M dan
dibesarkan di daerah ini sampai meninggal pada tahun 179 H/795 M.
Kakeknya berasal dari Yaman kemudian pindah dan
menetap di Madinah dan termasuk jajaran sahabat Rasulullah saw.
Ia termasuk ulama yang amat mencintai Madinah,
sehingga seumur-umurnya belum pernah meninggalkan kota Madinah. Karenanya ia
mempelajari ilmu-ilmu keislaman pada ulama-ulama yang berada di Madinah. Ia
telah mengumpulkan ilmunya dari lebih 900 guru, 300 di antaranya berasal dari
tabi’in. Akan tetapi dari sekian banyak guru yang ada, yang sangat berpengaruh
dalam pembentukan karakter dan corak keilmuan Imam Malik adalah Rabi’ah ibn Abi
Abdirrahman Al-Ra`y (w. 136 H/754 M) dalam bidang fiqih, Nafi’ maula Ibn
Umar, Ibn Syihab Al-Zuhri (w. 124 H/742 M), Abu Al-Zanad (w. 131 H/749 M) dan
Yahya ibn Sa’id Al-Anshari (w. 144 H/761 M) dalam bidang hadits.
Dalam menuntut ilmu, Imam Malik tergolong seorang
yang sangat rajin, disamping kecerdasannya yang luar biasa, serta daya ingatnya
yang sangat hebat, sehingga mengantarnya menjadi mujtahid besar dan pendiri
mazhab Maliki. Dalam usianya yang masih belasan tahun, tujuh puluh ulama
Madinah telah bersaksi bahwa Malik telah layak mengeluarkan fatwa. Dalam hal
ini, Malik berkata: “Aku tidaklah mengeluarkan fatwa, sehingga tujuh puluh
ulama bersaksi bahwa aku memang pantas untuk mengeluarkan fatwa.”
Keilmuan Imam Malik dalam bidang hadits mencapai
puncak. Kitabnya Al-Muwaththa’ dinilai sebagai kodifikasi hadits sahih
yang pertama kali. Sementara dalam ilmu fiqih, ia juga mencapai posisi yang
menempatkannya sebagai satu-satunya faqih terhebat di Hijaz. Berbagai
pujian dan penghargaan kepadanya mengalir dari ulama berbagai kalangan. Para
fuqaha ahlu al-ra’y memujinya. Demikian pula para ulama ahli hadits
memujinya. Malik dianggap sebagai tokoh utama oleh kedua golongan.
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah dan rekan Imam Malik
berkata: “Aku tidak melihat seorang yang lebih alim daripada tiga orang: Malik
ibn Anas, Ibn Abi Laila dan Abu Hanifah.”
Al-Syafi’i berkata: “Apabila hadits datang
kepadamu dari Malik, maka peganglah kuat-kuat. Apabila hadits datang, maka Malik bintangnya.
Apabila para ulama disebutkan, maka Malik bintangnya. Belum pernah seseorang
mencapai kehebatan ilmu Malik.”
Ahmad ibn Hanbal berkata: “Malik termasuk salah
satu penghulu ahli ilmu. Ia penghulu dalam fiqih dan hadits. Adakah orang
seperti dia, mengikuti Al-Sunnah generasi terdahulu dengan akal yang
sempurna dan adab yang bagus.”
Imam Malik membangun mazhabnya di atas fondasi
Al-Kitab, Al-Sunnah, ijma’, qiyas, mashalih mursalah dan
pengamalan penduduk Madinah. Dewasa ini mazhab Maliki diikuti oleh sebagian
masyarakat Timur Tengah dan mayoritas penduduk Afrika Utara.
Para ulama menganggap bahwa munculnya Imam Malik
ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadits: “Hampir
datang suatu masa, orang-orang bepergian dengan cepat dari negeri-negeri yang
jauh untuk mencari ilmu, lalu mereka tidak menemukan seorang yang lebih alim
daripada seorang alim di Madinah.”[4] Sufyan ibn ‘Uyainah berkata, bahwa maksud
seorang alim di Madinah dalam hadits tersebut adalah Malik ibn Anas.
3. Imam
Al-Syafi’i
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad ibn Idris
ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn Al-Sa`ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abdi Yazid ibn
Hasyim ibn Al-Muththalib ibn ‘Abdi Manaf ibn Qushay ibn Kilab Al-Qurasyi
Al-Muththalibi Al-Syafi’i Al-Makki. Ia dilahirkan pada tahun 150 H/767 M di
Gaza Palestina. Kakeknya yang keempat, Al-Sa`ib ibn ‘Ubaid termasuk jajaran
sahabat Nabi saw. yang masuk Islam pada waktu peperangan Badar. Sedangkan
anaknya Syafi’ ibn Al-Sa`ib termasuk jajaran sahabat generasi yunior.
Al-Syafi’i hidup dalam keadaan yatim. Ayahnya wafat sebelum Al-Syafi’i berusia dua tahun. Setelah ia
berusia dua tahun, ibunya membawanya ke Makkah. Sehingga pendidikan Al-Syafi’i
dimulainya di kota
ini.
Ia memiliki kecerdasan dan daya hafal yang luar biasa. Sehingga ia
telah hafal Al-Quran ketika berusia tujuh tahun dan hafal kitab Al-Muwaththa’
karya Imam Malik ketika berusia sepuluh tahun. Setelah berusia lima belas tahun, ia telah
mengeluarkan fatwa berdasarkan mandat dari gurunya Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198
H/813 M) dan Muslim ibn Khalid Al-Zanji (w. 179 H/795 M).
Setelah mencapai derajat mufti dalam bidang fiqih, Al-Syafi’i
memperdalam bahasa dan sastra Arab ke pedalaman daerah suku Hudzail. Ia tinggal
bersama mereka selama beberapa tahun. Kemudian setelah itu ia berangkat ke
Madinah untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru kepada Imam Malik pengarang
kitab Al-Muwaththa’. Di Madinah, selain berguru dan menjadi asisten
tetap Imam Malik, Al-Syafi’i juga menimba ilmu dari para ulama Madinah yang
lain seperti Ibrahim ibn Sa’ad Al-Anshari (w. 183 H/798 M), Abdul Aziz ibn
Muhammad Al-Darawardi (w. 186 H/802 M) dan lain-lain.
Setelah Imam Malik wafat, selanjutnya Al-Syafi’i pergi ke Yaman dan
menjadi kepala pemerintahan di Najran. Selanjutnya beberapa tahun kemudian, ia
pergi ke Iraq.
Kemudian setelah sebentar di Iraq,
ia pergi ke Makkah dengan menjalani
aktifitas mengajar di Masjid Al-Haram selama sepuluh tahun. Di Makkah ia memperoleh gelar Al-Mufti
Al-Makki dan Al-‘Alim Al-Makki, seorang mufti dan alim dari Makkah.
Dalam sebagian riwayat diceritakan bahwa Al-Syafi’i menulis kitabnya Al-Risalah
ketika mengajar di Makkah tersebut atas permintaan dari seorang ulama Iraq Imam
Abdurrahman ibn Mahdi (135-198 H/752-813 M).
Setelah sepuluh tahun tinggal di Makkah, sekitar
tahun 195 H akhirnya ia pergi ke Iraq yang kedua kalinya. Di sini, ia mulai
membangun mazhabnya. Selama di Iraq, Al-Syafi’i banyak melakukan diskusi dan
tukar pikiran dengan kalangan fuqaha ahlu al-ra’y yang mayoritas mereka
adalah murid-murid Abu Hanifah. Dari berbagai diskusi ini, ia mendapat gelar nashir
al-sunnah (pembela Al-Sunnah), karena dapat mengangkat derajat ahlu
al-hadits di mata masyarakat yang sebelumnya selalu menjadi bulan-bulanan ahlu
al-ra’y. Di Iraq ia menulis bukunya, Al-Hujjah yang menjadi sumber
rujukan qaul qadim dalam mazhab Al-Syafi’i.
Beberapa saat kemudian tepatnya pada tahun 200 H,
Al-Syafi’i memutuskan untuk meninggalkan Iraq dan berpindah ke Mesir. Di Mesir
ia melakukan kaji ulang terhadap pendapat-pendapatnya ketika di Iraq, sehingga
lahirlah pendapat-pendapat beliau yang baru yang disebut dengan qaul jadid.
Al-Syafi’i wafat pada malam Kamis akhir bulan Rajab tahun 204 H/819 M dalam
usia 55 tahun.
Al-Syafi’i adalah sosok mujtahid yang tiada
tandingannya. Ia disepakati sebagai pendiri ilmu ushul fiqih yang dijadikan
metode kajian dalam penggalian hukum Islam oleh berbagai mazhab fiqih.
Mazhabnya diikuti oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Dan ia telah
merekonsiliasikan antara mazhab ahlu al-hadits dengan mazhab ahlu
al-ra’y sehingga melahirkan mazhab fiqih yang lebih moderat.
Kepakaran Al-Syafi’i diakui oleh semua ulama
terkemuka baik oleh guru-gurunya maupun oleh murid-muridnya. Bahkan menurut
Imam Ahmad ibn Hanbal, Al-Syafi’i-lah yang dimaksud dengan hadits Rasulullah
saw.: “Seorang alim dari suku Quraisy, ilmunya akan menyebar ke berbagai
tempat di bumi.” Menurut para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal,
Al-Hafizh Al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M), Al-Hafizh Al-Suyuthi (849-910
H/1445-1505 M) dan lain-lain: “Maksud seorang alim dari suku Quraisy dalam
hadits tersebut adalah Al-Syafi’i. Karena belum pernah seorang alim dari suku
Quraisy memiliki popularitas melebihi Al-Syafi’i. Sehingga hadits tersebut
hanya tepat bagi Al-Syafi’i.”
4. Imam Ahmad
Ibn Hanbal
Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad
ibn Hanbal ibn Hilal Al-Syaibani. Orang tuanya berasal dari Marwa, bagian dari
propinsi Khurasan. Dan ketika Ahmad masih dalam kandungan, orang tuanya pindah
ke kota Baghdad, sehingga Ahmad lahir di sana pada Rabi’ul Awal tahun 164 H/781
M.
Ahmad ibn Hanbal adalah ulama yang berdiri di
persimpangan jalan. Ia dianggap sebagai imam dalam berbagai ilmu keislaman
seperti ilmu hadits, fiqih, Al-Sunnah, wara’, zuhud, tashawuf, ilmu
kalam dan lain-lain. Ia mulai belajar ilmu-ilmu keislaman seperti Al-Quran,
hadits, sejarah, bahasa Arab dan sebagaimanya melalui ulama-ulama yang ada di
Baghdad.
Setelah berusia 16 tahun, ia mulai melakukan
pengembaraan dalam rangka mencari ilmu ke pusat-pusat ilmu keislaman di Kufah,
Basrah, Syria, Yaman, Makkah dan Madinah. Kajian yang menjadi perhatiannya
adalah hadits dan fiqih tanpa mengabaikan ilmu-ilmu lainnya seperti kalam,
tashawuf dan ilmu-ilmu Al-Quran.
Sumber-sumber ilmu yang ia dapatkan antara lain
berasal dari Husyaim ibn Basyir ibn Abi Khazim (104-183 H/723-799 M), Sufyan
ibn ‘Uyainah, Ibrahim ibn Sa’ad, Yahya Al-Qaththan, Mu’tamar ibn Sulaiman,
Isma’il ibn ‘Ulayyah, Waki’ ibn Al-Jarrah (127-197 H/745-812 M), Abdurrahman
ibn Mahdi, ‘Abdurrazzaq ibn Hammam, Yahya ibn Adam, Walid ibn Hisyam
Al-Thayalisi, Abu Yusuf, Al-Syafi’i dan lain-lain. Akan tetapi dari sekian
banyak guru yang pernah ditemuinya, ada dua orang yang sangat berpengaruh dalam
membentuk karakter intelektual Imam Ahmad ibn Hanbal. Yaitu Husyaim ibn Basyir
yang pertama kali mengarahkan orientasi Ahmad untuk menekuni Al-Sunnah
sehingga menjadi pakar hadits terkemuka pada masanya. Dan kedua adalah Imam
Al-Syafi’i yang mengarahkan orientasinya kepada fiqih sehingga menjadi mujtahid
dan pendiri mazhab fiqih Hanbali yang diikuti oleh umat Islam hingga kini.
Imam Ahmad ibn Hanbal adalah ulama hadits
terkemuka, juga seorang faqih panutan umat. Kepakarannya dalam bidang
fiqih telah disaksikan oleh para ulama terkemuka, baik oleh guru-gurunya maupun
rekan sejawatnya. Imam Al-Syafi’i berkata: “Aku keluar dari Baghdad, dan aku
tidak meninggalkan di sana seorang yang lebih faqih, lebih zuhud dan lebih
wara’ daripada Ahmad ibn Hanbal.”
Al-Hafizh Ibn Hibban berkata: “Ahmad seorang
hafizh yang sempurna, faqih dan menetapi kewara’an yang
disembunyikannya.”
Sementara dalam bidang hadits, Ahmad diakui
sebagai muhaddits dan faqih yang paling banyak hafalan haditsnya.
Ia telah hafal satu juta hadits. Abbas ibn Al-Walid ibn Mazid berkata: “Aku
bertanya kepada Imam Abu Mishar: “Tahukah Anda seorang yang menghafal seluruh
hadits umat ini? Abu Mishar menjawab: “Aku tidak tahu. Kecuali seorang pemuda
di daerah Timur, Ahmad ibn Hanbal.”
Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada awal Rabi’ul Awal
tahun 241 H/855 M.
C. Ijtihad dan
Taklid
Pembicaraan tentang fiqih Islam tidak akan
sempurna tanpa membicarakan ijtihad dan taklid. Ijtihad dan taklid adalah dua
unsur utama yang menjadi bagian dari dinamika sejarah fiqih Islam. Fiqih Islam
dapat berkembang dengan pesat tidak lepas dari peran para ulama yang melakukan
ijtihad dan peran umat Islam yang bertaklid terhadap hasil ijtihad mereka.
Persoalannya sekarang adalah: “Adakah dalil-dalil agama yang melandasi
eksistensi ijtihad dan taklid dalam koridor fiqih atau syari’ah Islam?” Tulisan
berikut ini akan mengemukakan beberapa hadits dan bukti-bukti kesejarahan yang
dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut secara ilmiah.
1. Hadits Zaid ibn Tsabit
Dalam hadits Zaid ibn Tsabit, Rasulullah saw.
bersabda: “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu
ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti ia pernah mendengarnya.
Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits dariku tidak dapat
memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak sedikit orang yang
memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami daripada orang yang
mendengar hadits itu secara langsung dariku.”[5]
Dalam hadits Nabi saw.: “Apabila seorang hakim
melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu
ijtihadnya keliru, maka baginya satu pahala.”
2. Hadits Abu Hurairah dan Zaid Al-Juhani
Abu Hurairah dan Zaid ibn Khalid Al-Juhani (w. 68
H/688 M) berkata: “Ada seorang laki-laki bekerja sebagai buruh kepada seorang
majikan. Lalu laki-laki itu berzina dengan istri majikannya. Lalu ayah
laki-laki itu bertanya kepada orang-orang, prihal perbuatan anaknya. Lalu
mereka memberi jawaban, bahwa anakmu harus menebus perbuatannya dengan membayar
seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan pada majikannya. Lalu ayah itu
membayar tebusan anaknya kepada majikan itu dengan seratus ekor kambing dan dan
seorang budak perempuan. Lalu ayah laki-laki itu bertanya kepada para ulama
sahabat, prihal perbuatan anaknya. Lalu mereka memberi jawaban, bahwa anakmu
harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Kemudian ayah itu
beserta majikan anaknya menghadap kepada Rasulullah saw. dan melaporkan
kejadian mereka kepada beliau. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Aku akan
memutuskan antara kamu berdua berdasarkan kitab Allah. Adapun budak perempuan
dan seratus ekor kambing itu, dikembalikan kepadamu. Dan atas anakmu berlaku
hukuman cambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.”[6]
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak semua orang
yang mendengar langsung hadits-hadits dari Rasul saw. dapat melakukan ijtihad
dalam menetapkan hukum. Ijtihad hanya boleh dan dapat dilakukan oleh para ulama
tertentu yang memiliki ilmu pengetahuan yang memadai.
3. Bukti Kesejarahan
Dalam pemaparan berdasarkan beberapa hadits di
atas kiranya dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi saw. yang
memiliki penguasaan mendalam terhadap susunan bahasa Arab yang terdapat dalam
Al-Quran Al-Karim dan Al-Sunnah dapat mengeluarkan fatwa. Dan kesimpulan
ini akan semakin kelihatan dengan jelas, apabila kita perhatikan kitab-kitab mushthalah
al-hadits yang disusun oleh para hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi
dalam bidang studi ilmu hadits). Di sana akan kita dapati bahwa para mufti dari
kalangan sahabat Nabi saw. tidak sampai sepuluh orang. Ada yang mengatakan
hanya enam orang. Tetapi sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sekitar dua
ratus orang sahabat Nabi saw. telah mencapai derajat mujtahid.[7]
Bahkan apabila kita mencermati buku-buku sejarah,
akan kita dapati bahwa mayoritas umat Islam pada masa salaf (generasi abad I
sampai abad III H) bukan mujtahid. Mereka menjadi muqallid (yang
bertaklid) terhadap para mujtahid yang ada pada masa itu.
Berdasarkan pemaparan di atas kiranya dapat
mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ijtihad dan taklid termasuk fenomena
keagamaan umat Islam yang eksistensinya diakui oleh agama dan dibuktikan oleh
sejarah. Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Ijtihad hanya dapat
dilakukan oleh sebagian kecil ulama terkemuka saja yang telah memenuhi sekian
banyak persyaratan dalam hal keilmuan dan keagamaan.
D. Praktek
Bermazhab
Menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dalam bidang
fiqih, mereka mengikuti salah satu dari mazhab yang empat yaitu mazhab yang
dibangun oleh Imam Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Al-Syafi’i dan Ahmad ibn
Hanbal. Dari sini lahir satu pertanyaan: “Apakah yang melandasi fiqih
Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam bermazhab dengan mengikuti salah satu mazhab yang
empat?” Tulisan ini berupaya memberikan jawaban ilmiah dan logis terhadap
pertanyaan tersebut. Akan tetapi sebelum memberikan jawaban terhadap pertanyaan
tersebut, ada baiknya di sini dikemukakan terlebih dahulu tentang sejarah
bermazhab dalam Islam dan urgensitas mengikuti salah satu mazhab yang empat,
sehingga jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat disajikan lebih sistematis.
1. Sejarah Bermazhab
Menurut Waliyullah Al-Dahlawi (w. 1176/1762 M) – muhaddits
dan faqih bermazhab Hanafi dari India -, pada abad pertama dan kedua
Hijriah, masyarakat belum secara keseluruhan melakukan taklid terhadap satu
mazhab fiqih tertentu. Abu Thalib Al-Makki (w. 386 H/996 M) dalam Qut
Al-Qulub mengatakan: “Kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan pendapat para ulama
adalah hal baru dalam Islam. Mengikuti pendapat para ulama, berfatwa sesuai
dengan mazhab seorang ulama tertentu, mengambil pendapatnya, menceritakannya
dalam setiap persoalan yang dihadapi dan mempercayai mazhabnya bukan hal yang
populer pada abad pertama dan kedua Hijriah.” Dalam hukum-hukum yang menjadi
kesepakatan kaum Muslimin dan para mujtahid, masyarakat pada waktu itu hanya
mengikuti pemilik syari’ah. Sedangkan berkaitan dengan kewajiban sehari-hari
seperti tata cara berwudhu, mandi, hukum-hukum shalat, zakat dan lain-lain,
mereka belajar kepada orang tua dan guru-guru agama setempat secara turun
temurun. Dan jika terjadi persoalan asing yang perlu penyelesaian hukum, mereka
meminta fatwa kepada mufti yang mereka temui tanpa memandang mazhabnya secara
khusus. Baru setelah abad kedua Hijriah, tradisi bermazhab dengan mengikuti
mazhab-mazhab yang dibangun oleh para mujtahid, tersebar luas di kalangan
masyarakat Muslim secara keseluruhan. Dan sedikit sekali pada waktu itu orang
yang tidak bermazhab mengikuti mazhab mujtahid tertentu. Dan bermazhab inilah
yang menjadi kewajiban mereka pada saat itu.[8]
Apabila kita perhatikan sejarah perkembangan
mazhab fiqih yang ada, kita akan mendapati bahwa mazhab-mazhab tersebut berkembang
dan diikuti oleh masyarakat sejak para imam mujtahid yang bersangkutan masih
hidup. Berikut penjelasan singkat tentang perkembangan mazhab fiqih yang empat:
(a) Mazhab Hanafi adalah
mazhab fiqih tertua yang berkembang hingga kini. Menurut para sejarawan, mazhab
ini tersebar luas berkat jasa Imam Abu Yusuf (113-182 H/731-797 M), murid
senior Imam Abu Hanifah, yang memangku jabatan hakim agung pada masa Khalifah
Harun Al-Rasyid (149-193 H/766-809 M) dan dua Khalifah sebelumnya. Al-Hafizh
Al-Khathib Al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) berkata: “Abu Yusuf, adalah
murid Abu Hanifah, faqih terhebat pada masanya, orang pertama yang
menulis kitab-kitab ushul fiqih berdasarkan mazhab Abu Hanifah, mendiktekan dan
menyebarkan sekian banyak masalah fiqih, dan menyebarkan ilmu Abu Hanifah di
banyak daerah.”[9]
(b) Mazhab Maliki diakui
oleh para sejarawan sebagai mazhab fiqih yang berkembang dan tersebar luas pada
masa Imam Malik, pendiri mazhab. Mazhab Maliki dapat mendominasi negeri Mesir
pada masa Malik. Menurut sebagian sejarawan, orang pertama yang menyebarkan
mazhab Imam Malik di Mesir adalah Abdurrahman ibn Al-Qasim (w. 191 H/764 M),
dan ada pula yang mengatakan Utsman ibn Al-Hakam Al-Judzami (w. 163 H/869 M).[10] Sedangkan tersebarluasnya mazhab Maliki di Andalusia berkat jasa ‘Isa ibn
Dinar Al-Andalusi (w. 212
H/827 M) dan Yahya ibn Yahya Al-Laitsi (161-234 H/778-849 M).[11]
(c) Mazhab Syafi’i adalah
mazhab fiqih terbesar yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Mazhab ini tersebar pada masa Imam Al-Syafi’i, dengan banyaknya para ulama yang
belajar kepada beliau dan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat. Al-Hafizh
Muhammad ibn Abdurrahman Al-Sakhawi (w. 902 H/1492 M) berkata: “Sesungguhnya
Al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Isa Al-Marwazi (w. 293 H/906 M) yang
menyebarkan mazhab Al-Syafi’i di Marwa dan Khurasan setelah sebelumnya
disebarkan oleh Ahmad ibn Sayyar (w. 268 H/980 M). Sedangkan Al-Hafizh Abu
‘Awanah (w. 316 H/929 M) adalah orang pertama yang membawa mazhab Al-Syafi’i
dan karangan-karangannya ke Asfarayin.”[12]
(d) Mazhab Hanbali adalah
mazhab fiqih yang paling sedikit pengikutnya. Sedikitnya pengikut mazhab
Hanbali ini disebabkan lahirnya mazhab ini setelah mazhab-mazhab besar lainnya
terutama Hanafi, Maliki dan Syafi’i membumi dan tersosialisasi secara luas di
kalangan masyarakat. Namun demikian, melalui murid-murid Imam Ahmad yang setia
menyebarkan mazhabnya, seperti Abu Bakar Al-Marwazi (w. 275 H/898 M), Abdul
Malik Al-Maimuni (w. 274 H/897 M) Ibrahim ibn Ishaq Al-Harbi (198-285 H/813-898
M) dan lain-lain, mazhab Hanbali dapat berkembang dan eksis hingga kini.[13]
Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya dapat
disimpulkan bahwa tradisi bermazhab terhadap mazhab-mazhab fiqih yang ada telah
berlangsung sejak generasi salaf, bahkan sejak para imam mujtahid yang
bersangkutan masih hidup, sebagaimana dapat dibaca dalam sejarah perkembangan
mazhab-mazhab fiqih di atas. Dan bahwa tradisi bermazhab bukanlah dibuat oleh
kalangan awam yang melakukan taklid untuk diri mereka sebagaimana asumsi
sebagian kalangan. Bahkan disamping sebagai keniscayaan dari kondisi sosial
umat Islam yang secara faktual sebagian besar tidak dapat melakukan ijtihad,
tradisi bermazhab juga disebarkan oleh para ulama besar yang juga telah
mencapai derajat mujtahid dan berguru secara langsung kepada para imam mujtahid
yang bersangkutan.
2. Urgensitas Mengikuti Mazhab Empat
Dalam bidang fiqih, Ahlussunnah Wal-Jama’ah
mengikuti salah satu dari mazhab yang empat, dalam mengikuti mazhab yang empat
ini terdapat kemaslahatan yang besar, dan berpaling darinya akan menimbulkan
mafsadah yang besar pula. Hal ini dapat
diuraikan melalui beberapa alasan:
(1) Kesepakatan umat Islam
untuk berpegangan kepada generasi salaf pendahulu mereka dalam upaya mengetahui
syari’ah. Generasi tabi’in berpegangan kepada generasi sahabat. Generasi
setelah tabi’in berpegangan kepada generasi tabi’in. Dan demikian pula dalam
setiap generasi, selalu berpegangan kepada generasi sebelumnya. Dan secara
faktual yang dapat memenuhi kriteria dalam kemungkinan pertama tadi hanya
mazhab yang empat (al-madzahib al-arba’ah).
(2) Mengikuti mazhab yang
empat tersebut berarti mengikuti sabda Rasulullah saw.: “Ikutilah kelompok
mayoritas (al-sawad al-a’zham).” Hal ini berangkat dari suatu realitas
sosial umat Islam, di mana setelah mazhab-mazhab yang benar telah punah kecuali
mazhab yang empat ini, maka mengikutinya berarti mengikuti kelompok mayoritas (al-sawad
al-a’zham), dan keluar darinya berarti keluar dari kelompok mayoritas (al-sawad
al-a’zham).
(3) Setelah masa generasi salaf
- yang dikatakan sebagai sebaik-baik generasi - semakin jauh dari masa kita
sekarang dan amanat telah banyak diabaikan, maka kita tidak dibolehkan
berpegangan kepada pendapat para ulama yang jahat seperti para hakim yang
curang dan para mufti yang mengikuti hawa nafsunya, kecuali apabila mereka
menisbahkan apa yang mereka katakan kepada sebagian ulama salaf yang dikenal
jujur, agamis dan amanat, baik penisbahan itu secara eksplisit maupun secara
implisit. Demikian pula kita tidak boleh berpegangan pada pendapat orang yang
tidak kita ketahui apakah ia telah memenuhi syarat-syarat melakukan ijtihad
atau tidak.”[14]
3. Mengapa Mengikuti Mazhab Empat?
Setelah dikemukakan tentang urgensitas bermazhab
dengan mengikuti mazhab yang empat tersebut, kini saatnya dikemukakan jawaban
terhadap pertanyaan di atas, yaitu: “Apakah yang melandasi Ahlussunnah
Wal-Jama’ah dalam mengikuti salah satu dari mazhab yang empat, yaitu mazhab
yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik ibn Anas, Imam Al-Syafi’i dan
Imam Ahmad ibn Hanbal?” Terdapat sekian banyak alasan dan dalil-dalil agama
yang melandasi Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti salah satu mazhab yang empat
tadi. Alasan-alasan dan dalil-dalil agama tersebut adalah sebagai berikut: Para
imam mujtahid yang empat telah mendapat rekomendasi (tazkiyah/pujian)
dari Rasulullah saw. agar diikuti oleh kaum Muslimin. Sehingga dengan adanya
rekomendasi ini, tidak memungkinkan kaum Muslimin terjerumus dalam kesesatan
dengan mengikuti mazhab mereka. Rekomendasi ini sifatnya ada dua macam:
a) Rekomendasi ijmali.
Yaitu rekomendasi yang bersifat umum dari Rasulullah saw. tentang para imam
mazhab yang empat. Rekomendasi ijmali ini dapat dilihat dengan
memperhatikan masa kehidupan para imam mazhab yang empat. Imam Abu Hanifah
wafat pada tahun 150 H, Imam Malik ibn Anas wafat pada tahun 179 H, Imam
Al-Syafi’i wafat pada tahun 204 H dan Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada tahun
241 H. Dengan memperhatikan tahun wafatnya para imam yang empat ini dapat kita
lihat bahwa mereka hidup pada masa generasi salaf, yaitu generasi yang dinilai
sebagai sebaik-baik generasi (khair al-qurun) dan sebaik-baik umat
berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Sebaik-baik umatku adalah generasiku,
kemudian mereka yang datang setelahnya, kemudian mereka yang datang setelahnya.”[15] Berdasarkan hadits ini, mengikuti mazhab
yang dibangun oleh imam mujtahid yang empat tersebut berarti mengikuti generasi
salaf yang dinilai sebagai sebaik-baik generasi dan sebaik-baik umat.
b) Rekomendasi tafshili.
Yaitu rekomendasi yang bersifat terperinci dari Rasulullah saw. menyangkut para
imam mujtahid. Para imam mujtahid yang empat selain mendapat rekomendasi ijmali,
yang masuk dalam hadits-hadits sahih seperti di atas, juga mendapat rekomendasi
khusus atau tafshili dari Rasulullah saw. Misalnya berkaitan dengan Imam
Abu Hanifah, Rasulullah saw. bersabda: “Andaikan ilmu agama itu bergantung
di bintang tujuh, niscaya akan dijamah oleh orang-orang dari putra Parsi.”[16] Menurut para ulama seperti Al-Hafizh Al-Suyuthi
dan lain-lain, hadits tersebut paling tepat sebagai isyarat dan rekomendasi
terhadap Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Karena dari sekian banyak
ulama yang berasal dari keturunan bangsa Parsi, hanya Imam Abu Hanifah yang
memiliki reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh banyak umat dari
dulu hingga kini.
Berkaitan dengan Imam Malik ibn Anas, Rasulullah
saw. bersabda: “Hampir datang suatu masa, orang-orang bepergian dengan cepat
dari negeri-negeri yang jauh dalam rangka mencari ilmu, lalu mereka tidak
menemukan orang yang lebih alim daripada seorang alim di Madinah.”[17] Menurut para ulama seperti Imam Sufyan
ibn ‘Uyainah, Imam Ahmad ibn Hanbal, Al-Hafizh Al-Tirmidzi dan lain-lain,
hadits tersebut sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap Imam Malik ibn Anas,
pendiri mazhab Maliki. Karena dari sekian banyak ulama Madinah, hanya Imam
Malik yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi, dan mazhabnya menjadi
panutan kaum Muslimin hingga dewasa ini.
Berkaitan dengan Imam Al-Syafi’i, Rasulullah saw.
bersabda: “Seorang alim dari suku Quraisy, ilmunya akan menyebar ke berbagai
tempat di bumi.”[18] Menurut para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal,
Al-Hafizh Al-Baihaqi, Al-Hafizh Abu Nu’aim, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lain-lain,
hadits tersebut sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap Imam Al-Syafi’i,
pendiri mazhab Syafi’i. Karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari suku
Quraisy, hanya Imam Al-Syafi’i yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi
dan diikuti oleh mayoritas umat hingga kini. Sehingga hadits tersebut hanya tepat
bagi Al-Syafi’i.
Selanjutnya, Imam Ahmad ibn Hanbal, adalah
mujtahid terakhir di antara mereka dengan keistimewaan memiliki hafalan hadits
terbanyak. Di antara sekian banyak mujtahid yang ada, beliau disepakati
memiliki hafalan hadits terbanyak, dengan hafal sebanyak satu juta hadits.
Dalam satu riwayat, ketika Al-Syafi’i tinggal di Mesir di akhir hayatnya, ia
menyuruh muridnya, Al-Rabi’ ibn Sulaiman Al-Muradi (174-270 H/790-883 M) untuk
menyampaikan suratnya kepada Imam Ahmad ibn Hanbal di Iraq. Setelah membacanya,
Imam Ahmad langsung menangis. Al-Rabi’ bertanya, mengapa ia menangis? Ahmad
menjawab: “Al-Syafi’i menyampaikan dalam suratnya bahwa ia telah bermimpi
Rasulullah saw. dan bersabda: “Kirimkan surat kepada Ahmad ibn Hanbal dan
sampaikan salamku. Katakan padanya, bahwa kamu akan mendapat ujian tentang
kemakhlukan Al-Quran, karenanya jangan kamu ikuti pendapat mereka. Kami akan
meninggikan derajatmu hingga hari kiamat.”[19]
Disamping hal tersebut di atas mereka (para imam
madhab empat) terbukti memiliki ketajaman analisa terhadap persolan-persoalan
yang dihadapi dengan akurasi yang tidak diragukan. Dan mereka tidak memiliki
sifat-sifat kepribadian tercela dalam hal ilmu, pengamalan dan akidah. Hal ini
dapat kita lihat dengan memperhatikan sejarah kehidupan mereka.[20]
a) Imam Abu Hanifah misalnya memperoleh ilmunya
dari para ulama terkemuka generasi tabi’in. Di antara guru-gurunya adalah
Hammad ibn Abi Sulaiman, ‘Atha’ ibn Abi Rabah, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas,
Nafi’ maula Ibn Umar dan lain-lain. Para ulama juga menilai Abu Hanifah
sebagai mujtahid besar yang sulit tandingannya. Imam Al-Syafi’i berkata:
“Manusia dalam bidang fiqih, membutuhkan Abu Hanifah.”
b) Imam Malik ibn Anas berguru kepada para
tabi’in kota Madinah, yang menjadi pewaris ilmu para sahabat yang tinggal di
kota itu. Ketika berusia tujuh belas tahun, tujuh puluh ulama Madinah telah
memberinya rekomendasi untuk mengeluarkan fawa.
c) Imam Al-Syafi’i berguru kepada para ulama
kota Makkah. Kemudian berguru kepada Imam Malik dan ulama Madinah yang lain.
Kemudian berguru kepada Muhammad ibn Al-Hasan, murid dan pewaris ilmu Imam Abu
Hanifah. Ketika berusia lima belas tahun, ia telah mendapat rekomendasi untuk
mengeluarkan fatwa dari gurunya, Imam Sufyan ibn ‘Uyainah dan Imam Muslim ibn
Khalid Al-Zanji.
d) Imam Ahmad ibn Hanbal berguru kepada ratusan
ulama, yang di antaranya Imam Abu Yusuf, murid senior Abu Hanifah, Imam
Al-Syafi’i dan lain-lain. Ia seorang mujtahid yang disepakati paling banyak
hafalan haditsnya. Para ulama terkemuka menyaksikan bahwa ia satu-satunya ulama
pada masanya yang memelihara dan menghafal urusan agama umat dan menjadi hujjah
bagi kaum Muslimin.
Agaknya dari pemaparan di atas dapatlah dijawab
pertanyaan: “Apakah yang mendasari Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam bermazhab dan
mengikuti mazhab yang empat?” Ahlussunnah Wal-Jama’ah memilih untuk bermazhab
dan mengikuti mazhab yang empat tersebut, adalah karena dilandasi oleh empat
faktor; 1) perintah Al-Quran Al-Karim, 2) rekomendasi dari Rasulullah saw., 3)
kesepakatan para ulama, dan 4) dalam faktor keilmuan, pengamalan dan akidah
para imam mazhab yang empat tersebut tidak didapati sifat-sifat kepribadian
yang tercela berdasarkan kesepakatan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
[1] Muhammad ibn ‘Alwi Al-Maliki, Al-Risalat Al-Islamiyyah Kamaluha
wa Khluduha wa ‘Alamiyyatuha, hal. 60-69.
[2] Muhammad ibn ‘Alwi Al-Maliki, Muhammad SAW.
Al-Insan Al-Kamil, hal. 303-305.
[3] Al-Hafizh Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh
Baghdad, juz XIII, hal. 336.
[4] Sunan Al-Tirmidzi, hadits nomor 2604
dan Musnad Ahmad ibn Hanbal, hadits nomor 7639.
[5] Sunan Al-Tirmidzi, hadits nomor 2580, 2581 dan 2583; Sunan
Abi Dawud, hadits nomor 3175; Sunan Ibn Majah, hadits nomor 226 dan
lain-lain.
[6] Shahih Al-Bukhari, hadits nomor 6656; dan Shahih Muslim,
hadits nomor 1353.
[7] Al-Hafizh Taqiyyuddin Ibn Al-Shalah, ‘Ulum Al-Hadits, hal.
296-297 dan Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawi Syarh Taqrib
Al-Nawawi, juz II, hal. 218-219.
[8] Waliyullah Al-Dahlawi, Al-Inshaf fi Bayan Sabab Al-Ikhtilaf,
hal. 28-30 dengan disederhanakan.
[9] Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad,
juz XIV, hal. 246.
[10] Kamil Muhammad ‘Uwaidhah, Malik
ibn Anas, hal. 122.
[11] Muhammad Al-Khudhari Bik, Tarikh
Al-Tasyri’ Al-Islami, hal. 235.
[12] Prof. Dr. Faruq Abdul Mu’thi, Al-Imam
Al-Syafi’i, hal. 154.
[13] Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Al-Imam
Ahmad ibn Hanbal, hal. 46.
[14] Waliyullah Al-Dahlawi, ‘Iqd
Al-Jid fi Ahkam Al-Ijtihad wa Al-Taqlid, hal. 56.
[15] Shahih Al-Bukhari, hadits
nomor 2457; Shahih Muslim, hadits nomor 4603 dan lain-lain.
[16] Musnad Ahmad ibn Hanbal,
hadits nomor 7609, 9071, 9095 dan 9677.
[17] Sunan Al-Tirmidzi, hadits nomor 2604 dan Musnad
Ahmad ibn Hanbal, hadits nomor 7639.
[18] Al-Hafizh Al-Baihaqi, Manaqib Al-Imam Al-Syafi’i,
juz I, hal. 54; Al-Hafizh Al-Munawi, Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami’
Al-Shaghir, juz II, hal. 105 dan Al-‘Ajluni, Kasyf Al-Khafa’ wa Muzil
Al-Ilbas, hadits no. 1701.
[19] Dawud ibn Sulaiman Al-Baghdadi, Asyadd Al-Jihad fi
Ibthal Da’wa Al-Ijtihad, hal. 9.
[20] Dawud ibn Sulaiman Al-Baghdadi, Asyadd
Al-Jihad fi Ibthal Da’wa Al-Ijtihad, hal. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar